Tradisi Ulama Tabi'in dalam Menghidupkan Malam Nishfu Sya'ban

 
Tradisi Ulama Tabi'in dalam Menghidupkan Malam Nishfu Sya'ban
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Malam Nishfu Sya'ban adalah malam tanggal 15 bulan Sya'ban. Malam tersebut adalah malam yang sangat istimewa karena dipenuhi dengan rahmat Allah SWT. Bahkan, saking istimewanya itu Malam Nishfu Sya'ban juga disebut oleh para ulama dengan istilah Lailatul Maghfirah (Malam Pengampunan), Lailatul Bara'ah (Malam Pembebasan), Lailatud Du'a (Malam Doa), dll, yang memang mengidentikan pada keistimewaan yang ada di dalamnya. Karenanya, Malam Nishfu Sya'ban itu sering kali diperingati dengan berjaga sepanjang malam untuk beribadah, berdzikir, membaca Al-Qur'an, bershalawat dan muhasabah diri.

Tradisi memperingati Malam Nishfu Sya'ban dengan berbagai amalan ibadah telah dilakukan oleh umat Islam sejak dahulu. Demikian pula yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Malam Nishfu Sya'ban di berbagai negara dikenal dengan sebutan yang berbeda-beda namun substansi tradisinya tidak jauh berbeda. Di Negara Afghanistan misalnya, Malam Nishfu Sya'ban disebut dengan Nim Sha'ban, sedangkan di Negara India, Pakistan dan Bangladesh disebut dengan Shab-e-Baraat, di Turki disebut Berat Kandili. Di Jawa secara umum bulan Sya'ban disebut dengan Wulan Ruwah yang artinya adalah bulan arwah, sebab di bulan tersebut biasanya masyarakat mengadakan tradisi mengirim doa kepada keluarga yang telah wafat agar mendapatkan ampunana dosa dari Allah SWT, sebagaimana diyakini bahwa dalam bulan Sya'ban terdapat Malam Nishfur Sya'ban yang disebut pula sebagai malam pengampunan. Biasanya acara tersebut dikemas dalam doa bersama. 

Ulama Tabi'in Menghidupkan Malam Nishfu Sya'ban

Seorang ulama bernama Syaikh Abdullah Al-Ghumari As-Syadziliyyah menuliskan sebuah risalah yang menjelaskan keutamaan-keutamaan Malam Nishfu Sya'ban. Risalah itu diberi judul Husnul Bayan fi Lailatin Nishfi min Sya’ban. Risalah ini disarikan dari sejumlah kitab besar terkait, seperti Kitab Al-Idhah karya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Kitab Ma Ja’a fi Syahri Sya’ban karya Al-Hafidh Abul Khattab Dihyah Al-Andalusi, dan Kitab Fi Lailatin Nishfi karya Imam Ali Al-Ajhuri Al-Maliki Al-Mishri.

Di dalam risalah tersebut, Syaikh Abdullah Al-Ghumari mengatakan, bahwa keutamaan Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya sudah populer sejak dulu, terutama pada era generasi tabi'in. Dahulu, ketika malam itu tiba, maka orang-orang akan menghidupkannya dengan beribadah, memanjatkan doa dan membaca berbagai amalan dzikir.

Ulama pertama yang ditengarai membudayakan beribadah dalam menghidupkan Malam Nishfu Sya'ban dengan menuliskan hal itu di dalam kitab, tidak lain adalah Imam Ibnu Rajab Ibnu Rajab, salah seoraang ulama kondang dari Mazhab Hanbali. Beliau menulis di dalam Kitab Lathaif Al-Ma’arif fi Ma li Mawasim Al-Aam min Al-Wadha'if pernyataan sebagai berikut:

"Bahwa budaya menghidupkan Malam Nishfu Sya'ban itu telah dilakukan oleh salah seorang ulama dari kalangan tabi’in yang ahli ibadah, yakni Imam Abu Abdillah Khalid bin Ma’dan bin Abi Karb Al-Kila’iy."

Imam Ibnu Rajab juga menegaskan di dalam kitabnya tersebut, "Bahwa para tabi’in Negeri Syam seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul, Luqman bin ‘Amir dan selainnya, mereka semua telah melakukan tradisi mengagungkan Malam Nishfu Sya’ban. Mereka bermujahadah dengan beribadah di dalamnya. Awalnya memang dikatakan, bahwa mereka dianggap telah menerima beberapa atsar israiliyah. Tapi, kemudian ketika di berbagai negeri hal tersebut terkenal berasal dari para tabi’in tersebut, maka para tabi’in yang lain pun menerimanya dan mengikuti mereka dalam mengagungkan Malam Nishfu Sya’ban, termasuk sekelompok ahli ibadah Kota Bashrah dan selainnya."

Imam Khalid bin Ma'dan

Di antara ulama besar tabi'in dari negeri Syam adalah Imam Khalid bin Ma'dan. Beliau adalah seorang ulama besar ahli Hadis dan merupakan salah satu perawi dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim. Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani dan ulama Hadis lainnya, dinyatakan bahwa Imam Khalid bin Ma'dan adalah perawi yang jujur. Dan ternyata sosok Imam Khalid bin Ma'dan adalah merupakan salah satu ulama tabi'in yang juga mengagungkan Malam Nishfu Sya'ban dengan memperbanyak amalan ibadah di dalamnya.

Jika ditelusuri lebih jauh, Imam Khalid bin Ma'dan hidup seangkatan dengan Imam Al-Auzai dan Imam Makhul, yang kesemuanya itu telah menyebarluaskan amalan dalam menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban.

Imam Khalid bin Ma'dan pernah berguru tidak kurang dari 70 Sahabat Nabi Muhammad SAW, di antaranya adalah Abu Hurairah dan Mu’adz bin Jabbal.

Imam Makhul As-Syami

Selain Imam Khalid bin Ma'dan, ulama tabi'in yang dikenal telah mengamalkan tradisi menghidupkan Malam Nishfu Sya'ban adalah Imam Makhul As-Syami. Beliau adalah seorang ahli fiqih tersohor dari Damaskus. Guru-gurunya di bidang periwayatan Hadis di antaranya adalah Abu Mundzir Ubay ibn Ka’ab Al-Khazraj Al-Anshari, Abu Hamzah Anas ibn Malik Al-Anshari, Said bin Al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb Al-Makhzumi Al-Qurasyi, Malik ibn Yakhamir As-Saksaki, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sedangkan murid-muridnya di bidang periwayatan Hadis adalah Ibrahim ibn Abi Hanifah Al-Yamaniy, Usamah ibn Zaid, Ismail ibn abi Bakar, Tsabit ibn Tsauban, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Menurut para ulama Hadis, seperti Muhammad ibn Abdullah ibn Amma’, Imam Al-Ijliyu, Imam Ibnu Khirasy dan lainnya, mereka mengatakan bahwa Imam Makhul adalah seorang ulama tabi'in dan Imam dari negeri Syam yang tsiqah (terpercaya), shaduq (jujur).

Jadi, dua ulama tabi'in yang terpercaya dan diakui kredibelitasnya itu telah melakukan tradisi menghidupkan Malam Nishfu Sya'ban, lalu atas dasar apa lagi, masih saja ada orang yang mencibir tradisi menghidupkan Malam Nishfu Sya'ban itu.

Lalu jika digali lagi sejarah mengenai tradisi menghidupkan Malam Nishfu Sya'ban itu, maka akan didapati bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat kepada Gubernur Bashrah, yang isinya adalah menghimbau untuk memanfaatkan empat malam yang penuh dengan rahmat Allah SWT, yakni malam pertama bulan Rajab, Malam Nishfu Syaban, dan dua malam Hari Raya.

Imam Syafi'i juga pernah meriwayatkan, bahwa ada lima malam yang mana doa di dalam malam tersebut akan mudah dikabulkan, yakni malam Jumat, dua malam Hari Raya, malam pertama Rajab dan Malam Nishfu Sya'ban.

Selain itu, kemuliaan Malam Nishfu Sya'ban juga dikupas tuntas oleh Ahmad bin Hijazi Al-Fasyani dalam kitabnya yang berjudul Tuhfah Al-Ikhwan fi Qira’ah Al-Miʻad fi Rajab wa Syaʻban wa Ramadhan. Di dalam kitab tersebut beliau menukil 21 nama lain dari Malam Nishfu Sya'ban dari kitab yang disusun oleh Abu Al-Khair Ath-Thaliqani. Lalu Imam Al-Fasyani menguraikan satu per satu nama itu yang kemudian disertai dengan riwayat-riwayat Hadis yang menjadi landasan penamaan malam tersebut. Karenanya, kemuliaan dan keistimewaan Malam Nishfu Sya'ban tidak bisa diragukan sama sekali. Dan tentu jika dalam malam yang istimewa itu umat Islam melakukan berbagai amal ibadah, maka akan mendapatkan keistimewaan berupa rahmat  Allah SWT.

Demikianlah keterangan mengenai kalangan ulama tabi'in yang telah mengamalkan tradisi menghidupkan Malam Nishfu Sya'ban sejak dulu. 

Menurut Syaikh Abdullah Al-Ghumari, para ulama berbeda pendapat soal bagaimana prosedur yang tepat dalam menghidupkan malam mulia itu. Apakah bisa dilakukan dengan bersama-sama secara berjamaah ataukah harus sendiri-sendiri? Dan apakah menambahkan ibadah di dalamnya termasuk bid’ah atau tidak ?

Ulama berbeda pendapat dalam melakukan ibadah di Malam Nishfu Sya'ban. Pertama, dianjurkan agar dilakukan secara berjamaah di masjid. Hal ini sebagaimana misalnya dilakukan oleh Khalid bin Ma'dan, Luqman bin Amir dan lainnya. Mereka memakai pakaian terbaiknya, memakai minyak wangi, memakai celak mata dan berada di masjid saat menghidupkan Malam Nishfu Sya'ban. 

Kedua, dimakruhkan untuk berkumpul di masjid pada Malam Nishfu Sya'ban untuk shalat, mendengar cerita-cerita dan berdoa. Namun tidak dimakruhkan jika seseorang melakukan shalat sunnah mutlak sendirian di malam tersebut. Pendapat ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Al-Auza'i. 

Dalam melihat perbedaan tersebut, Syaikh Abdullah Al-Ghumari lebih memilih pendapat yang tidak memberatkan. Mungkin, hal ini disebabkan karena Syaikh Abdullah tidak ingin memberatkan masyarakat yang sudah mendarah daging melakukan amalan-amalan di dalam Malam Nisfu Sya’ban. Sehingga beliau memilih pendapat yang tidak mengusik masyarakat dan memilih untuk tidak membid’ahkannya.

Jadi, kiranya cukup jelas dasar yang dipakai dalam menghidupkan Malam Nishfu Sya'ban dengan rujukan kebiasaan para ulama tabi'in, sebagaimana disebutkan di atas. Dan perlu juga ditegaskan, bahwa meskipun dalil-dalil tentang amalan Malam Nishfu Sya’ban itu banyak di antaranya berupa Hadis yang ditengarai berstatus dha’if atau bahkan munqathi’, namun hal itu sudah bisa dianggap cukup, karena amalan di dalam Malam Nishfu Sya’ban merupakan dari Fadhail Al-A’mal, yakni berupa bentuk amal ibadah ghoiru mahdhah yang dianjurkan sebagai pendorong untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, tidak menjadi masalah yang berarti dalam melakukan hal itu, sebagaiaman sebagian besar ulama mengatakan begitu. Wallahu A'lam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 17 Maret 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ahmad Zaini Alawi (Khodim Jamaah Sarinyala Kabupaten Gresik)

Editor: Hakim