Sentot Alibasya, Kisah Heroik Pangeran dari Jawa

 
Sentot Alibasya, Kisah Heroik Pangeran dari Jawa
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Hamdan Suhaemi

Laduni.ID, Jakarta – Berawal rasa penasaran tentang makam yang dikeramatkan oleh orang Bengkulu (khusus etnis dari Jawa), makam yang terletak di Kelurahan Bajak, Kecamatan Teluk Segara, Bengkulu ternyata adalah makam Pangeran Sentot Prawirodirjo, sepupu Pangeran Diponegoro.

Ia orang Jawa asli ketika di tahun 1829 menjadi Alibasya (Panglima Perang) pada perang Jawa, perang terlama yang menelan kerugian besar bagi pihak Kolonial Belanda. Perang Jawa pula menjadi penanda kehebatan, kebesaran dan kharisma Pangeran Diponegoro, pahlawan besar dari Mataram.

Sentot Alibasya adalah ipar Sultan Hamengku Buwono IV yang juga masih kerabat Pangeran Diponegoro, terlahir dengan nama Sentot Abdullah Abdul Mustopo. Lahir tahun 1807 di Monconegoro Timur dari ayah Ronggo Prawirodirjo, seorang Bupati Kadipaten Monconegoro Timur, masuk wilayah kesultanan Yogyakarta. Nenek Sentot tidak lain adalah Puteri Pangeran Mangkubumi, pendiri kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.

E.S de Klerck dalam bukunya yang berjudul De-Java-oorlog van 1825-1830 telah mengisahkan bahwa kejeniusan strategi perang Sentot banyak memukau perwira Belanda. Ia mengatakan, “Jika Sentot mundur, maka kemunduran itu terjadi secara teratur dan bijaksana. Tentaranya disebar sehingga susah menyusulnya dan kerap kali berbahaya. Jadi tak dapat dipastikan apakah pelarian itu tipu-tipu atau tidak. Tentara pemburu yang formasinya tak tertutup lagi, bisalah menjadi korban.”

Pada 1829, Sentot Alibasya ditangkap Belanda yang kemudian diadili di pengadilan Batavia. Ia kemudian dibebaskan kembali dan diperintahkan untuk menumpas pemberontakan Cina di Karawang dan Salatiga. Setelah berhasil, Sentot kembali dipanggil ke Batavia dan diminta membantu serdadu Belanda melawan Kaum Paderi di Sumatera Barat, dibawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Akan tetapi sewaktu di Sumatera, ia secara diam-diam melakukan siasat kerja sama dengan Imam Bonjol dan pasukannya. Hal itu diketahui Belanda dan membuat ia kembali dipanggil ke Batavia untuk selanjutnya menjalani masa pembuangan di Bengkulu.

Sebelum menjalani masa hukumannya di tahun 1833, Sentot Alibasya diizinkan oleh pemerintah kolonial Belanda yang ada di Bengkulu, untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Sekembalinya dari ibadah haji ia banyak mengajarkan ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah agama Islam kepada masyarakat Bengkulu, sisi pribadi yang istimewa di diri Alibasya Sentot Abdullah Abdul Mustopo.

Tahun 1855, dalam usia 48 sang Pangeran dari Mataram ini menghembuskan nafas terakhirnya, dan dikebumikan di Bajak Teluk Segara Bengkulu. Figur yang menyejarah, hebat, jenius, pemberani dan Alibasya (panglima perang) yang legendaris.

Teluk Segara, 13 Maret 2022
Oleh: Gus Hamdan Suhaemi, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten dan Ketua PW Rijalul Ansor Banten


Editor: Daniel Simatupang