Biografi Sayyid Jalaluddin Al-Aidid, Penyebar Islam di Indonesia Timur

 
Biografi Sayyid Jalaluddin Al-Aidid, Penyebar Islam di Indonesia Timur
Sumber Gambar: ResearchGate

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
2.1  Menjadi Musti Kerajaan
2.2  Hijrah ke Cikoang
2.3  Perjanjian Bongaya
2.4  Mengasingkan ke Bima

3.    Karya Beliau
4.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

Setelah Kedatangan Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro sebagai penyebar agama Islam pertama di Makassar, kemudian dilanjutkan oleh Sayyid Jalaluddin Al-‘Aidid dan Sayyid Ba’alawi. Kedatangan beliau ini cukup memberi pengaruh pada perkembangan Islam di Makassar, Banjarmasin, dan Bima.

1.1 Lahir
Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Al-Aidid lahir di Aceh, tahun 1603 M, Ibunya bernama Syarifah Khalisah bin Alwi Jamalullail yang merupakan cucu dari Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Juga merupakan keturunan Hadramaut yang masih keturunan langsung dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Ra, putri Rasulullah. Tepatnya keturunan yang ke-27 dari Nabi Muhammad SAW.

Dalam silsilah keluarga, Sayyid Jalaluddin Al-‘Aidid adalah keluarga dari Sayyid Bahrullah Bafaqih Al-‘Aidid. Karaeng Poetih adalah keturunan dari Dae Ndisinga, dan Dae Ndisinga adalah anak kedua dari Sayyid Umar. Maka, keturunan Sayyid Jalaluddin Al-‘Aidid adalah Sayyid Umar bin Rahmatullah bin Ali Akbar bin Umar Bafaqih Al-‘Aidid bin Jalaluddin Al-‘Aidid. Keterangan keluarga besar sang Sayyid ini terdapat dalam kitab Santina.

1.2 Riwayat Keluarga
Sayyid Jalaluddin menikah dengan I Acara’ Daeng Tamami binti Sultan Abdul Kadir Karaengta ri Bura’ne bin Sultan Auluddin, seorang putri bangsawan yang masih mempunyai darah kerajaan Gowa.

Nama Al-A’idid selanjutnya masuk dalam serajah kesutanan Gowa, karena Sultan Gowa ke-32, ke-33, dan ke-36 adalah keturunan sang Sayyid. Pada masa pemerintahan Sayyid Ja’far Ash-Shadiq Al-‘Aidid diputuskan bahwa upacara Maudu Lampoa sebagai salah satu hari besar masyarakat Gowa yang secara resmi diakui oleh kesultanan Gowa

1.3 Wafat
Selama kurang lebih 30 tahun lamanya, Sayyid Jamaludin berada di Bima, Beliau wafat pada tahun 1693 M.

Pengaruhnya dalam pengembaraan Syekh Yusuf Al-Makassari berhubungan dengan tarekat Khalwatiyah. Selain itu, masyarakat Makassar masih menjaga ajaran Maudu Lampoa hingga saat ini, sebagai tradisi peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, sekaligus mengajarkan cinta kepada alam semesta, yang tergambar dalam upacara adat di Cikoang.

Selain itu, sang guru juga menjadi semangat perlawanan baik bagi Sultan Hasanudin maupun Syekh Yusuf Al-Makassari atas penjajahan Belanda, karena semasa hidupnya sang Sayyid amat keras menentang kekuasaan Belanda.

2. Perjalanan Hidup dan Dakwah

2.1 Menjadi Mufti Kerajaan
Beliau menuntut ilmu ke negeri Timur Tengah. Sebelum beliau tiba di kerajaan Goa Makassar pada abad 17, masa pemerintahan Sultan Alauddin, beliau sempat singgah terlebih dahulu ke Banjarmasin untuk menyebarkan agama Islam.

Di Makassar, beliau kemudian diangkat menjadi Mufti kerajaan. Hingga suatu saat, Sayyid Jalaluddin memberi nama seorang Putra Mahkota Kerajaan Goa Muhammad Al-Baqir Imallombassi Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin.

Sultan Hasanuddin merupakan murid pertama Sayyid Jalaluddin, dan berguru padanya selama 16 tahun. Selain itu, berdasarkan informasi yang dihimpun, Syekh Yusuf sendiri sempat berguru kepadanya selama 3 tahun dan atas petunjuknya kemudian Syekh Yusuf diberangkatkan ke Timur Tengah untuk memperdalam ilmu agamanya.

Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa beliau berasal dari Aceh adalah naskah-naskah agama yang Sayyid Jalaluddin bawa, merupakan karangan-karangan Nuruddin Ar-Raniriy, yaitu Akhbarul Akhirah dan Ash-Shiratal Mustaqim.

Sampai sekarang naskah-naskah tersebut masih digunakan oleh kerabat Sayyid Jalaluddin di Cikoang dan telah disalin berulang-ulang.

2.2 Hijrah ke Cikoang
Saat pertama datang ke Makassar banyak yang meragukan bahwa beliau seorang keturunan dari Hadramaut, karena pada saat itu family Al-Aidid belum tenar di Indonesia, sehingga beliau diacuhkan oleh Sultan Makassar. Sehingga beliau berpindah ke Cikoang dan menyebarkan agama Islam di sana.

Untuk tujuan menyebarkan agama Islam itulah, beliau memulai tradisi upacara “Maudu Lompoa”. Dimana sengaja diselenggarakan upacara tersebut bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal, yaitu bulan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Sayyid Jalaluddin mampu menyebarkan Islam di Cikoang hingga dicintai oleh masyarakat Cikoang. Kecintaan itu melekat kepada nama sang Sayyid yang juga dipanggil sebagai Sayyid Cikoang.

Pengaruhnya sampai hari ini masih lestari dalam tradisi masyarakat Cikoang dalam menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Yang dalam oleh masyarakat setempat disebut Maudu Lampoa. Dalam tradisi ini kitab karangan sang Sayyid dibacakan bersama, yaitu kitab A Rate (Assikkiri).

2.3 Perjanjian Bongaya
Pada tahun 1667 M. terjadi Perjanjian Bongaya, Perjanjian ini berawal dari adu domba yang dilakukan oleh pihak Belanda sebagaisiasat pecah-belah yang menjadi peristiwa perang saudara antara suku Bugis di Buton dengan Makassar di Gowa.

Sayyid Jalaluddin juga turut berjuang melawan Aru Palaka, Raja Bone. Tidak berpihaknya Belanda pada Kesultanan Gowa, membuat Gowa mengalami kekalahan. Maka, muncullah Perjanjian Bongaya itu, yang mengharuskan dua Kesultanan yaitu Gowa dan Bima, untuk tunduk kepada kekuasaan belanda

2.4 Mengasingkan ke Bima
Atas peristiwa itu, Sayyid Jalaluddin mengasingkan diri ke tanah Bima, kemudian melanjutkan misi penyebaran Islam di Bima pada masa Pemerintahan Sultan Bima II, yaitu Sultan Surajuddin. Di Bima, beliau menyebarkan Islam dengan berbagai hal, antara lain melalui tradisi mengadakan upacara Maulid Nabi Muhammad SAW. Serta mengembangkan ajaran tarekat Khalwatiyah.

3. Karya Beliau
Sayyid Jalaluddin kemudian menulis kitab A Rate’ (Assikkiri) yang berisi inti dari ajaran agama Islam serta riwayat hidup Rasulullah SAW. Dimana isi dari kitab tersebut dibacakan pada setiap peringatan Maudu Lompoa.

4. Referensi 

Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur/Hilful Fudhul Sirajuddin Jaffar, editor, Muhammad Ali Fakih-cet. 1-Yogyakarta:IRCiSoD, 2020

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya