Hukum Menyumbat kemaluan Bagi yang Istihadhah

 
Hukum Menyumbat kemaluan Bagi yang Istihadhah
Sumber Gambar: Sora Shimazaki/Pexels (Foto Ilustrasi)

Laduni.ID, Jakarta - Apakah hukum wajib menyumbat kemaluan bagi orang yang istihadhah masih berlaku ketika orang tersebut yakin bahwa darah tidak akan keluar ketika dalam shalat?. Kalau memang yakin bahwa darah tidak akan keluar, maka tidak wajib menyumbat kemaluan.

Istihadhah adalah darah yang keluar selain haid dan nifas, yaitu darah yang tidak memenuhi syarat-syarat darah haid dan nifas. Darah yang tidak memenuhi persyaratan darah haid yaitu, darah yang keluar sebelum umur 9 tahun, atau sudah umur 9 tahun tetapi pada masa tidak boleh haid (yakni mengeluarkan darah pada masa batas minimal suci antara dua haid yaitu lima belas hari lima belas malam), tidak mencapai 24 jam (batas minimal haid) atau melebihi 15 hari (batas maksimal haid). Adapun darah yang tidak memenuhi persyaratan nifas adalah darah yang keluar melebihi 60 hari (batas maksimal nifas).

Baca Juga : Inilah yang Harus Dilakukan Ketika Seorang Perempuan Mengeluarkan Darah Istihadhoh Saat Mau Sholat

Istihadhah itu tidak menghalangi pada perkara yang dilarang atau haram sebab haid dan nifas. Oleh karena itu, wanita yang istihadhah tetap wajib shalat, puasa Ramadhan, boleh membaca Al Qur’an, bersetubuh dan melakukan hal-hal yang diharamkan ketika haid dan nifas lainnya. Bagi wanita yang istihadhah tersebut, jika akan melakukan shalat fardlu, maka harus melakukan 4 hal terlebih dahulu, yaitu :

1. Membasuh kemaluan

2. Menyumbat kemaluan dengan kapas atau yang serupa, supaya darah tidak menetes keluar. Oleh karena itu, sumbatannya harus dimasukkan sampai bagian kemaluan yang tidak wajib dibasuh pada waktu bersuci dari hadas (istinja’), yaitu : bagian kemaluan yang tidak kelihatan ketika wanita berjongkok. Jika sumbatannya keluar ke bagian yang wajib dibasuh atau istinja’, maka shalatnya tidak sah. Sebab termasuk membawa perkara yang kena najis.

Kewajiban menyumbat tadi jika memang butuh disumbat dan tidak sakit serta tidak sedang berpuasa. Jika tidak butuh disumbat, terasa sakit atau sedang berpuasa, maka tidak wajib disumbat, bahkan jika wanita yang istihadhah itu dalam keadaan berpuasa wajib tidak menyumbatnya di siang hari (karena dapat membatalkan puasa).

3. Membalut kemaluan dengan celana dalam, pembalut, atau sejenisnya. Kewajiban untuk membalut ini juga jika membutuhkan dibalut, dan tidak terasa sakit. Namun, jika tidak butuh atau terasa sakit maka tidak wajib dibalut.

4. Bersuci dengan wudhu atau tayamum.

Semua perkara 4 di atas wajib dijalankan setiap akan shalat fardlu, dan sudah masuk waktu shalat, dilakukan dengan tertib dan segera. Setelah bersuci hendaknya wanita tersebut segera cepat-cepat salat.

Jika tidak segera shalat, maka batal dan wajib mengulangi 4 perkara tadi seluruhnya, kecuali jika tidak segera salat tadi disebabkan kemaslahatan shalat, misalnya menjawab azan, ijtihad arah kiblat, menutup aurat, atau menunggu jamaah, maka tidak batal.

Setelah menjalankan perkara di atas dengan sah, maka seorang wanita boleh melakukan satu shalat fardlu dan beberapa salat sunnat. Jadi setiap akan shalat fardlu, maka ia harus menjalankan 4 perkara tersebut, meskipun balutannya tidak berubah dan darah tidak menetes keluar.

Jika setelah disumbat dan dibalut ternyata darah masih keluar membasahi pembalut atau pembalutnya meleset, maka jika keluarnya darah tadi karena banyaknya darah, maka tidak apa-apa. Tetapi, jika hal tersebut karena kelalaian atau sembrono, maka shalatnya batal.

Selain itu, jika ia sudah menjalankan 4 hal tersebut, tetapi belum salat, tiba-tiba mengalami hadas, maka ia wajib mengulangi seluruhnya. Wa Allahu A’lam bis Shawab.

(Disarikan dari kitab Risalah Haid, Nifas dan Istihadhah Lengkap karya KH. Muhammad Ardani bin Ahmad Surabaya: Al Miftah, 1987, hal. 82-83 dengan sedikit perubahan)


Editor : Nasirudin Latif