Imam Ibnu Jarir At-Thobari dan Tafsirnya

 
Imam Ibnu Jarir At-Thobari dan Tafsirnya
Sumber Gambar: Dok. pribadi Gus Djibran ketika ziarah ke Maqam Imam Thabari di distrik Thobariyah, Baghdad tahun 2018

Laduni.ID, Jakarta - Para pengkaji tafsir tentu akrab dengan kitab Tafsir Jami'ul Bayan fi Tafsiril Qur'an atau lebih dikenali sebagai Tafsir at-Thabari. Kitab ini menjadi kitab tafsir terbaik yang dikarang oleh al-Imam al-Hafizh Ibnu Jarir al-Thabari, sang guru besar tafsir.

Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia memiliki karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan, ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagi respon umat Islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak dalam penafsiran al-Qur’an.

Studi atas Al-Quran telah banyak dilakukan oleh para ulama dan sarjana tempo dulu, termasuk para sahabat di zaman Rasulullah SAW. Hal itu tidak lepas dari disiplin dan keahlian yang dimiliki oleh mereka masing-masing. Ada yang mencoba mengelaborasi dan melakukan eksplorasi lewat perspektif keimanan historis, bahasa dan sastra, pengkodifikasian, kemu’jizatan penafsiran serta telaah kepada huruf-hurufnya.

Kondisi semacam itu bukan hanya merupakan artikulasi tanggung jawab seorang Muslim untuk memahami bahasa-bahasa agamanya. Tetapi sudah berkembang kepada nuansa lain yang menitikberatkan kepada studi yang bersifat ilmiah yang memberikan kontribusi dalam perkembangan pemikiran dalam dunia Islam. Kalangan sarjana Barat banyak yang melibatkan diri dalam pengkajian Al-Quran, dengan motivasi dan latar belakang kultural maupun intelektual yang berbeda-beda.

Al-Quran sebagai diketahui terdiri dari 114 surat, yang di awali dengan beberapa macam pembukaan (Fawatih Al-Suwar), di antara macam pembuka surat yang tetap aktual pembahasannya hingga sekarang ini huruf muqatha’ah. Menurut Watt, huruf-huruf yang terdiri dari huruf-huruf alphabet (hijaiyah) ini, selain mandiri juga mengandung banyak misteri, karena sampai saat ini belum ada pendapat yang dapat menjelaskan masalah itu secara memuaskan.

Nama lengkap Ath-Thabari adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Ath-Thabari, Lahir di Amil Thabaristan di Persia (Iran) yang terletak di pantai selatan laut Thabaristan pada tahun 225 H/839 M dan meninggal di Baghdad pada tahun 310 H/923 M. Beliau seorang ulama yang sulit dicari bandinganya, banyak meriwayatkan hadis, luas pengetahuanya dalam bidang penukilan, penarjihan riwayat-riwayat, dan sejarah tokoh masa lalu.

Kaidah yang digunakan dalam tafsir ini yakni tafsir bi al-ma'tsur yang maksudnya menafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadis, dan ijtihad sahabat. Dalam kitab karangan al-Thabari, dia menjelaskan tentang aqidah. Misalnya, makna istiwa dalam al-Baqarah ayat 29. Dijelaskan dengan terang bahwa makna istiwa adalah 'ala wa irtafa', yang artinya 'ketinggian kerajaan dan kekuasaan Allah', bukan berubahnya ketinggian atau berpindahnya 'Arasy.

Al-Imam As-Suyuthi r.a berkata, "Ia adalah tafsir yang paling baik dan besar, memuatkan pendapat-pendapat ulama, dan sekaligus menguatkan dari pendapat-pendapat itu, dan huraian nahu serta istinbath hukum. Maka dengan kelebihannya, ia menempati kualiti teratas dari kitab-kitab tafsir sebelumnya." (Al-Itqan, 2/190)

Al-Imam An-Nawawi r.a berkata, "Umat Islam sepakat bahawa tidak ada seorang pun yang menulis tafsir sekaliber Tafsir At-Thabari." (Al-Itqan, 2/190)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah r.a berkata, "Adapun tafsir-tafsir yang ada di tangan manusia, yang paling baik adalah tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari. Ini kerana ia menyebutkan ucapan-ucapan salaf dengan sanad-sanad yang kukuh, tidak mengandungi kebid’ahan, dan tidak menukil dari orang-orang yang diragukan agamanya." (Fatawa Ibnu Taimiyyah, 2/192)

Tafsir Ath-Thabari boleh dikatakan sebagai tafsir pertama dilihat dari masa penulisan dan penyusunan keilmuannya. Karena kitab tersebut merupakan tafsir pertama yang sampai kepada kita di saat tafsir-tafsir yang mendahuluinya telah lenyap ditelan putaran zaman sehingga tidak sampai ke tangan kita.

Imam al-Thabari mendapat gelaran marja'ul maraji' (induk para ahli tafsir). Selain sebagai mufassir, al-Thabari juga seorang fuqaha. Kitab fiqhnya yakni berjudul Ikhtilaf al-Fuqaha (perbedaan pendapat para ulama).

Di samping itu, Imam al-Thabari juga merupakan ahli hadis dan sejarah. Beliau sering menolak hadis dengan bertapak lemah ataupun jika hadis tersebut tidak sesuai dengan tafsiran ayat yang dia tafsirkan.‎

Dalam bidang sejarah, karyanya diabadikan melalui kitab Tarikhul Umam wal Muluk (Sejarah Umat-Umat dan Para Rajanya) dan Tarikh al-Rasul wa al-Muluk yang dikenali dengan Tarikh al-Thabari. Kitab ini menjadi kitab rujukan kerana mengandungi sejarah peristiwa-peristiwa secara lengkap yang belum pernah ditulis sejarawan lain sebelumnya.

Kitab terkenal ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama mengandungi tentang sejarah Arab, Persia, Roma sebelum Islam. Sedang di bagian kedua pasca-Islam. Kitab ini memberi inspirasi kepada karya Ibnu Asir, sejarawan besar selepas al-Thabari, berjudul al-Kamil fi al-Tarikh.

Kecerdasan dan kecintaan al-Thabari kepada ilmu sudah kelihatan sejak dia kecil. Dia sudah hafal Al-Quran ketika usia 7 tahun. Pada usianya 8 tahun, dia didaulat menjadi imam bagi orang dewasa di daerah kelahirannya yaitu Thabaristan, Persia (Iran). Di usia 9 tahun, dia sudah menulis banyak hadis.

Ayahnya pernah bermimpi bahwa Rasulullah SAW menghampiri at-Thabari seraya memegang tangannya dan memberikan segenggam batu-batuan padanya, kemudian mimpi tersebut ditafsirkan oleh orang-orang alim sebagai pertanda at-Thabari dikemudian hari akan menjadi sosok yang besar.

At-Thabari memulai pengembaraannya mencari ilmu, beliau bermula dari Rayy, Iran. Kemudian ke Baghdad, Iraq, untuk menemui Imam Ahmad bin Hanbal. Namun sayangnya, Imam Mazhab Hanbali itu telah wafat sebelum al-Thabari sampai ke Baghdad (241 H / 855 M).

At-Thabari meneruskan perjalanannnya ke Wasit dan Basrah untuk mengikuti beberapa majelis ilmu, kemudian dia ke Kufah untuk mendalami ilmu hadis. Beliau berguru pada ulama besar hadis, Muhammad bin Humaid ar-Razi. Darinya, at-Thabari mampu menulis lebih dari 100 ribu hadis. Beliau juga menuliskan sejumlah hadis yang sama dari gurunya yang lain, Abu Kuwait.

At-Thabari kembali ke Baghdad untuk belajar ilmu al-Quran dan fiqh, utamanya fiqh Imam Syafi’i. Di Baghdad inilah karya-karya besarnya berhasil diterbitkan. Konsisten dan ketekunan at-Thabari akan ilmu membuahkan hasil yang hingga kini dipelajari oleh umat Islam dunia.

Dari Al Faroghi, Harun bin Abdul Aziz pernah berkata, “Abu Ja’far At Thabari berkata, ‘aku memilih Mazhab Imam Syafi'i, dan aku ikuti beliau di Baghdad selama 10 tahun.’”

Imam Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah orang Tsiqoh, jujur, hafidz, bapak dalam ilmu tafsir, imam (ikutan) dalam ilmu fiqh, ijma’ serta (hal-hal) yang diperselisihkan, alim tentang sejarah dan harian manusia, tahu tentang ilmu Qiro’at dan bahasa, serta yang lainnya.”

Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa Imam Thabari adalah imam Ahlu Sunnah, hal ini beliau katakan ketika membahas mengenai al-Quran Kalamullah. Dan banyak lagi pujian ulama lainnya tentang Imam at-Thabari.

Pada awalnya, at-Thabari bermazhab Syafi'e, namun setelah mempelajari dan meneliti lebih jauh adanya ketidaksesuaian dalam dirinya, sehingga dia mendirikan mazhab sendiri dan pengikutnya memanggilnya Mazhab Jaririyyah. (Lihat at-Thabari, Tafsir Jami', hlm. 10)

Meskipun telah menjadi orang yang dikenal, Imam at-Thabari tetap hidup berbalut kesederhanaan. Bila musim panas tiba, dia hanya mengambil kurma yang dicampur minyak. Tempat tidurnya pun hanya beralaskan kain tipis. Menjadi kebiasaan at-Thabari, selesai Dzuhur dia menulis hingga empat puluh halaman. Hal ini dilakukannya selama 40 tahun. Waktu Ashar dia bergegas menuju masjid untuk solat berjamaah kemudian mengkaji al-Qur'an. Lepas solat Maghrib, dia mengajar hingga menjelang Isya'. At-Thabari wafat pada tahun 310 H di Baghdad dalam usia 86 tahun.

Guru-guru beliau di antaranya ialah:

1. Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib

2. Ismail Bin Musa As-Sanadi

3. Muhammad bin Abi Ma'syar

4. Muhammad bin Hamid Ar-Razi

5. Abu Kuraib Muhammad Ibnul A'la ‎

6. Muhammad bin Al-Mutsanna, dan selain mereka

Murid-murid beliau:‎

1. Abu Syuaib bin Abdillah bin Al-Hasan bin Al-Harani

2. Abul Qasim Ath-Thabrani

3. Ahmad bin Kamil Al-Qadhi

4. Abu Bakar Asy-Syafi'i

6. Mukhallad bin Ja'far Al-Baqrahi

7. Abu Mammad Ibnu Zaid Al-Qadhi

8. Ahmad bin Al-Qasim Al-Khasysyab

9. Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan

Oleh: Gus Firmansyah Djibran El'Syirazi B.Ed, Lc


Editor: Daniel Simatupang