Definisi Atom dan Hakikatnya Menurut Pandangan Ilmuwan Muslim

 
Definisi Atom dan Hakikatnya Menurut Pandangan Ilmuwan Muslim
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pexels

Laduni.ID, Jakarta – Atom dalam bahasa Arab disebut jawhar, jika dikatakan jawhar al-shai’i hal ini berkonotasi hakikat atau dzat suatu hal, atau biasa disebut juga mahiyah. Dalam bahasa Yunani atom disebut sebagai άτομο (atomo), bermakna “tidak dapat dipotong.”

Pembahasaan atom merupakan suatu partikel penyusun semua materi, berukuran sangat kecil dan tidak dapat dibagi lagi. Jika kita kaji lebih jauh, sinonim lain dari atom disebut substance (dalam bahasa Inggris, substansi). Dalam istilah latin substance dibangun dari “sub” dan “stare,” yang masing-masing berkonotasi “di bawah” dan “berdiri ataupun berada.”

Jika dikolaborasikan akan membentuk “substantia” yang bermakna hakikat; bahan dasar dari segala sesuatu. Selain substance ada juga istilah Yunani yang merujuk hal ini, yaitu hypostasis; hypo artinya “di bawah,” hitasthai artinya “berdiri”. Bisa disimpulkan, hypostasis adalah sesuatu yang berdiri pada posisi dasar dari segala hal. Oleh karena itu baik substance, substantia, hypostasis ataupun mahiyah kesemuanya bermakna sama, yaitu sesuatu yang berdiri sendiri dan berada dalam posisi paling dasar dari segala fenomena.

Untuk lebih jelas, dalam The New International Webster’s Comprehensive Dictionary of English Language, substansi diartikan sebagai, “The essential nature that underlies phenomena; the permanent cause underlying outward manifestation; that in which qualities or attributes inhere.”

Terjemahan bebasnya, substansi merupakan suatu sifat esensial yang mendasari fenomena; sifat permanen yang mendasari manifestasi lahiriah; di mana kualitas atau sifat melekat. Sifat atau kualitas dalam istilah filsuf disebut dengan ‘arad (aksiden). Jauh sebelum John Dalton, seorang fisikawan Barat mengenalkan teori atomnya pada tahun 1807, istilah atom yang dalam bahasa Arab disebut jawhar telah menjadi perbincangan para filsuf.

Aristoteles misalnya, ia menyebut atom sebagai ousia, atau hypokeimenon, dalam istilahnya bermakna “what of a thing”, yaitu ke-apa-an dari suatu hal. Dari pihak Muslim, al-Ghazali misalnya, mengartikan atom, sebagai ‘ibarah mm laysa fi mawdu’in; atau ungkapan tentang sesuatu yang tidak melekat pada Atom. Dalam konotasi lain atom merupakan suatu hal yang berdiri dengan sendirinya, singkat kata atom adalah substansi segala sesuatu.

Seperti halnya para filsuf pada umumnya, al-Ghazali tidak menafikan pengertian kebahasaan yang mereka suguhkan. Hal ini tampak dari bagaimana ia mengartikan atom sebagai “al-mawjud la fi al-mawdhu’,” alias sesuatu yang “ada” dengan tidak melekat pada ada-nya sesuatu yang lain. Di sini menunjukkan bahwa al-Ghazali tidak berseberangan dengan beberapa pendapat di atas.

Pendek kata dapat kita katakan bahwa sebagaimana disebut oleh filsuf Muslim sebelum al-Ghazali, seperti al-Farabi dan Ibn Sina, substansi atau atom adalah alladhi huwa la fi mawdhi’in aslan, terjemah bebasnya adalah “yang tidak bergantung sama sekali pada sesuatu,” yang berdiri sendiri (قائم بالذاته). Al-Ghazali menjelaskan bahwa:

 الجوهر لكل موجود, وذاته لا يحتج الموجود الا ذات أخرى تقارنها حتي يكون بالفعل, وهو معني قولهم الجوهر قائم بالنفسه

Dari matrik tersebut tampak bahwa penekanan al-Ghazali terletak pada atom yang bersifat mandiri, mampu menjadi “ada” tanpa butuh hal lain untuk dapat dikatakan “ada”. Ia merupakan bagian awal dan utama dalam hierarki rangkaian segala hal yang berwujud (الموجودات). Mengenai عرض, jika dikatakan ‘arada al-shay’ maka berarti sesuatu itu terlihat, tampak ataupun menjadi.

Dalam bahasa filsafat ‘arad diterjemahkan sebagai aksiden (accident) atau attribute, ia sendiri merupakan hasil adopsi dari bahasa latin accidens, dalam bentuk kata kerjanya disebut accidere; bermakna “pada” dan cadere “jatuh,” singkat kata aksiden merupakan suatu hal yang ada dan melekat pada hal lain yang ada sebelumnya.

Dalam terminologi al-Farabi yang termaktub dalam karyanya Kitab al-Huruf, aksiden dideskripsikan sebagai ke semua sifat yang berada dan melekat pada suatu hal. Senada dengan hal ini al-Ghazali memandang aksiden sebagai sebuah keberadaan yang melekat pada sesuatu yang sudah “ada” (mawdhu’, jawhar).

Seperti adanya warna merah pada sebuah apel. Warna merah dapat dikenali karena adanya apel sebagai media atau tempat untuk menunjukkan dirinya. Lebih lanjut, bagi al-Ghazali aksiden bukan hanya urusan yang mencakup sifat semata, namun mencakup sembilan kategori rumusan selain substansi, yaitu: kuantitas (al-kamm), kualitas (al-kayf), relasi (al-mudaf), tempat (al-ayn), waktu (mata), posisi (al-wadh’u), positivitas (lahu), keadaan (an yanfa’il), dan aksi (an yanfa’il).

Dalam istilah filsafat paripatetik, pandangan semacam ini dikenal dengan sebutan sepuluh kategori Aristoteles. Salah satu penekanan al-Ghazali dalam Mi’yar al-‘Ilmi terletak pada penggunaan istilah atom (jawhar) dan aksiden (‘arad). Baginya kedua hal ini mirip seperti kajian mengenai dhat dan sifat; di mana dhat adalah esensi sedangkan sifat adalah aksidensi.

Adapun bagi al-Juwayni sebagaimana dikutip Tsuryo Kiswati, atom adalah wujud yang tidak dapat dilihat dengan indera. Secara konseptual, hakikat dari atom hanya ada dalam pikiran. Maka wujud dari atom tersebut baru terlihat ketika adanya aksiden yang menempel padanya. Begitu juga halnya dengan dhat, ia adalah wujud yang dapat diindera karena adanya sifat atau atribut yang menempel padanya.

Dari penjabaran di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa, atom merupakan sebuah hakikat dari sesuatu. Ia merupakan “keber-ada-an” sesuatu sebagai sesuatu. Sedangkan aksiden merupakan sesuatu yang berada pada sesuatu yang “ada” itu. Ia berperan sebagai sebuah atribut yang melekat padanya, seperti: apel merah, merah adalah atribut dari apel sebagai mawd’-nya.

Apel dalam contoh ini dapat juga disebut sebagai al-mahkum ‘alaihi dan merah adalah al-mahkum fīhi (ushul fikih), musnad ilaihi dan musnad (balaghoh), mubtada dan khabar (nahwu), mawdu’ dan mahmul (filsafat).

Oleh: Gus Firmansyah Djibran El'Syirazi B.Ed, Lc


Editor: Daniel Simatupang