Bentuk-Bentuk Kecerdasan dan Agama dalam Psikologi Islam

 
Bentuk-Bentuk Kecerdasan dan Agama dalam Psikologi Islam
Sumber Gambar: Max Fischer/Pexels (ilustrasi)

Laduni.ID, Jakarta - Bentuk-bentuk kecerdasan qalbiah seperti kecerdasan intelektual, emosi, moral, spiritual, dan beragama sulit dipisahkan, sebab semuanya merupakan perilaku qalbu. Barangkali yang dapat membedakannya adalah niat dan motivasi yang mendorong perilaku qalbiah, apakah perilaku itu berasal dari insaniah atau ilahiah. Adapun bentuk-bentuk kecerdasan qalbiah yaitu :

Pertama , kecerdasan ihkbat, yaitu kondisi qalbu yang memiliki kerendahan dan kelembutan hati, merasa tenang dan khusyu dihadapan Allah, dan tidak menganiaya orang lain. Kecerdasan ikhbat dapat diartikan sebagai kondisi qalbu yang kembali dan mengabdi denagn kerendahan hati kepada Allah, merasa tenang jika berzikir kepada-Nya, tunduk dan dekat kepada-Nya. Kondisi ikhbat merupakan dasar bagi terciptanya kondisi jiwa yang tenang, yakin dan percaya kepada Allah.

Kedua , kecerdasan zuhud. Secara harfiah zuhud berarti berpaling, menganggap hina dan kecil, serta tidak merasa butuh terhadap sesuatu. Kecerdasan zuhud memiliki tiga tingkatan : pertama, zuhud dari hal-hal yang syubhat. Kedua, zuhud dari penggunaan harta yang berlebihan. Dan ketiga, zuhud dalam zuhud.

Ketiga, kecerdasan wara’. Wara’ adalah mejaga diri dari perbuatan yang tidak baik, yang dapat menurunkan derajat dan kewibawaan diri seseorang.

Keempat , kecerdasan dalam berharap baik (Raja’). Raja’ ialah berharap terhadap sesuatu kebaikan terhadap Allah SWT dengan disertai usaha yang sungguh-sungguh dan tawakkal. Hal itu tentunya berbeda dengan al-Tamanni (angan-angan), sebab merupakan harapan dengan bermalas-malasan tanpa disertai dengan usaha.

Raja’ dapat berupa harapan seseorang terhadap pahala setelah ia melakukan ketaatan kepada Allah SWT, atau harapan ampunan darinya setelah ia bertobat dari dosanya. Menurut Ibnu Qayim raja’ memiliki tiga tingkatan; pertama harapan yang mendorong seseorang untuk berusaha dengan sungguh-sungguh, sehingga melahirkan kenikmatan batin dan meninggalkan larangan. Kedua, harapan orang-orang yang mengadakan latihan, agar ia dapat membersihkan hasratnya dan terhindar dari kemudhorotan masa depan. Ketiga, harapan kalbu seseorang untuk bertemu pada Tuhannya dan kehidupannya dimotivasi oleh kerinduan kepadanya.

Kelima, kecerdasan Ri’ayah. Ialah memelihara pengetahuan yang pernah diperoleh dan mengaplikasikannya dengan perilaku nyata. Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah, ilustrasi ini menunjukkan bahwa pendekatan perolehan ilmu bukan hanya melalui fakultas piker belaka, tapi juga harus menyertakan fakulta dzikir. Gabungan keduanya akan melahirkan ulu al-bab , yaitu orang yang beriman dan beramal shaleh. Dan kecerdasan ini merupakan bentuk kecerdasan intelektual-qalbiah.

Menurut Ibnu Qayyim, orang yang telah berilmu memiliki tiga tingkat; pertama, Riwayah yaitu seseorang yang hanya sekedar menerima dan meriwayatkan ilmu pengetahuan dari orang lain. Kedua, Dirayah, yaitu orang yang berusaha memahami, menganalisa, mengkritisi, dan memikirkan maknanya. Ketiga, Riayah, yaitu orang yang mengaplikasi apa yang diketahui melalui perbuatan nyata.

Keenam, kecerdasan Muqorrobah. Yaitu berarti kesadaran seseorang bahwa Allah SWT mengetahui dan mengawasi apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuatnya baik lahir maupun batin. Sehingga tidak sedetikpun waktu yang terbuang untuk mengingat-Nya.

Ketujuh, kecerdasan Ikhlas. Yaitu kemurnian dan ketaatan yang ditujukan kepada Allah semata, dengan cara membersihkan perbuatan baik lahir maupun batin. Menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya, ikhlas dikaitkan pada kondisi ibadah seseorang yang terhindar dari perbuatan penyekutuan Tuhan dengan sesuatu. Sedangkan menurut Qayyim, ikhlas dibagi kedalam tiga tingkat; pertama, tidak menganggap bernilai lebih terhadap perbuatan yang dilakukan. Kedua , merasa malu terhadap perbuatan yang telah dilakukan sambil berusaha sekuat tenaga untuk memperbaikinya. Ketiga, berbuat dengan ikhlas melalui keihklasan dalam berbuat yang didasarkan atas ilmu dan hukum-hukum-Nya.

Kedelapan, kecerdasan istiqomah. Ialah berarti melakukan suatu pekerjaan baik melalui prinsip kontinuitas dan keabadian. Ibnu Qoyyim membagi istiqomah dalam tiga tingkatan; Pertama, istiqomah dalam arti kesederhanaan dalam bersungguh-sungguh sehingga tidak melampaui batas pengetahuan, ikhlas dan sunnah. Kedua, Istiqomah keadaan, dengan menyaksikan hakikat sesuatu berdasarkan ilmu dan cahaya kesadaran. Hakikat ini meliput hakikat Kauniyah dan hakikat Diniyyah. Ketiga, istiqomah dengan cara tidak menganggap berarti istiqomah yang pernah dilakukan, sehingga ia terus berusaha untuk beristiqomah pada jalan yang benar.

Kesembilan, kecerdasan Tawakkal, yaitu menyerahkan diri sepenuh hati, sehingga tiada beban psikologis yang dirasakan. Dalam hal ini tawakkal yang dimaksud adalah mewakili atau menyerahkan semua urusan kepada Allah SWT, sebagai Zat yang mampu menyelesaikan semua urusan.

Tawakkal menghindarkan seseorang dari sikap meterialis, dikatakan demikian karena tawakkal menuntut seseorang untuk menggunakan harta benda secukupnya, meskipun batas kecukupan itu relatif. Untuk memperoleh tawakkal yang sesungguhnya, Ibnu Qayyim memberikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut; >memiliki keyakinan yang benar tentang kekuasaan dan kehendak Allah, mengetahui hokum sebab akibat akan urusan yang dikerjakan, memperkuat qalbu dengan tauhid, menyandarkan qalbu kepada Allah SWT dan merasa tenang disisinya, memiliki persangkaan yang baik terhadap Allah SWT, menyerahkan Qolbu sepenuhnya kepada Allah dan menghalau apa saja yang merntanngi, pasrah atau menyerahkan segala urusan kepada-Nya.

Ibnu Qayyim lebih lankut mengemukakan tiga tingkatan tawakkal; pertama,tawakkal yang disertai dengan permohonan dan menempuh sebab-sebab memperoleh permohonan tersebut. Kedua, tawakkal yang tidak disertai dengan permohonan sehingga ia meninggalkan sebab-sebabnya. Ketiga, tawakkal dengan mengetahui hakikat tawakkal, sehingga dapat membebaskan dari penyakit dan menambah kepercayaan akan keagungan Tuhan.

Kesepuluh , Kecerdasan Sabar. Berarti menahan, maksudnya menahan diri dari hal-hal yang dibenci dan menahan lisan agar tidak mengeluh. Sabar dalam pandangan ibnu Qayyim terbagi atas dua macam pengertian; Pertama, sabar adalah menahan diri dari segala yang tidak menyenangkan, Kedua sabar adalah ketabahan yang disertai sikap berani, melawan dan menentang terhadap sesuatu yang mnimpah.

Ibnu Qayyim selanjutnya mengemukakan tiga terminology sabar yang mencerminkan stratifikasinya. Pertama, stratifikasi al-tashabbur, yaitu sabar terhadap kesulitan dan tidak merasakan adanya kesedihan. Kedua, al- shabr yaitu sikap yang tidak merasa terbebani terhadap adanya musibah dan kesulitan. Ketiga, al-ishtibar yaitu menikmati musibah dengan perasaan gembira.

Lebih lanjut Ia menyebut tiga jenis sabar; petama, sabar bi-Allah yaitu sabar yang lazim diperankan oleh kebanyakan orang, yang selalu mengharap pertolongan dari-Nya. Kedua, sabar li-Allah yaitu sabar yang diperankan oleh al-muridin yang motif sabarnya tidak lain karena Cinta kepada Allah. Ketiga sabar ma’a-Allah yaitu sabar yang dilakukan oleh orang-orang yang menempuh jalan spiritual dengan cara tunduk dan senang melaksanakan perintah-Nya.

Kesebelas, kecerdasan Ridho, adalah rela terhadap apa yang dimiliki dan diberikan. Ridho merupakan kedudukan spiritual seseorang yang diusahakan setelah ia melakukan tawakkal. Untuk mengukur benar tidaknya ridho seseorang, Ibnu Qayyim memberikan batasan-batasan, tiga diantaranya adalah; Pertama, sebagai pihak yang pasrah seorang hamba harus rela terhadap pilihan Allah SWT karena hal itu mengandung hikmah. Kedua, hamba yakin bahwa takdir Allah SWT baik tentang nikmat atau cobaan tidak akan berubah. Ketiga, sebagai hamba, seorang tidak boleh benci atau marah terhadap pilihan atau pemberian Tuhannya.

Keduabelas, kecerdasan Syukur, adalah menampakkan nikmat Allah SWT. Syukur dilakukan dengan tiga tahap; pertama, mengetahui nikmat, dengan cara memasukkan dalam ingatan bahwa nikmat yang diberikan oleh pemberi telah sampai pada penerima. Kedua, menerima nikmat dengan cara menampakkan pada pemberi bahwa ia sangat butuh terhadap pemberian-Nya dan tidak minta lebih. Ketiga, memuji pemberian-nya dengan cara membaca hamdalah.

Ibnu Qayyim membagi syukur kedalam tiga tingkatan; pertama, sukur terhadap sesuatu yang dicintai. Kedua, syukur terhadap sesuatu yang dibenci. Ketiga, syukur tanpa mengenal objek yang diterima.


Editor: Nasirudin Latif