Sufi Healing, Metode Penanganan Taruma Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah

 
Sufi Healing, Metode Penanganan Taruma Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pexels

Laduni.ID, Jakarta – Indonesia merupakan negara kepulauan dengan letak geografis yang unggul. Hidrologi dan kependudukan rentan terhadap bencana. Oleh karena itu, bencana alam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, karena bencana alam terjadi hampir setiap hari di Indonesia, contohnya adalah gempa bumi yang terjadi setidaknya sekali sehari.

Selain peristiwa alam yang terjadi setiap hari, akhir-akhir ini juga terjadi banjir bandang, tanah longsor, angin topan, dan letusan gunung berapi di pulau Jawa (hayatul khairul rahmat, 2018). Letusan Gunung Semeru yang terjadi pada Sabtu sore (4/12), menyebabkan beberapa warga di sana dilaporkan hilang. Mereka diyakini telah terkubur dalam abu.

Sabtu malam (4/12), Gunung Semeru mengeluarkan asap dan abu panas ke area sekitarnya. Akibat kejadian ini, warga desa sekitar pegunungan di ketinggian 3.676 meter dievakuasi satu demi satu untuk menghindari pengaruh awan Panas (Indonesia, 2021). Hal ini menyebabkan banyak warga yang trauma dengan kejadian ini, dampak bencana (yang ditimbulkan) bersifat psikologis dan non-psikologis.

Dampak non-psikologis dapat dikatakan dengan jelas berupa rusaknya keseimbangan alam, rusaknya lingkungan, dan jatuhnya Korban jiwa, harta benda dan rusaknya tatanan ekosistem. Juga bencana ini dapat mengakibatkan hilangnya unsur-unsur sosial dan budaya, perubahan norma sosial, perubahan kebijakan politik, dan perubahan cara interaksi antar individu.

Efek kedua adalah psikologis, kondisi psikologis dipengaruhi oleh interaksi perubahan atau gangguan kondisi fisik, psikis, sosial dan materi. Jika dibiarkan, trauma yang dialami korban akan mempengaruhi kehidupan normalnya. Oleh karena itu, ia perlu pulih dari trauma untuk kembali normal dan dapat menjalani hidupnya sebagaimana mestinya.

Kadang-kadang, korban bencana akan memiliki ingatan yang berulang tentang bencana, dan kemudian mereka akan mengalami depresi emosional yang lebih serius, bahkan insomnia dan kewaspadaan yang berlebihan. Jika anak-anak trauma dengan bencana alam, itu akan merenggut kebahagiaan mereka (hayatul khairul rahmat, 2018).

Sufi healing sudah dikenal sejak zaman Nabi, tradisi ini berawal dari pengalaman Nabi Muhammad SAW ketika menghadapi berbagai masalah keadaan mental, sampai beliau memutuskan untuk berada di Gua Hira. Nabi Muhammad SAW memutuskan hubungannya dengan masyarakat dan menyendiri di Gua Hira untuk bertahannut dan mengingat kepada Allah SWT.

Dia berkhalwat dan beribadah dengan mendekati-Nya, tahannut dan khalwat bukan karena Nabi membenci dunia, tetapi karena ingin membersihkan, menyucikan, dan menyehatkan jiwanya. Pada masa Tabiin, terapi jenis ini menjadi tradisi Salik, Zahid dan Sufi. Tradisi ini mereka lakukan karena Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi SAW oleh Allah SWT yang dianggap sebagai sumber ilmu dan pedoman hidup (Arroisi, 2018).

Seiring dengan perkembangan zaman, Syekh Hakim Mu'inuddin Chisyti, seorang tokoh sufi dari Ajmer, India, memperkenalkan terapi sufi untuk pertama kalinya, yang terangkum sebagai Sains ada dalam bukunya yang berjudul The Book of Sufi Healing.

Dia memperkenalkan bagaimana memperlakukan orang dengan cara yang Islami (Vina Nur Hasty), salah satunya adalah metode yang digunakan oleh para sufi. Ada banyak cara untuk melakukan terapi sufi. Jalan-jalan tersebut antara lain sama dengan yang dilakukan oleh para sufi, yaitu lewat dzikir, shalat, membaca shalawat, dan mendengarkan musik. Cara-cara tersebut terbukti sangat ampuh mengatasi berbagai penyakit. Tentunya menggunakan metode atau kaifiyah tertentu atau di bawah bimbingan guru.

Dalam ilmu kedokteran, istilah imunologi psiko-neuro-endokrin sangat dikenal, dan kesimpulannya menunjukkan bahwa ada hubungan antara tubuh dan pikiran. Pikiran dapat mempengaruhi kesehatan. Penyembuhan sufi didasarkan pada dzikir, yang merupakan pusat orbit perilaku penyembuhan. Jika dipadukan dengan kebutuhan kesehatan masyarakat modern dan kecenderungan empirisme dan rasionalisme, maka Sufi Healing akan mendapatkan status khusus (Hijrah s, 2012).

Terapi sufi ini memiliki Fungsi utamanya meliputi pemahaman, pengendalian, prediksi, pendidikan, dan pengembangan. Terapi sufi memiliki beberapa komponen penting yaitu ketenangan, keimanan, ketakwaan, kesadaran dan penghayatan (Vina Nur Hasty, hal. 4). Hal ini dilakukan dalam rangka takhalli dan taḥalli, dengan tujuan mewujudkan tajalli dalam tahapan tasawuf.

Inti dari ritual ini terletak pada dzikirnya, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Oleh karena itu, semua kegiatan penyembuhan sufi dipusatkan dan didasarkan pada berbagai bentuk dzikir kepada Allah.

Dalam psikologi transpersonal, semua ini dapat diukur dengan teori kesadaran (Syukur, 2012). Dengan Sufi Healing ini, kita berharap dapat mengurangi trauma korban bencana dalam situasi krisis pasca erupsi Gunung Semeru di Pulau Jawa hari ini.

Oleh: Achmad Buchari


Editor: Daniel Simatupang