Mengenal Imam Junaid Al-Baghdadi: Konstruksi Berpikir Ilmu Tasawuf (Bagian 2)

 
Mengenal Imam Junaid Al-Baghdadi: Konstruksi Berpikir Ilmu Tasawuf (Bagian 2)
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta - Imam Junaid dikenal sebagai tokoh yang mensistematisasikan beberapa kecenderungan tasawuf dan mencoba mengislamisasi istilah-istilah tasawuf dengan istilah-istilah dari al-Qur’an. Ia digelari Sayyid Al-Taifah dan juga Tawus Al-Ulama (burung merak para ulama).

Sebagai seorang sufi, Imam Junaid tidak pernah menulis kitab khusus dibidangnya. Namun beliau menulis pengalaman spiritualnya dan pemikiran tasawufnya dalam bentuk risalah yang kemudian dibagikan kepada murid yang dipercayanya dan para sahabatnya.

Seperti, risalah Imam Junaid kepada sahabatnya Yahya bin Mu’adz Ar-Razi (Imam Abu Al-Qasim Al-Junaid), risalah Imam Junaid kepada Umar bin Usman Al-Makki (Imam Abu Al-Qasim Al-Junaid), dan risalah Imam Junaid kepada Abi Ya’qub Yusuf bin Husein Ar-Razi.

Karena luasnya ilmu dan pengamalan spriritualnya maka Imam Junaid dijadikan sumber rujukan ilmu tasawuf oleh sufi sufi besar. Berikut ini adalah pemikiran tasawuf yang dikemukakan oleh Imam Junaid al-Baghdadi:

1.  Teori Mitsaq

Imam Junaid dalam teori Mitsaq ini mengemukakan bahwa, sebelum raga/jasad manusia terbentuk, seorang hamba mengalami kebersamaan dengan sang Pencipta yakni Allah SWT. Imam Junaid mengemukakan hal ini sesuai dengan firman Allah:

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

 

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.’” (QS. Al-A’raf: 172)

Imam Junaid menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:

“Tidak tahukah kau bahwa Allah berfirman ketika Allah mengambil anak Adam dia mengutip ayat tersebut sampai ayat berikut “Kami menyaksikan”. Dalam ayat ini Allah menerangkan kepadamu bahwa Dia berbicara kepada mereka sewaktu mereka belum berwujud berada dalam diri-Nya. Keberadaan ini tidaklah sama dengan keberadaan biasanya diatributkan kepada makhluk-makhluk Tuhan, ini merupakan jenis keberadaan yang hanya diketahui oleh Allah. Allah mengetahui keberadaan mereka, meliputi mereka, Dia melihat mereka pada saat mereka tidak berwujud dan tidak mengetahui bagaimana wujud mereka sendiri di masa yang akan datang (dunia ini). Keberadaan mereka berada di luar waktu. Ini merupakan wujud ilahiah dan konsepsi keilahiaan yang hanya terjadi pada-Nya.”

Jika seorang hamba sudah mampu kembali pada keberadaan primordialnya, maka syahadat bukan lagi penyaksian seorang hamba terhadap Allah, melainkan Allah sendiri yang menyaksikan ke Maha Esaan-Nya yang diperjalankan melalui diri hamba-Nya. Kondisi seperti itulah yang diidam-idamkan oleh para sufi, yakni Allah mengambil alih dirinya dan hanyut dalam suasana ilahiah.

Kesimpulan teori mitsaq ini adalah manusia kembali pada kondisi primordial sebelum ia diciptakan. Ini berarti dia terpisah dari wujud jasmaniahnya, wujud kemanusiaan normalnya belum ada, dan karena itu dia berwujud dalam Tuhan dan sepenuhnya terserap di dalam-Nya. Hal ini merupakan pencapaian seorang hamba terhadap tauhid sejati. Akan tetapi, selama hamba tidak melepaskan sifat-sifat kemanusiaannya, maka ia tidak bisa mencapai tingkat tauhid sejati.

2.  Fana (peleburan)

Fana secara bahasa artinya rusak atau musnah atau tidak abadi. Secara istilah, Fana memiliki arti lenyapnya sifat yang tercela. Secara etimologi, al fana merupakan masdar dari Faniya-yafna-fana’. Perbincangan tentang fana dikalangan sufi baru muncul di abad ke-3 H dan 4 H. Oleh karena itu, uraian tentang fana hendaknya kita mengkaji tokoh-tokoh sufi pada abad tersebut, seperti Abu Nashr As-Saraj Ath-Thusi, Abu Yazid Al-Bustami, Imam Junaid Al-Baghdadi. 

Menurut Imam Junaid Al-Baghdadi fana ini terbagi menjadi 3 tingkatan yakni fana dari siat, etika, dan tabiat. Tahapan yang pertama, fana berhubungan dengan tujuan hidup manusia. Maksudnya adalah untuk menjadi manusia yang berkualitas maka dibutuhkan pula tujuan hidup yang baik, dan untuk menjadi seperti itu maka dibutuhkan usaha yang baik secara konsisten. Karena menjadi manusia yang berkualitas butuh tahapan dan proses yang berkelanjutan yang istiqomah.

Tahapan yang kedua yakni menjauhkan diri dari kenikmatan dunia dan selalu ingin merasa  dekat dengan Allah SWT, dan ketika beribadah pun harus menghilangkan rasa ingin dilihat orang lain. Jadi ketika beribadah harus murni niatnya lillahi ta’ala tanpa ada niatan untuk selain-Nya. Tahapan ini merupakan tahapan fana tingkat mental.

Tahapan ketiga menunjukkan manusia akan mengalami kehilangan kesadaran karena sudah mencapai tingkatan tauhid. Inilah kondisi ketika seorang manusia benar-benar diliputi dan ditenggelamkan oleh Allah. Pada tahapan ini, individualitas manusia lenyap walaupun wujud jasmaniahnya masih ada.

Berhubung kondisi ini tidak dapat bertahan lama, maka fana terliputi oleh baqa atau abadi dalam Allah. Fana dan baqa merupakan satu kondisi yang sama dari dua aspek yang berbeda. Ketika seorang manusia sudah mencapai taraf fana yang sempurna, maka pada saat itu juga ia kekal dalam Allah. Fana yang sempurna bukan hanya penghilangan diri, melainkan suatu proses keberlanjutan diri dalam kekekalan Allah.

3. Tauhid

Tauhid merupakan salah satu ajaran mendasar yang meyakini bahwa sesuatu itu satu. Dalam ajaran Islam, tauhid membahas tentang sifat keesaan Allah, bahwa Allah itu satu. Dalam keilmuan tasawuf, tauhid tidak lagi membahas seperti pembahasan kaum fikih sepeti sifat wajib bagi Allah, sifat mustahil bagi Allah dan sejenisnya.

Imam junaid memiliki pemahaman tauhid yang bisa dikategorikan sulit dan mudah. Kategori mudah adalah ketika dapat dipahami oleh orang yang awam karena pendapatnya yang begitu mudah dipahami dan diterima oeh masyarakat awam, dan yang kategori sulit adalah tidak dapat dipahami oleh tokoh sufi terkemuka sekalipun.

Imam Junayd mengatkan dalam tulisannya, “Ketauhilah bahwa awal dari ibadah kepada Allah Azza Wajalla ialah Ma’rifat terhadap-Nya, dasar Ma’rifat adalah tauhid kepada-Nya. Sistematika tauhid terhadap-Nya ialah meniadakan sifat-sifat diri-Nya, dari ke-bagaimanaan-Nya, uraian dan ke-dimanaaan-Nya. Dengan membebaskan (sifat-sifat-Nya dan konsepsi tentang-Nya tersebut) maka seseorang akan mendapatkan petunjuk tentang-Nya. Sebab petunjuk mencapai diri-Nya adalah keterhimpunan (yang mampu menerima) Allah. Dengan Taufiq Allah, maka muncullah tauhid.”

Imam Junaid melanjutkan, penjelasan paling masuk akal dari tauhid pernah disampaikan oleh Abu Bakar As Siddiq. “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahi makhluk-Nya ketidakmampuan untuk mempelajari segala sesuatu tentang-Nya, kecuali melalui ketidakberdayaan mereka untuk meraih pengetahuan tentang-Nya.”

Tauhid merupakan realitas yang di dalamnya seluruh jejak menghilang dan seluruh pertanda runtuh, sementara Allah tetap menjadi diri-Nya.

Imam Junaid jika sudah berbicara tentang tauhid maka akan fokus kepada satu poin yang menurutnya sangat penting, bahwa Allah adalah aktor yang sesungguhnya. Menurutnya tauhid adalah kesadaran dan pengakuan bahwa Allah-lah maha tunggal dalam ke-azaliannya, tidak ada yang bersama-Nya dan tidak ada satu pun yang sama dengan perbuatan Allah.

Bagi kaum para sufi, seorang muwahid atau orang yang iman kepada keesaan Allah yang sejati adalah bukan yang hanya mengucapkan kalimat syahadat saja, namun juga harus dibuktikan dengan tindakan.

Adapun tingkatan tauhid menurut Imam Junaid adalah yang pertama, orang yang menguasai ilmu tauhid tergantung kepada penegasan dalam mengesakan Allah. Kedua, kebaikan yang datang dari diri kita masih karena takut kepada Allah, bukan murni berbuat baik lillahitaala. Maksudnya hanya orang-orang piihan yang bisa masuk ke dalam tauhid tahap kedua ini atau bisa disebut dengan ma’riat. Ketiga adalah tahapa tauhid ma’rifat.

Oleh: Ghina Mufidah, Mahasiswa Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya


Editor: Daniel Simatupang