Sejarah Lahirnya Kitab Jam’u Al-Jawami’

 
Sejarah Lahirnya Kitab Jam’u Al-Jawami’
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Fahrizal Fadhil

Laduni.ID, Jakarta – Sebulan yang lalu saya memulai untuk menghafal kitab Jam'u Al-Jawami' karya Al-Imam Tajuddin Al-Subki (w. 771 H) berbarengan dengan kelas guru kami, Al-Allamah Muhammad Salim Abu Ashi yang mulai menjelaskan isi kitab tersebut.

Awalnya, saya agak kebingungan dengan naskah yang ada. Pasalnya, banyak kalimat yang hilang atau berbeda dengan naskah yang lainnya. Karena biasanya, jika terjadi perbedaan, guru kami hanya memberikan isyarat adanya perbedaan di naskah yang lain, dan jarang menetapkan mana yang betul.

Hingga hari ini saya dikejutkan dengan hadiah dari teman karib saya Faqih Ubaidillah Rozan, yaitu satu naskah kitab Jam'u al-Jawami' yang dicetak dengan manuskrip milik Syekh Muhammad bin Muhammad Al-Barizi Al-Syafi'i, dan manuskrip milik Syekh Shalahuddin Al-Shafadi, sebagaimana yang tertulis di bawah judul kitab. Semoga Allah membalas kebaikan dengan mengakhiri masa jomblonya.

Apa sih kelebihan dua naskah ini? Muhaqqiq kitab memberikan banyak info tentang dua naskah yang dijadikan rujukan beliau untuk mentahqiq. Namun sebelum itu, muhaqqiq kitab terlebih dulu menceritakan bagaimana kisah lahirnya kitab yang agung ini hingga dijadikan "wirid" oleh para ahli ilmu ushul di berbagai belahan dunia.

Al-Imam Tajuddin Al-Subki lahir tahun 725 H di keluarga yang hidup dengan ilmu. Ayah dan kakeknya seorang alim yang tidak diragukan lagi sepak terjangnya.

Pada abad ke-8 ini, ada dua kitab yang saat itu terkenal dijadikan diktat wajib yang dikaji oleh para pelajar ilmu ushul; kitab Minhaj Al-Wushul karya Al-Qadhi Nashiruddin Abdillah bin Umar Al-Baidhawi dan kitab Al-Mukhtasar karya Ibnu Al-Hajib. Dan Iman Tajuddin Al-Subki adalah salah satu orang yang keilmuannya lahir dari dua kitab tersebut.

Kitab yang pertama, beliau menulis syarah atas kitab tersebut melanjutkan tulisan ayahnya yang tidak selesai, yang kemudian diberi nama kitab Al-Ibhaj syarah Al-Minhaj. Ini adalah kitab ilmu ushul fikih pertama yang beliau tulis yang saat itu beliau berumur 24 tahun. Adapun Mukhtasar Ibnu Al-Hajib, beliau menulis syarah atas kitab tersebut yang dikenal dengan nama Raf'u Al-Hajib Syarah Mukhtasar Ibnu Al-Hajib. Syarah ini selesai saat beliau berumur 31 tahun.

Setahun setelah lahirnya Raf'u Al-Hajib, berarti saat umur beliau 32 tahun, Al-Subki kembali melahirkan karya yang kemudian dijadikan kitab yang dikaji oleh para ahli ushul, yaitu kitab Jam'u Al-Jawami' yang isinya merupakan ringkasan dari dua kitab ushul beliau sebelumnya. Sebagaimana tertulis di Muqaddimah kitab:

المحيط بزبدة ما في شرحيّ على المختصر و المنهاج مع مزيد كثير.

“(Jam'u Al-Jawami' ini) menghimpun ringkasan apa yang tertulis pada dua kitabku; Syarah Al-Mukhtasar dan Syarah Minhaj Al-Wushul, disertai dengan penambahan yang banyak.”

Muhaqqiq kitab menjelaskan kenapa banyak naskah Jam'u Al-Jawami yang beredar sekarang banyak sekali terjadinya perbedaan. Masalah ini dimulai dari Al-Imam Tajuddin Al-Subki yang langsung menyebarkan kitab ini sesaat beliau usai menulis kitab. Biasanya, kitab matan itu, usai ditulis tidak langsung disebar, tapi dicek kembali bertahun-tahun lamanya, agar dimaksimalkan dengan menambahkan yang penting dan menghapus yang dirasa tidak perlu.

Saat kitab ini sudah tersebar, al-Imam Al-Subki mengadakan majlis tertutup untuk membaca karya terbarunya bersama beberapa temannya, di antara yang hadir adalah Syekh Shalahuddin Al-Shafadi, yang mana naskah beliau dijadikan rujukan utama untuk mentahqiq cetakan yang saya pegang ini.

Di majlis tersebut, al-Imam Al-Subki, sebagaimana yang tertulis di naskah Al-Shafadi, ternyata banyak melakukan perbaikan, penambahan beberapa masalah, dan yang lainnya. Namun sayangnya naskah sudah terlanjur tersebar.

Oleh karenanya banyak ulama yang kemudian memberikan kritikan dan komentar, antaranya Syekh Muhammad bin Ismail bin Ali Al-Alai yang dikisahkan oleh Al-Sakhawi, beliau tinggal bersama Al-Subki hingga tidur satu bantal saat mengoreksi kitab Jam'u Al-Jawami ini.

Karena banyaknya komentar dan kritikan ulama ini akhirnya Al-Subki menulis kitab Man'u Al-Mawani' untuk menjawab kritikan tersebut. Beliau sendiri mengakui dalam kitab tersebut:

“Naskah-naskah Jam'u Al-Jawami yang beredar banyak perbedaan, adapun yang tertulis di kitab ini (Man'u al-Mawani') itulah yang menjadi pendapatku yang sah.”

Apa kelebihan naskah Syekh Shalahuddin Al-Shafadi dan naskah Syekh Muhammad Al-Barizi?

Naskah Al-Barizi memiliki beberapa kelebihan, di antara kelebihannya, beliau mengecek ulang naskah yang beliau miliki dua kali pada dua waktu yang berbeda dengan dua naskah yang berbeda yang keduanya sama-sama milik Al-Subki.

Pengecekan ulang pertama beliau lakukan dengan naskah milik Al-Subki yang ditulis oleh empunya pada bulan Al-Muharram tahun 760 H. Dan yang kedua beliau lakukan dengan naskah milik Al-Subki yang ditulis oleh empunya pada Rabi' Al-Awwal tahun 762 H. Naskah kedua ini tertulis juga oleh tulisan Al-Subki:

“Ini adalah naskah ke 4 yang aku tulis dengan tanganku sendiri. Di naskah ini ada beberapa penambahan, pengurangan, serta kalimat yang aku rubah.”

Juga di antara kelebihan naskah Al-Barizi, begitu detailnya menulis perbedaan yang terdapat pada naskah yang beliau gunakan untuk pengecekan. Saking detailnya, jika ada penambahan shalawat atau doa, beliau tuliskan. Padahal hal yang semacam ini tidak begitu fatal jika ditambah atau dikurangkan.

Adapun naskah Al-Shafadi, sebagaimana yang sudah disinggung di awal, beliau merupakan teman dekat dari Al-Imam Tajuddin Al-Subki, beliau juga ikut serta di majlis tertutup saat imam Al-Subki pertama kali membacakan karyanya tersebut.

Pada naskah ini juga tertulis:

“Saya mendengar buku ini, (kemudian beliau menyebutkan beberapa nama yang ikut serta hadir) dari awal hingga akhir di hadapan penulisnya langsung, Al-Imam Al-Subki, yang selesai pada 10 hari terakhir bulan Rabi' Al-Awwal tahun 762 H”

Di pinggiran naskah juga tertulis berbagai koreksi dari penulis. Namun menurut muhaqqiq, naskah Al-Barizi lebih unggul dari naskah al-shafadi, dari sisi naskah Al-Barizi dicek dengan naskah terakhir milik penulisnya langsung.

Karena dua naskah yang digunakan oleh muhaqqiq inilah yang menjadikan cetakan yang ditahqiq oleh Syekh Abi Amir Al-Dagistani menjadi cetakan yang terbaik di kelasnya.

Jika kalian bertanya-tanya, untuk apa repot-repot mencari naskah terbaik? Bukankah naskah yang manapun sama saja, jika ujung-ujungnya akan dikaji bersama guru akan diketahui mana yang benar dan mana yang salah? Hmm, mungkin kalian lupa nasihat di Ta'lim Al-Muta'allim, bahwa di antara banyaknya kewajiban seorang santri di antaranya memperbaiki naskah yang dia punya. Karena masa ini naskah bukan kita yang menulis ulang, maka kita akan mencari naskah terbaik untuk dibaca.

Selasa, 8 Maret 2022
Oleh: Gus Fahrizal Fadil


Editor: Daniel Simatupang