Gus Nadir: Setelah Sandal dan Ketum Tertukar, NU Memasuki Abad Kedua

 
Gus Nadir: Setelah Sandal dan Ketum Tertukar, NU Memasuki Abad Kedua
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 di Lampung baru saja berakhir. Persiapan panitia yang serba ringkas di masa darurat pandemi, konflik dan polarisasi kontestasi, serta isu dan fitnah berhamburan. Namun ajaibnya semuanya berujung anti-klimaks, Muktamar berjalan lancar dan NU tetap utuh bersatu. Apa yang terjadi sebenarnya?

Ketegangan selama persidangan yang melelahkan tentu saja ada. Letupan kecil – yang langsung viral dan disorot media – tentu juga ada. Tapi secara umum, Muktamar ini berjalan dengan khidmat dan ceria, tidak seperti dua Muktamar sebelumnya di Makassar dan Jombang.

Salah satu tokoh yang perlu dicatat dengan tinta emas adalah Prof M Nuh selaku ketua Steering Committee (Panitia Pengarah). Beliaulah bintang cemerlang di Muktamar Lampung. Tak banyak yang tahu bahwa sebelum Muktamar berlangsung, Prof Nuh mengumpulkan kedua kubu yang berkompetisi untuk bertemu berkali-kali. Hal-hal krusial dan bisa menimbulkan kegaduhan beliau tengahi dan selesaikan di luar Muktamar. Sehingga kedua kubu memasuki Muktamar dengan tenang dan sejuk.

Bahkan dalam arena Muktamar pun beliau turun tangan langsung sebagai pemimpin sidang. Pembawaan beliau yang adem dan sabar menunjukkan kelasnya tersendiri, itu sebabnya secara umum Muktamar berjalan dengan sukses. Kalau bukan Prof M Nuh yang memimpin siding, mungkin ceritanya akan lain.

Begitu juga banyak ulama dan kekasih Allah yang menempuh laku spiritual agar Muktamar berjalan dengan lancar. Tentu nama-nama mereka tidak muncul di medsos. Ada yang datang ke Lampung tapi memilih menjadi romli (rombongan liar) bukan utusan resmi, dan menjaga keutuhan NU dengan caranya. Ada yang berada jauh dari Lampung berdoa di tempat tertentu demi persatuan NU.

Karakter NU yang Demokratis

Di samping peranan lahiriah Prof M Nuh dan kontribusi batiniah para ulama dan kekasih Allah, berjalannya Muktamar dengan baik juga akibat semakin dewasanya warga NU dalam berdemokrasi. Pemilihan tidak hanya berdasarkan kalkulasi suara, tetapi juga mengedepankan Akhlak.

Tengok saja bagaimana penjelasan anggota Ahwa (ahlul halli wal aqdi) yang bermusyawarah menentukan Rais Am terpilih. KH Zainal Abidin (Sulawesi Tengah) mewakili 9 anggota Ahwa menjelaskan di depan muktamirin, bagaimana para kiai sepuh berdiskusi dengan akrab dan penuh adab.

Kita juga saksikan bagaimana KH Said Aqil Siradj dan KH Yahya Cholil Staquf yang berkontestasi secara ketat, namun mampu mengedepankan akhlak mulia, saling memuji dan menghormati. Demokrasi plus akhlak – Inilah yang ditunjukkan NU untuk bangsa ini.

Yang Tertukar

Namun bukan NU kalau tidak ada guyonannya. Viral beredar luas bagaimana disela-sela penghitungan suara ada pengumuman sandal kiai yang tertukar selepas shalat subuh. Rupanya karena kelelahan, ada peserta yang salah pakai sandal utusan lainnya.

Panitia pun mengumumkan sandal yang tertukar tadi justru pada momen krusial penghitungan suara. Inilah karakter santri, baik di pondok pesantren maupun di arena Muktamar, selalu sigap menjaga sandal Kiai-nya.

Guyonan lain muncul, kali ini oleh salah satu media yang keliru menampilkan headline bahwa yang terpilih sebagai Ketua Umum PBNU adalah Buya Yahya, lengkap dengan memasang foto Buya Yahya, ulama kharismatik dari Cirebon. Media itu rupanya tidak hadir di Lampung dan tidak mengerti bahwa yang terpilih adalah Yahya yang lain, bukan Yahya yang ini.

Setelah ada peristiwa sandal tertukar, malah muncul guyonan Ketum yang tertukar. NU menunjukkan bahwa bangsa ini perlu kembali pada kaidah Gus Dur, “Gitu aja kok repot!”

Pasca Muktamar

Pertanyaan utamanya memang bagaimana setelah Muktamar ini Rais Am dan Ketum PBNU terpilih mampu melaksanakan amanat dan mandat Muktamirin dengan sebaik mungkin.

Pertama, tim formatur perlu menyusun kabinet kepengurusan yang zaken kabinet alias kabinet ahli dan professional, serta mencerminkan masa transisi dan regenerasi memasuki abad kedua NU. Para Kiai penjaga Aswaja, para pemikir strategik yang visioner, serta praktisi kalangan profesional perlu dipertimbangkan untuk memperkuat jajaran kepengurusan PBNU.

Kedua, kemandirian NU dalam berkhidmat, seperti yang diamanatkan Muktamar, harus menjadi perhatian PBNU 2021-2026. Selepas acara Muktamar saya didatangi peserta dari Kudus yang merupakan petani tebu. Beliau mengeluhkan nasib warga NU di level bawah, ini contoh kenyataan yang harus dijawab oleh Rais Am dan Ketum terpilih. Keberpihakan pada rakyat kecil yang mayoritas warga NU menjadi sebuah kewajjban.

Konsesi yang dijanjikan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Pembukaan Muktamar juga harus disikapi dengan jernih. NU harus bisa tawasuth agar berbagai kepentingan bisnis bisa berjalan dengan baik tanpa merusak alam dan lingkungan, serta bisa memberikan kemaslahatan untuk semua pihak, bukan kalangan tertentu saja.

Ketiga, Kiai Yahya selaku Ketum terpilih sudah menegaskan berulangkali bahwa tidak akan ada Capres-Cawapres 2024 dari PBNU. Nah, bagaimana sikap ini bisa diwujudkan dalam bentuk kemandirian politik NU, tanpa menafikan aspirasi politik warga NU sendiri? Ini tentu perlu kajian yang mendalam.

‘Ala kulli hal, selamat kepada para panitia, muktamirin, dan khususnya pasangan duet Rais Am dan Ketum PBNU terpilih. Semoga sukses menjalankan amanat. Terima kasih pula atas pengabdian KH Said Aqil Siradj dan A Helmy Faishal Zaini selaku Ketum dan Sekjen yang lama. Semoga tercatat sebagai amal jariyah.

Tabik,

Oleh: Gus Nadirsyah Hosen
*Artikel ini pertama kali terbit di Jawa Pos (27/12/2021)


Editor: Daniel Simatupang