3 Kategori Aksiden Menurut Al-Ghazali

 
3 Kategori Aksiden Menurut Al-Ghazali
Sumber Gambar: Ilustrasi/Islamramah.co

Laduni.ID, Jakarta - Dalam Mi’yar al-‘Ilmi secara jelas al-Ghazali mengungkapkan a’rad (bentuk jamak dari ‘arad) sebagai jumlatuha fi mawdhu’, terjemah bebasnya seluruh aksiden sebagai suatu keber-ada-an melekat pada sesuatu yang sudah “ada” (mawdhu’; jawhar). Pengertian semacam ini tampaknya telah diapresiasi oleh filsuf setelahnya, salah satunya Fakhruddin al-Razi yang tampak sependapat dengan al-Ghazali melalui pernyataannya dalam mendefinisikan aksiden.

“الموجود في الشئ غير متقاوم به لا كجزء منه ولا يصح قوامه دون ماهو فه

Terjamahan bebasnya, yang ada pada sesuatu, namun tidak menjadikan sesuatu itu ada karena dia, ia bukanlah bagian dari sesuatu itu, dan di mana keberadaannya sesuatu itu. Lebih detailnya al-Ghazali kemudian menjelaskan definisi tersebut ke dalam beberapa kategori. Pertama, al-a’rad jumlatuha fi mawdu’. Berarti aksiden tidak berada pada segala sesuatu, namun berada pada sebuah mawdu (tempat melekat).

Ia tidak berada di mana-mana selain hanya pada sebuah mawdu’ itu. Artinya al-‘arad satu dengan lainnya pastinya bukanlah dua hal yang sama, namun tetap tidak menutup kemungkinan untuk mirip. Kedua, li kulli mawjudin fī mahall ‘aradun ’aradu li kulli ma’na ‘ala al-shay’ li ajli wujudihi fi akhar yaqarinuhu. Artinya, adanya aksiden yang melekat pada sesuatu yang “ada” akan melahirkan adanya bentuk dari hal tersebut.

Adanya aksiden didahului dengan adanya mahal, sedangkan mahal ada karena didahului oleh atom. Selain itu al-Ghazali juga mengungkapkan bahwa al-‘arad huwa alladhi laysa wujuduhu shartan li wujudi al-shay’, adanya aksiden tidak mensyaratkan adanya hal lain darinya, namun ia hanya sebagai penjelas adanya  شیئ  sebelumnya.

Dengan kata lain, aksiden menyebabkan terjadinya form dalam sebuah materi, sebab sesuatu dapat dikatakan ada secara konkret jika memiliki bentuk yang nyata yang membedakan satu dengan yang lainnya. Jadi aksiden itu “ada” hanya di saat ia berada pada suatu tempat (mawdhu’), ia tidak ada apabila tidak berada di situ.

Ketiga, ‘arad li kulli mawjud li al-shay’ kharij ‘an tab’ihi. Artinya, aksiden dari sesuatu bukanlah bagian dari sesuatu itu, ia merupakan hal lain di luar sesuatu yang sudah ada (mawdu’). Dalam istilah al-Razi hal ini disebut la ka juz’in minhu.

Ketiga kategori tersebut, menunjukkan bahwa aksiden tidak sama dengan jins a’la. Untuk dapat dikatakan ada aksiden, selalu membutuhkan mawdhu’ sebagai tempat bersinggah. Hal ini sama seperti ketergantungan suatu materi (matter) kepada bentuk (form) untuk dapat dinilai “ada”. Meskipun demikian, yang patut diperhatikan adalah keterangan Al-Ghazali bahwa bukan hanya membutuhkan mawdhu’, dalam beberapa kasus, aksiden juga membutuhkan aksiden lain untuk dapat dikatakan ada. Misalnya, batu yang jatuh ke bawah dengan cepat, kata “cepat” bukan atribut bagi batu, namun sifat dari gerakan batu yang jatuh ke bawah

Oleh: Gus Firmansyah Djibran El'Syirazi B.Ed, Lc


Editor: Daniel Simatupang