Kontroversi Risalah Ma La Yasa'u Al-Muhaddis Jahlu-hu

 
Kontroversi Risalah Ma La Yasa'u Al-Muhaddis Jahlu-hu
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Fahrizal Fadhil

Laduni.ID, Jakarta – Syekh Umar bin Abdul Majid Al-Mayyanisyi, nisbah kepada salah satu desa di Mahdia, Tunisia, adalah seorang Al-Muhaddis sebagaimana yang disebut oleh Al-Imam Adz-Dzahabi dalam kitab At-Tazkirah. Di lain tempat, Al-Imam Adz-Dzahabi menyebutnya dengan sebutan Al-Imam Al-Haram.

Syekh Umar Al-Mayyanisyi memiliki beberapa karya, antara lain kitab Raudhah Al-Mustaq seputar ilmu adab, kitab Ikhtisar Firdaus Al-Akhbar, kitab Al-Majalis Al-Makkiyah fi Al-Ahadis An-Nabawiyyah, dan yang paling populer adalah Risalah beliau tentang ilmu mushtalah hadis yang berjudul "Ma La Yasa'u Al-Muhaddis Jahlu-hu".

Viralnya kitab beliau tentang mushtalah hadis itu karena peran dari Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani (W. 852 H) yang menyebutkan kitab tersebut dalam permulaan kitab Nuzhah An-Nazhar saat meruntut buku-buku ilmu mushtalah hadis yang terdahulu.

Penyebutan yang dilakukan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar ini membuat ulama hadis seperti Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah (W. 1417 H) keheranan, pasalnya masih ada buku-buku lain yang lebih layak untuk disebutkan dari pada kitab mushtalah karya Syekh Al-Mayyanisyi ini.

Ditambah, saat Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan kitab Al-Muhaddis Al-Fashil karya Ar-Ramahurmuzi (W. 360 H), beliau mengomentari jika kitab itu belum mencakup keseluruhan ilmu hadis, begitu juga ketika menyebutkan kitab karya Al-Hakim An-Naisaburi (W. 405 H) bahwa kitabnya tidak tersusun. Bahkan Muqaddimah Ibnu Shalah juga dikomentari susunan isi kitabnya tidak disusun sebagaimana mestinya. Tapi, ketika menyebutkan kitab mushtalah karya Syekh Al-Mayyanisyi ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar sama sekali tidak menuliskan satu huruf pun untuk berkomentar.

Menurut salah satu Al-Muhaqqiq di Al-Azhar Asy-Syarif, Syekh Musthafa Abu Zaid, alasan Al-Hafidz Ibnu Hajar tidak memberikan komentar dalam kitab Nuzhah An-Nazhar adalah karena beliau akan memberikan kritikan atas kitab tersebut dalam kitab An-Nukat 'ala Ibnu Ash-Shalah.

Dalam penilaian Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, peletakkan kitab ini diantara kitab-kitab para ulama hadis yang lain itu kurang tepat. Menimbang lemahnya muatan yang terisi di kitab tersebut, dan banyaknya kekeliruan yang terjadi, menunjukkan bahwa Al-Mayyanisyi selaku penulis kitab tersebut lemah dalam ilmu mushtalah hadis.

Kemudian, dalam pada awal kitab tersebut, Al-Mayyanisyi memulai dengannya Muqaddimah yang dinilai terlalu panjang. Al-Mayyanisyi menulis sekitar 24 baris yang ukurannya lebih dari 1/4 ukuran kitab secara keseluruhan. Menurut Syekh Abdul Fattah, Muqaddimah yang ditulis minim faidah, dan terlalu banyak hadis-hadis dhaif bahkan hadis palsu yang tertera disana.

Keheranan atas buku mushtalah karya Al-Mayyanisyi juga dirasakan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi (W. 911 H) dalam kitab Tadrib Ar-Rawi, saat Al-Mayyanisyi menyebut syarat hadis shahih pada Al-Bukhari dan Muslim adalah hadis tersebut diriwayatkan oleh seorang sahabat yang diketahui, kemudian dari sahabat tersebut hadis itu harus diriwayatkan dari dua orang tabi'in. Tentu, syarat ini sangat berbeda dari realita yang ada.

Syarat yang disebutkan oleh Al-Mayyanisyi ini dikomentari oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam An-Nukat, bahwasanya pendapat ini muncul dari orang yang tidak memerhatikan Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dengan baik.

Yang lebih parah dari itu, ketika Al-Mayyanisyi ingin menjelaskan perbedaan antara (حدثنا) dan (أخبرنا) beliau mengatakan bahwa kedua lafadz tersebut tidak ada perbedaan dengan dalil adanya hadis dari Rasulullah SAW yang bersabda bahwa kedua lafadz itu tidak berbeda. Hadis sangat jelas kepalsuannya, sebab kedua lafadz itu baru muncul pada abad ke-2 Hijriah setelah wafatnya Rasulullah SAW, bagaimana mungkin ada hadis yang menerangkan hal tersebut.

Kata Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, kesalahan yang terjadi pada Al-Mayyanisyi sebabnya; Pertama, karena beliau belum begitu mendalami ilmu hadis; Kedua, karena sebagian besar referensi beliau adalah karya-karya Al-Hakim An-Naisaburi, sedangkan kitab Al-Hakim sendiri -sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar- itu belum dirapikan dari kesalahan, tentu ini termaafkan sebab beliau termasuk orang-orang yang pertama kali menulis ilmu ini, dan sedikitnya rujukan yang ada pada masa sebelum beliau.

Meskipun banyak kritikan yang diberikan oleh Syekh Abdul Fattah, beliau tidak memungkiri banyaknya faidah yang didapat dari Risalah Karya Al-Mayyanisyi ini, mungkin saja Risalah tersebut tetap ada hingga saat ini merupakan bentuk keikhlasan beliau ketika menulis, sehingga Allah abadikan karyanya hingga masa sekarang.

Madinah Buuts Al-Islamiyyah, Kairo

Oleh: Fahrizal Fadil


Editor: Daniel Simatupang