Kuatnya Tekanan Orba saat Muktamar NU di Cipasung Tahun 1994

 
Kuatnya Tekanan Orba saat Muktamar NU di Cipasung Tahun 1994
Sumber Gambar: Ilustrasi/Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Kemarin Bapak bercerita, tentang dirinya yang hadir sebagai utusan PCNU Kab. Sukoharjo, untuk hadir di Muktamar NU Cipasung tahun 1994. Bapak hadir mendampingi Ketua PCNU sebagai Bendahara PCNU Sukoharjo. Saat itu bersama Bapak, banyak rombongan para simpatisan Muktamar dari Sukoharjo yang ikut meramaikan acara Muktamar yang disebut-sebut sebagai Muktamar NU paling "mencekam".

Rombongan simpatisan seperti ini datang dengan niat ngalap berkah, sekaligus meramaikan acara paling penting di dalam tradisi beracara NU. Sebab selain untuk memilih pengurus baru ditingkat pusat, pada Muktamar seperti ini juga banyak Kiai yang hadir di lokasi acara. Inilah yang menjadi magnet yang menarik rombongan para muktamirin. Kadang kita bisa menjumpai Kiai-kiai itu berada di tempat dan situasi yang tidak umum, bisa di jalan, di masjid, di warung dan lain sebagainya. Sehingga kita bisa dengan mudah nyucup tangan dan ngalap berkah doa. Situasi yang jarang ditemui di hari-hari biasa.

Para rombongan simpatisan itu mereka datang sendiri, dengan ongkos sendiri, tanpa ada yang mengarahkan. Biasanya sampai di tempat acara Muktamar digelar, mereka mencari tempat untuk istirahat dan menginap selama Muktamar berlangsung. Biasanya bertempat di rumah-rumah penduduk sekitar pesantren, yang oleh pemiliknya sengaja disiapkan jika ada rombongan ini hadir. Bisa dengan cara menyewa satu ruangan, atau sekaligus menyewa satu rumah.

Suasana Muktamar yang seperti ini menjadi idaman para rombongan. Muktamar yang digelar di sebuah pesantren memudahkan para rombongan untuk mencari tempat tidak jauh dari lokasi acara. Lain jika Muktamar digelar bukan lagi di pesantren, mereka kesulitan mencari tempat untuk menginap. Masyarakat lingkungan pesantren menjadi kunci idaman para rombongan, sebab mereka sudah terbiasa dengan tradisi pesantren kebiasaan para santri yang dibawa melekat oleh para rombongan. Setelah tidak menjabat di dalam kepengurusan PCNU, Bapak masuk di dalam kelompok rombongan seperti ini. Datang untuk semata-mata ngalap berkah dan meramaikan, bukan sebab tugas organisasi.

Bapak bercerita, pada saat itu situasi sangatlah "panas". Di salah satu lapangan yang tidak jauh dari lokasi Muktamar, sepasukan tentara bersenjata lengkap, dengan alat bantu perangnya sudah disiapkan. Entah maksudnya apa Soeharto menyiapkan seperti itu? Kata Bapak. Tapi yang pasti Bapak tau, ada "pengondisian" yang disiapkan oleh rezim Orba untuk menghalau atau menandingi kekuatan Kiai yang mendukung Gus Dur. Tandingan itu berupa intimidasi pada panitia oleh aparat, dan juga calon Ketua PBNU yang disiapkan untuk berhadapan dengan Gus Dur. Bapak menerangkan, pada saat itu PCNU Sukoharjo tidak termasuk yang bisa dipengaruhi atau ditekan. Bersih.

Bapak masih ingat, kira-kira selisih jarak waktu sepuluh menit dari perjalanan Bapak dan rombongan, tepat di depannya, melintasi sebuah mobil panther yang ambyar bagian depannya dan dikerumuni banyak orang. Sesampainya di lokasi Muktamar, Bapak baru tahu kalau mobil yang risak itu adalah kecelakaan yang menjadi lantaran wafatnya Kiai Umar Faruq, sepupu dari Kiai Cholil Bisri dan Mbah Musthofa Bisri.

Gus Dur menang tipis pada Muktamar Cipasung. Pada Muktamar itu Gus Dur mendapat sokongan kuat dari Kiai-kiai sepuh, bahkan kepanitian Muktamar dipegang langsung oleh Kiai Abdullah Abbas sebagai Ketua Panitia Posisi kepanitian ini penting untuk menghindari campur tangan Orba di dalamnya. Menurut cerita dari Teh Ismah putri Kiai Abdullah Abbas, yang pada waktu itu mengikuti Kiai Dullah, ia harus pindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain untuk menghindari tekanan dari aparat rezim. Tidak jarang tengah malam Teh Ismah diperintah Nyai Zainab, ibunya, harus cepat berkemas untuk meninggalkan tempat. Kucing-kucingan seperti ini terus dilakukan selama Muktamar berlangsung.

Kiai Dullah Abbas juga memiliki informan yang tau kapan rumah singgahnya hendak didatangi, sehingga sebelum aparat orba itu datang, beliau sudah angkat kaki dari tempat singgahnya. Namun ada satu kesempatan, di mana para aparat lebih dulu datang, sebelum Kiai Dullah pergi. Percakapan antara perwira orba dengan Kiai Dullah masih terekam kuat dalam ingatan Teh Ismah. Pada kesempatan itu Kiai Dullah menyatakan dengan nada keras kepada perwira utusan Orba, bahwa Kiai Dullah tidak takut menghadapi ancaman tekanan mereka.

"Saya ini, menghadapi perang dengan sekutu di Surabaya tahun 1948 saja tidak takut, apalagi hanya menghadapi sampeaan!" Begitu kira-kira dawuh Kiai Dullah kepada seorang perwira yang menjadi utusan Orba. Belakangan, jauh setelah muktamar NU Cipasung, setelah ia pensiun, Perwira asal Aceh itu datang sowan ke Buntet untuk meminta maaf atas perlakuannya dulu kepada Kiai Abdullah Abbas. Ia mengaku bahwa sebenarnya ia tahu, siapa yang benar pada Muktamar itu, namun pada saat itu ia mesti menjalankan tugas. Sowan perwira itu ditemui langsung oleh Kiai Abdullah Abbas, dan dimaafkan.

Saat itu selain diperintahkan untuk menekan, mengancam, dan merayu Kiai Abdullah Abbas sebagai Ketua Panitia, aparat juga diperintahkan untuk melakukan hal yang sama kepada para muktamirin. Muktamirin yang rata-rata bukan Kiai itu ada yang kuat, tapi juga ada yang tidak kuat dengan tekanan dan rayuan, yang akhirnya merelakan suaranya untuk Abu Hasan, lawan Gus Dur pada saat itu.

Meski mendapat tekanan serius, Kiai-kiai seperti tidak ada takutnya, kata Bapak. Mbah Liem, Kiai Ilyas Rukhyat, Kiai Fuad Hasyim, Kiai Abdullah Abbas dan kiai-kiai lain terus mendampingi Gus Dur sepanjang acara. Tidak merasa kuwatir, dan tidak takut.

Semoga hari ini para pengurus NU mampu mewarisi semangat para pendahulunya, yang tidak mempan rayuan dan iming-iming untuk mencederai saudaranya sendiri dengan cara menjual kehormatannya demi kebutuhan sesaat, kepentingan pribadi, pangkat dan ini itu yang merusak. Amiin.

Penulis: Bagus Sigit Setiawan


Editor: Daniel Simatupang