Keutamaan Berlapang Dada saat Menghadapi Masalah

 
Keutamaan Berlapang Dada saat Menghadapi Masalah
Sumber Gambar: UIN Walisongo

Laduni.ID, Jakarta – Setiap manusia di dunia ini tak akan pernah luput dari masalah, sebab cara Allah dalam menaikkan derajat seseorang ialah dengan memberikan orang tersebut masalah. Namun, mereka yang mampu memanage masalah dengan baiklah yang akan bisa menghadapi masalah tersebut.

Sebagaimana kisah Nabi Musa yang meminta kepada Allah kemudahan dalam menghadapi Fir’aun. “Nabi Musa saja meminta kepada Allah, ketika diperintah menghadap Fir'aun. Nabi Musa minta kepada Allah, rabbisyrahli shadri wa yassirli amri, Ya Allah lapangkanlah dada saya,” kata Habib Umar Muthohar sebagaimana dikutip dari unggahan Youtube Ngaji Hijrah.

Lapang dada merupakan unsur penting saat seseorang menghadapi suatu masalah, sebab dengan berlapang dada masalah yang berat akan terasa ringan saat dihadapi. Sederhananya, menerima sebuah masalah sebagai suatu yang disenangi, dengan menjalani hal yang disenangi seseorang akan merasa bahagia.

“Karena orang kalau dadanya lapang, dalam menghadapi persoalan apapun, tidak akan mudah marah. Tidak memutuskan yang jelek, tidak mudah begini dan begitu. Karena dadanya lapang,” dawuh Habib Umar.

Habib Umar juga menceritakan sebuah kisah yang dapat menjadi gambaran berlapang dada saat menghadapi masalah. Suatu ketika, ada seorang waliyullah yang sedang berjalan-jalan di suatu desa, terlihatlah ada seseorang (sebut saja si fulan) yang sedang kesusahan. Waliyullah itu lalu menghampiri si fulan dan bertanya mengenai dirinya, “Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya sang wali.

“Saya sedang terkena masalah,” jawab si fulan.

“Oh, begitu,” timpal sang wali.

“Ya waliyullah, kalau bisa tolong obati saya,” pinta si fulan kepada sang wali.

“Ya, insyaallah, tapi syaratnya kamu harus menurut kepada saya,” kata sang wali.

“Baik, saya akan menurut,” harapnya.

“Kalau begitu, ambillah sebuah wadah (plastik) lalu isi wadah itu dengan garam hingga penuh,” perintah sang wali.

Si fulan lalu mengambil wadah yang dipinta oleh sang wali beserta garam yang banyak. Setelah mendapatkannya, sang wali dan si fulan pergi berjalan-jalan di desa. Di tengah perjalanan, sang wali meminta si fulan satu gelas air, diambikanlah air satu gelas.

“Ambil garam satu genggam, masukkan ke dalam gelas,” perintah sang wali.

“Ya waliyullah, apakah anda hendak mengobati saya dengan air garam?” tanyanya dengan bingung.

“Sudah, kau menurut saja,” kata sang wali.

“Sekarang aduk dan rasakan (minum),” lanjut sang wali.

Diminumlah air garam itu, “Asin sekali Ya Waliyullah.”

“Asin ya, ayo ikut saya,” ajak sang wali.

Mereka lalu melanjutkan perjalannya mengelilingi desa. Dilihatlah ada sebuah ember yang berisi dengan air, sang wali memerintahkan si fulan untuk mengambil garam dalam wadah sebanyak yang dimasukkan dalam gelas tadi. Seperti sebelumnya, sang wali meminta si fulan untuk merasakannya.

“Ya waliyullah, air ini lumayan asin, tapi tidak seasin yang di dalam gelas. Yang di gelas asin sekali, sedangkan yang di ember tidak terlalu asin,” kata si fulan.

Lalu sang waliyullah mengajaknya melanjutkan perjalanan dan sampailah mereka di sebuah sungai yang besar. Sang wali memerintahkan si fulan untuk memasukkan garam sebanyak yang ia masukkan dalam gelas dan ember sebelumnya. Spontan si fulan langsung merasakan air sungai yang telah dimasukkan garam tadi, “Tidak terasa asin sama sekali, ya wali,” kata si fulan. Kemudian sang wali menjelaskan maksud dari apa yang ia perintahkan.

“Garam yang kamu masukkan ke gelas, satu genggam. Garam yang kamu masukkan ke ember, satu genggam. Garam yang kamu masukkan ke sungai, satu genggam. Tapi berbeda rasanya, yang di gelas sangat asin, yang di ember tidak terlalu asin, yang di sungai tidak asin sama sekali. Manusia itu juga seperti itu, hakikatnya masalah kehidupan itu seperti garam satu genggam tadi. Tinggal garam satu genggam itu berada di mana? Kalau berada di sungai, orang yang terkena masalah akan biasa-biasa saja. Laa khaufun 'alaihim wa laa hum yahzanuun, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati (QS. Al-Baqarah: 38),” jelas sang wali.

“Kalau garam satu genggam itu berada di ember, akan lumayan kesusahan. Tapi masih bisa mengendalikan diri. Tapi kalau garam satu genggam berada di dalam orang yang hatinya (seperti) segelas air, seperti dirimu itu. Jadinya, kamu akan tidak bisa mengendalikan diri. Sama satu genggam garamnya, tapi tempatnya yang membedakan,” kata Habib Umar dalam penjelasannya.

Semua masalah yang dihadapi oleh manusia hanya berbeda kapasitasn, namun pada hakikatnya semua kembali kepada hati manusia itu, maukah ia meminta kepada Allah supaya dilapangkan dadanya dalam menghadapi masalah-masalah hidupnya.

Rabbisyrahli shadri wa yassirli amri wahlul ‘uqdatam mil lisani yafqahu qauli

“Ya Allah, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya mereka bisa mengerti perkataanku.”


Editor: Daniel Simatupang