Gus Dur dan Wacana Gender (Bagian 2)

 
Gus Dur dan Wacana Gender (Bagian 2)
Sumber Gambar: Gus Dur/Detik.com

Laduni.ID, Jakarta – Bagaimana Islam menempatkan perempuan? Ini bisa dilihat dari berbagai perspektif. Ada sebagian kalangan menganggap bahwa secara doktrinal ajaran Islam menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Ini merupakan buah penafsiran atas beberapa teks agama yang seolah-olah berbicara demikian.

Al-Quran menyatakan bahwa,

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar. (QS. An-Nisa; 34)

Ayat ini sesungguhnya memberikan pengertian antropologis (Lily Zakiyah Munir (ed.), 1999: 36). Menurut KH. Abdurrahman Wahid, walaupun diputar-balik, memang laki-laki itu tetap qawwam, lebih tegar, lebih bertanggungjawab atas keselamatan perempuan, ketimbang sebaliknya (secara fisik), dan sebagainya.

Bisa juga dalam pengertian psikologis, lelaki melindungi perempuan sebagai makhluk yang dianggap lemah. Akan tetapi ada kekuatan pada diri perempuan, yakni bisa memilih laki-laki. Ini membuktikan bahwa di balik kelemahannya dari segi fisik, perempuan mempunyai kedudukan yang amat kuat. Memang sudah kodratnya lelaki mengejar perempuan (Lily Zakiyah Munir (ed.): 36-37).

Namun demikian, penafsiran yang keliru terhadap ayat itu akan menyebabkan Islam secara ideologis seperti membedakan posisi laki-laki dan perempuan. Penafsiran semacam itu tidak akan pernah terjadi seandainya umat Islam mau melakukan kajian yang serius terhadap asbab an-nuzul ayat itu, dengan memperhatikan konteks sosial yang ada saat itu. Model pengkajian semacam ini sudah dikembangkan berabad-abad yang lalu oleh para ahli ilmu Al-Quran seperti As-Suyuthi, Al-Wahidi, dan lain sebagainya.

Di tempat lain, ada hadis yang menyatakan, “Jangan serahkan urusan penting kepada perempuan.” Hadis ini sering dijadikan legitimasi ideologis oleh sebagian kelompok umat Islam, untuk melakukan proraganda dalam menghalang-halangi akses politik dalam berpolitik, dan menghalang-halangi mereka untuk berperan dalam ruang publik.

Sesungguhnya akan berbeda pemahamannya ketika mereka mempertimbangkan setting sosial masyarakat yang selalu berkembang dari zaman ke zaman. Untuk ini para ulama terdahulu sesungguhnya telah mengembangkan ilmu asbab al-wurud yang berbicara tentang latar belakang munculnya hadis.

Ahli sejarah manapun akan mengatakan bahwa pada masa Nabi Muhammad bangsa Arab dan sekitarnya, terutama yang belum menganut Islam, menggunakan model kepemimpinan atas dasar suku, kabilah, klan keluarga, dan semacamnya. Bahkan tampilnya dinasti-dinasti Islam pasca al-khulafa ar-rasyidun, seperti Umawiyah, Abbasiah, Fathimiyah, dan lain sebagainya, sering dianggap sebagai menguatnya kembali rasa kesukuan pada bangsa Arab setelah perekat spiritual di antara umat Islam semakin memudar – dengan tidak menutup mata atas keberhasilan-keberhasilan cemerlang dinasti-dinasti tersebut.

Kembali pada soal kepemimpinan perempuan yang diisyaratkan dalam hadis tersebut, semestinya disadari bahwa kepemimpinan atas dasar suku waktu itu mengandaikan seorang pemimpin (suku) memegang peran penting untuk segala macam urusan.

Dengan kata lain, dia adalah pemutus hukum, pemimpin peperangan, pengatur kebijakan ekonomi, pengatur keuangan, pengatur akhlak, dan keamanan. Bisa dibayangkan, bagaimana jika perempuan yang dalam masa itu masih disubordinasikan dalam tingkat yang demikian rendah, harus tampil sebagai pemimpin.

Menurut KH. Abdurrahman Wahid, jika kita melihat Islam hanya secara normatif, yaitu dari apa yang ada di fikih, akhlak, mungkin juga tasawuf, atau pada i’tikad kita, bisa saja itu berbeda dengan HAM. Akan tetapi yang terpenting adalah apakah dalam masyarakat kaum Muslim, kedudukan perempuan dan laki-laki sama di muka hukum, secara konstitusional, maupun legal (Lily Zakiyah Munir (ed.), 1999, 37).

Fikih yang ditulis oleh para ulama kalau dipahami secara lebih mendalam sarat dengan perubahan-perubahan sesuai dengan konteks geografis, kultur, dan sosio-politik di mana pengambilan suatu hukum dilakukan.

Sebagai ilustrasi, persyaratan menjadi hakim (qadhi) yang menurut Al-Mawardi (w. 450H) dalam karya monumentalnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah’, harus laki-laki. Akan tetapi, seorang kiai NU dari pesantren (KH. Muhammad Ilyas- pen.), yang dulu pernah menjabat sebagai Menteri Agama, justru membolehkan perempuan untuk memasuki Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Negeri. Dan kemudian mereka bisa melajutkan ke Fakultas Syari’ah Jurusan Qadha. Ini artinya, ia akan mendapatkan ijazah dan bisa menjadi guru hakim agama, dan lama-lama bisa menjadi hakim agama (Lily Zakiyah Munir (ed.), 1999: 39).

Peran penting dipegang oleh kaum perempuan banyak kita lihat contohnya dalam sejarah. Aisyah, istri Rasulullah adalah perempuan yang amat popular, pandangannya dalam soal-soal agama maupun pemerintahan dijadikan rujukan bagi para sahabat, bahkan menjadi pemimpin dalam perang Jamal.

Syajarah ad-Dur, menjadi ratu pada masa dinasti Mamalik. Benazir Butho, tidak menemukan masalah untuk tampil sebagai perdana menteri di Republik Islam Pakistan yang hampir semua penduduknya notabene Muslim.

Di lingkungan NU, pemberdayaan terhadap kaum perempuan menjadi concern utama bagi pembangunan masyarakat. Cita-cita ini mendasari lahirnya organisasi-organisasi perempuan seperti IPPNU, Muslimat NU, dan Fatayat NU. NU menentang pandangan tradisional di masa sebelum dan menjelang kemerdekaan, di mana perempuan dianggap sebagai "konco winking" (temang di belakang).

Secara konseptual, NU pada dasarnya mengembangkan pandangan kesetaraan derajat perempuan dengan laki-laki (dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan kodrat). Beberapa keputusan di lingkungan ulama NU mencerminkan pandangan ini, seperti: (1) Keputusan Konbes Syuriah NU tanggal 17 Sya’ban 1376 H/19 Maret 1957 M di Surabaya, yang membolehkan kaum wanita menjadi anggota DPR/DPRD; (2) Keputusan Muktamar NU tahun 1961 di Salatiga yang membolehkan seorang wanita menjadi kepada desa; dan (3) Keputusan Munas Alim Ulama tahun 1997 di NTB, memberikan lampu hijau atas peran publik, hingga menjadi presiden dan wakil presiden.

Oleh sebab itu, tidak cukup beralasan jika Islam (baca: Ahlussunnah Waljama’ah) secara ideologis menolak kepemimpinan perempuan atau mensubordinasikan kaum perempuan.

Oleh: Aji Setiawan


Editor: Daniel Simatupang