Khutbah Jumat: Menyemai Moderasi Beragama

 
Khutbah Jumat: Menyemai Moderasi Beragama
Sumber Gambar: foto Ist

Khutbah I

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ وَفَّقَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِفَضْلِهِ وَكَرَمِهِ، وَخَذَلَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِمَشِيْئَتِهِ وَعَدْلِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَلَا شَبِيْهَ وَلَا مِثْلَ وَلَا نِدَّ لَهُ، وَلَا حَدَّ وَلَا جُثَّةَ وَلَا أَعْضَاءَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا وَعَظِيْمَنَا وَقَائِدَنَا وَقُرَّةَ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَصَفِيُّهُ وَحَبِيْبُهُ. اَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَّالَاهُ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ. أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Mengawali khutbah yang singkat ini, khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menjalankan semua kewajiban dan menjauhkan diri dari segala yang dilarang dan diharamkan.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Dalam hadisnya yang terkenal, Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-baik perkara adalah yang paling tengah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bayhaqi dalam tiga kitab hadisnya (Sunan al-Baihaqī, Syu’b al-īman dan aldāb) ini mengandung pengertian bahwa tatkala kita melangsungkan sebuah aktivitas ataupun dalam menerapkan suatu praktik ideologis, hendaknya dilakukan dengan sifat yang tengah-tengah. Bersikap tengah-tengah atau moderasi mengandaikan sebuah sikap yang stabil dan matang, sebuah karkater yang bijak mengambil jalan tengah dari dua tepian yang cenderung berbahaya untuk dilalui.

Islam diturunkan ke muka bumi ini sebagai ajaran yang membawa rahmat bagi semesta alam, corak ajarannya yang fleksibel (sālih) pada segala ruang dan waktu menjadikannya sebagai agama yang ramah dan bersahabat. Hal ini salah satunya yang mendorong seorang ulama besar asal Makkah al-Mukarramah kenamaan, Sayyid al-Alawi al-Maliky, dalam membuat sebuah kitab berjudul Khasāish al-Ummat al-Muhammadiyyah, kitab yang memuat kekhususan-kekhususan umat Nabi Muhammad Saw.

Di antara sekian banyak kekhususan dan keutamaan yang diberikan oleh Allah Swt kepada umat Islam, sebagaimana ditulis oleh Sayyid al-Alawi al-Maliky, adalah dijadikannya Islam sebagai agama yang moderat, Ummatan Wasathan (pada bahasan kekhususan nomor 3). Dalam narasi yang disampaikan mengenai tema ini, ia menjelaskan bahwa Allah Swt, seusai mengabulkan doa Nabi Muhammad agar mempunyai kiblat sendiri dan tidak menyamai kiblat agama sebelumnya (yakni Baitul Maqdis),  dianugerahkan pula kepada kepada mereka jaminan mendapatkan arahan menuju Shirat al-Mustaqim (jalan yang lurus). Baru kemudian Allah Swt menegaskan bahwa selain itu umat Islam juga diberikan anugerah menjadi Ummatan Wasathan (Umat yang moderat).

Hal ini sebagaimana difirmankan dalam al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat 143,

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ (١٤٣)

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Sayyid Alawi al-Maliki menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Wasthu (tengah-tengah) adalah berdiri di garis tengah, berdiam di jalan yang stabil, dan posisi ini merupakan pengejawantahan dari kata shirath al-Mustaqim (jalan yang lurus) yang dihidayahkan oleh Allah Swt kepada umat Islam. Al-Wasthu juga bermakna adil, karena hakikat al-Wasthu adalah garis tengah antara dua tepian, maka tidak diragukan bahwa kedua tepian tersebut (berdiam di dua tepi yang ekstrim) merupakan sebuah kecelekaan, dan bersikap tengah-tengah (moderat/tawassuth) adalah upaya untuk menjauhi kedua tepian tersebut. Demikian sebagaimana dijelaskan olehnya.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Dalam kitab al-Wastahiyyah min Khashaish Ummat al-Islam wa Ahl al-Sunnah yang ditulis oleh Dr. Muhammad bin Musa Alu Nashrin dijelaskan bahwa di antara bentuk moderatisme manhaj umat Islam adalah bersikap tengah-tengah (al-I’tidal wa al-Tawazun) dan selamat dari sikap ekstrem pada dua sisi, yakni selamat dari sikap berlebihan ataupun mengurangi.

Hal tersebut didukung oleh dua ungkapan ulama salaf al-Imam al-Awza’i (w. 157 H) : Tidaklah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah kecuali setan akan hadir pada dua tempat – tidak diketahui pada bagian mana ia hinggap -, yakni pada hal-hal yang dikerjakan berlebihan (al-Ghuluww) dan pada hal-hal yang bersifat terlalu meringankan (al-Taqshir).

Begitupun yang disampaikan oleh al-Imam Wahb bin Munabbih (w. 113 H ) bahwa segala sesuatu memiliki dua sisi dan bagian tengah, apabila ia berdiam di satu maka ia akan condong ke arah yang dituju, dan apabila ia berdiam di tengah maka ia mampu bersikap seimbang dalam kondisi tersebut. Maka bagi kalian untuk berdiam di tengah (menganbil takaran yang tengah) dalam segala sesuatu.”

Prinsip Dasar Moderasi Beragama

Dalam kaitannya dengan kajian konseptual moderasi dalam beragama, Kementerian Agama dalam buku Moderasi Beragama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bersikap moderat dalam beragama adalah sikap kita dalam memilih cara pandang, sikap, dan perilaku di tengah (al-I’tidal wa al-Wasth) di antara pilihan ekstrem yang ada. Sedangkan ekstremisme dalam beragama adalah memilih cara pandang, sikap dan perilaku melebihi batas-batas moderasi (al-Ghuluww wa al-Tasyaddud) dalam pemahaman dan praktik beragama. Dengan demikian, moderasi mengandaikan sebuah perilaku yang tengah, adil dan tidak ekstrem. (Kemenag, 2019:17)

Tentu, dalam hal ini, moderasi beragama perlu dipahami secara komprehensif. Sebagai sebuah pondasi praktik keberagamaan, sikap moderat perlu ada ukuran, batasan dan indikator untuk menentukan hakikat sikap moderasi tersebut. Dalam konteks keragaman umat beragama yang ada di Indonesia, setiap agama memiliki pijakan dan batasan masing-masing dalam menentukan sikap keberagamaannya yang moderat.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Prinsip moderasi beragama, sejatinya, adalah upaya untuk menjaga keseimbangan antara akal dan wahyu. Moderasi ditamsilkan bak bandul jam yang bergerak dinamis dan tidak statis. Bandul jam bergerak ke kanan dan ke kiri namun tetap bergerak kembali menuju tengah (pusat), hal ini mengandaikan sikap kita yang kadang terlalu ke kiri (memposisikan akal di atas segalanya) serta terlalu ke kanan (memahami teks keaagaman tanpa disertai penalaran), yang seharusnya adalah dengan tidak terpaku pada kedua sisi tersebut. Bandul jam harus bergerak dinamis ke kanan dan ke kiri seraya tetap memulangkan dirinya ke tengah demi terciptanya dentang waktu yang pas.

Selain itu, sikap moderasi beragama hendaknya juga memperhatikan kesiembangan hal-hal lain seperti elemen jasmani dan rohani, hak dan kewajiban, kepentingan individual dan kemasalahatan komunal, keharusan dan kesukarelaan, teks agama dan ijtihad tokoh agama, gagasan ideal dan kenyataan serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan. (Kemenag, 2019: 42)

Membicarakan rumusan perihal batasan dan ukuran serta indikator moderasi beragama tentu bukan sebuah upaya yang mudah. Namun, berdasarkan pendapat ahli dikatakan bahwa indikator moderasi beragama bisa dirumuskan ke dalam 4 hal ; 1) komitmen terhadap kebangsaan; 2) menjunjung toleransi; 3) menganut paham anti kekerasan; dan 4) akomodatif terhadap kebudayaan lokal.

Keempat indikator ini mengandaikan sebuah sikap moderasi yang unggul, khususnya jika dilekatkan dengan semangat kebangsaan yang harus dimiliki oleh masing-masing kita sebagai umat muslim yang baik.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Komitmen kebangsaan sebagai indikatir moderasi beragama meniscayakan pemahaman bahwa prinsip-prinsip agama tidak mesti dibenturkan dengan nilai kebangsaan, keduanya mampu berjalan bersamaan bahkan saling menguatkan. Disusul dengan komitmen untuk menyemai nilai toleransi di tengah realitas kemajemukan bangsa Indonesia yang serba multi (multi agama, multi etnis, multi suku, dan lain-lain) yang mau tidak mau harus kita bumikan dan realisasikan demi tercapainya keharmonisan berbangsa.

Menganut paham anti kekerasan menjadi asas berikutnya dalam hal indikator kesuksesan menerapkan moderasi beragama. Kekerasan, bagaimanapun, bukan sebuah solusi untuk menjalin kesatuan, masih banyak cara lain untuk mengentaskan permasalahan perbedaan. Dialog adalah salah satunya. Keragaman pemahaman, baik dalam unsur agama maupun politik, yang berkecambah subur di negeri demokrasi ini membutuhkan keahlian berdiskusi dan berdialog yang terlatih di antara tokoh dan petinggi sebagai langkah penyelesaian sebuah konflik. Tanpa hal tersebut negeri kita akan binasa oleh kekerasan-kekerasan yang jelas hal tersebut bertentangan dengan asas kita sebagai negeri yang menjunjung tinggi demokrasi dan moderasi.

Sikap akomodatif terhadap kebudayaan lokal yang juga merupakan asas indikator keberhasilan berlangsungnya moderasi dalam beragama merupakan pengejawantahan bahwa agama yang ada di Indonesia tidak sensitif terhadap kearifan lokal yang ada. Selama prinsip dan subtansi nilai agama tetap utuh, persinggungan agama dengan kearifan lokal tidaklah menjadi hal yang mesti dikhawatirkan. Dalam kajian kaidah fikih kita mengenal kaidah, “Adat bisa dijadikan sebagai sandaran hukum”, hal ini mengisyaratkan bahwa agama mampu berdampingan dengan kearifan lokal selama ia tetap menjaga prinsip subtansialnya dan selama mayoritas orang berilmu tidak mengingkarinya.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Dalam mewujudkan sikap wasathiyyah atau moderat tentu tidaklah mudah. Dalam penerapan Wasathiyyah sebagai pijakan berpikir diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar akan subtansi beragama, perlu kemumpunian dalam pengendalian emosi, dan kewaspadaan. Memantapkan diri pada posisi tengah, bagaimanapun, merupakan hal yang sukar dilakukan (karena ia bisa miring ke kiri atau kanan). Menerapkan wasathiyyah memerlukan jihad (mencurahkan tenaga), ijtihad (mengolah pikiran), dan mujahadah (mengendalikan diri). (Quraish Shihab dalam Wasathiyyah (Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama), 2019, hal.184)

Pada akhirnya, sikap moderasi yang bijak merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci terciptanya perdamaian dan kekhuyukan kita dalam beragama dan berbangsa.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Demikian khutbah yang singkat ini, mudah-mudahan pada bulan Rajab ini kita senantiasa diberi kekuatan, kemudahan dan kemampuan untuk memperbanyak kebaikan dan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Amin.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah II

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الصَّادِقِ الْوَعْدِ الْأَمِيْنِ، وَعَلٰى إِخْوَانِهِ النَّبِيِّيْنَ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَارْضَ اللهم عَنْ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَآلِ الْبَيْتِ الطَّاهِرِيْنَ، وَعَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَعَنِ الْأَئِمَّةِ الْمُهْتَدِيْنَ، أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَعَنِ الْأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ فَاتَّقُوْهُ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلٰى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ غَيْرَ ضٰالِّيْنَ وَلاَ مُضِلِّيْنَ، اَللّٰهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِنَا وآمِنْ رَّوْعَاتِنَا وَاكْفِنَا مَا أَهَمَّنَا وَقِنَا شَرَّ ما نَتَخوَّفُ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبٰى ويَنْهٰى عَنِ الفَحْشٰاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَاتَّقُوْهُ يَجْعَلْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مَخْرَجًا، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

__________________________
Oleh: Ustadz Jafar Tamam