Biografi Syekh Shalahuddin Al-Ayubi

 
Biografi Syekh Shalahuddin Al-Ayubi
Sumber Gambar: Ilustrasi (foto ist)

Daftar isi Biografi Syekh Shalahuddin Al-Ayubi

1.    Riwayat Hidup
1.1  Lahir
1.2  Wafat

2.    Pendidikan
2.1  Perjalanan Menuntut Ilmu

3.    Karier
3.1  Karier Beliau

4.    Pembaharu Mesir

5.    Keistimewaan

6.    Referensi

1. Riwayat Hidup

1.1 Lahir

Shalahuddin Al-Ayubi lahir pada tahun 1137 masehi dari keluarga Kurdish di kota Tikrit (140 km Barat laut kota Baghdad).

1.2 Wafat

Shalahuddin Al-Ayubi wafat pada pada 3 Maret 1193 pada usia 55 tahun. Walau semasa hidupnya Shalahuddin Al-Ayyubi punya kekuasaan yang besar dan merupakan salah satu Khalifah Islam yang paling dermawan ketika meninggal beliau tidak mempunyai harta. Bahkan H.A.R. Gibb, dalam bukunya "The Arabic Sources for the Life of Saladin" menuliskan bahwa Shalahuddin Al-Ayyubi si pejuang besar ketika meninggal tidak meninggalkan uang yang cukup untuk membiayai penguburannya.

2. Pendidikan

2.1 Perjalanan Menuntut Ilmu

Tepat di hari kelahirannya, keluarganya diusir dari Tirki oleh Mujahidun Bahruz penguasa Baghdad. Hal ini merupakan akibat dari pembunuhan yang dilakukan oleh Syirkuh paman Shalahudin terhadap salah seorang panglima yang bertugas menjaga pintu benteng.

Pada saat proses persalinan telah selesai, keluarga Shalahuddin bergegas keluar dari benteng pada malam hari. Entah kemana mereka akan tinggal, karena sudah tidak ada lagi wilayah yang menjadi tempat persinggahan untuk keberlanjutan hidup mereka. Pada suatu ketika, keluarga Shalahuddin berada disekitar wilayah Mosul (Irak). Mereka berhenti, untuk beristirahat sejenak. Dalam peristirahatannya, mereka bertemu dengan Imaduddin Zanki yang menjadi Sultan di wilayah Mosul. Keluarga Shalahuddin pun disambut baik oleh Imaduddin Zanki. Karena ia Imaduddin Zanki tidak melupakan kebaikan Najmuddin Ayyub terhadapnya, karena telah menolong Imaduddin Zanki dari kejaran para tentara Baghdad. Akhirnya keluarganya menetap di sini kemudian ayah dan pamannya bergabung sebagai emir (komandan) di bawah kepemimpinan Zanki. Najmuddin Ayyub dan Syirkuh ikut telibat dalam beberapa penaklukkan wilayah yang telah dikuasai oleh Pasukan Salib.

Pada tahun 1139 M, kota Ba‟albek yang berada di wilayah Suriah ketika itu dipimpin oleh Atabek Mu‟inudin Unur yang berada dekat dengan Damaskus, telah berhasil dikuasai oleh Imaduddin Zanki. Imaduddin Zanki kemudian menunjuk Najmuddin Ayyub sebagai Gubernur Ba‟albek, karena Imaduddin Zanki sepenuhnya menaruh kepercayaan kepada Najmuddin Ayyub sebagai seorang pemimpin. Sebagai bentuk tanda terimakasih Imaduddin Zanki atas sikap Najmuddin Ayyub yang telah menolongnya ketika dirinya berada dalam situasi ancaman dari militer Baghdad.

Ketika kebahagiaan telah didapatkan oleh keluarga Shalahuddin di Ba‟albek, adalah sebuah momentum yang paling baik bagi keberlangsungan hidup Shalahuddin. Sebagai putra kerajaan, Shalahuddin mendapatkan pendidikan yang baik yang ia peroleh selama di Ba‟albek (Suriah). Saat Ayah Shalahuddin Al Ayyubi diberikan amanah berupa jabatan sebagai seorang gubernur, usia Shalahuddin baru sekitar dua sampai pada usia sembilan tahun

Selama menetap di Suriah maupun pada saat di Damaskus, Shalahuddin telah mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak seorang penguasa. Shalahuddin menghabiskan masa kanak-kanaknya di Ba‟albak, ketika beranjak dewasa ia pindah ke Damaskus. Ia selalu mendatangi tempat-tempat belajar untuk belajar membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur‟an, Fiqh dan Syair (Sastra), ditambah lagi belajar kaidah bahasa dan dasar-dasar nahwu dari para Ulama sebagaimana putra-putra Raja.

3. Karier

3.1 Karier Beliau

Karier Shalahuddin Al Ayyubi sebagai tentara dimulai ketika penunjukkan atas dirinya sebagai wakil dari pamannya Asadudin Syirkuh untuk menemaninya menuju Mesir atas perintah dari Nuruddin Mahmud. Nuruddin Mahmud telah mengirimkan bantuan pasukan kepada Mesir yang kala itu sedang terjadi kekacauan di dalam tubuh Dinasti Fatmiyah, karena tindakan para menteri yang berani memutuskan perkara tanpa meminta pendapat dan persetujuan Khalifah, yang mengakibatkan ambisi para tentara Salib untuk mengadakan penyerangan terhadap Mesir agar bisa menguasainya. Berita mengenai kondisi yang dialami Dinasti Fatimiyah terdengar oleh Nuruddin Mahmud dan juga rencana pasukan Salib untuk menguasai Mesir

Asaduddin Syirkuh yang menjadi panglima dari tentara Nuruddin Zanki yang dikirim ke Mesir untuk membantu Dinasti Fatimiyah atas sengketa jabatan penting (wazir) perdana menteri antara Syawar dan Dirgham. Ketika itu, Shalahuddin mengawal kemanapun pamannya pergi. Shalahuddin mengawali perannya sebagai tentara perang di bawah komando pamannya dalam invasi ke Mesir. Dirgham yang menjadi lawan politik Syawar, telah menjalin kerja sama dengan pasukan Salib yaitu Amuri I Raja Baitul Maqdis (Yerusalem). Tapi pasukan Syirkuh berhasil menghalau Dirgham-Amuri I hingga terbunuhnya Dirgham. Kemenangan berhasil didapatkan, Syawar telah mendapatkan keinginannya. Setelah keinginan Syawar terpenuhi, dia malah mengingkarinya dan mengusir Syirkuh serta pasukannya dari wilayah Mesir

Peristiwa yang dialami Syirkuh dan pasukannya, terdengar oleh Nuruddin Mahmud atas penghianatan Syawar terhadap dirinya dan pasukannya. Syawar yang merasa terancam oleh pasukan Nuruddin Mahmud, ia segera menjalin hubungan dengan pasukan salib yang sebelumnya dipihak Dirgham kini berganti berada di pihaknya. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh pihak salib, yang akan melindungi Syawar dari pasukan Syirkuh dengan berbagai penebusan atau upeti kepada Pasukan Salib. Sultan Al-„Adhid yang menjadi Khalifah Dinasti Fatimiyah tidak bisa melakukan apa-apa. Dia kemudian menulis surat kepada Nuruddin Mahmud untuk meminta bantuan kepadanya dengan harapan agar memberikan jalan Keluar bagi pemerintahannya.

Permintaan Al Adhid disetujui Nuruddin Mahmud, pada 1167 M Nuruddin Mahmud memerintahkan kepada pasukannya untuk kembali menuju Mesir, guna membantu Khalifah Fatimiyah Al-Adhid dari kekacauan dalam pemerintahannya, komando diberikan kepada Syirkuh dan Shalahuddin Al Ayyubi sebagai pemimpin pasukan Nuruddin. Mendengar kabar pasukan Syirkuh berangkat menuju Mesir, Syawar dengan sigap langsung menghubungi raja Baitul Maqdis Amuri I untuk segera menghalau laju Syirkuh ke Mesir. Tetapi, mereka (Pasukan salib) kalah cepat dari pasukan Muslim yang lebih dulu mencapai Mesir, dan menetap di Fustat selama 50 hari. Pada akhirnya, kekalahan telah dirasakan oleh kedua pasukan gabungan Syawar-Amuri I pada kali ketiganya dalam konfrontasi melawan pasukan Muslim di Mesir, hingga sebagian wilayah penting di Mesir berada dalam genggaman Nuruddin.

Atas keberhasilannya itu, Syirkuh mendapatkan penghormatan oleh Khalifah Al-Adhid yang simpati kepadanya. Syawar yang merupakan otak dari semua yang terjadi, telah mendapatkan hukuman mati, karena sebagai penghianat. Kemudian Syirkuh diangkat oleh Al-Adhid sebagai wazir menggantikan Syawar dan diberi gelar ”al Malik al Manshur”. Shalahuddin mendapatkan amanah sebagai pemimpin keamanan wilayah Mesir. Ini merupakan jabatan pertama bagi Shalahuddin dalam lawatannya mendambakan pengambilalihan Mesir dari orangorang yang telah berkhianat terhadap agama dan negara. Pada 22 maret 1169 M, Syirkuh meninggal dunia, hanya 2 bulan Syirkuh merasakan pencapaian karir terbaiknya selama hidupnya sebagai seorang wazir. Shalahuddin Al Ayyubi ditunjuk langsung oleh Khalifah Al-Adhid untuk menggantikan posisi Syirkuh, Al-Adhid sangat mempercayai Shalahuddin sebagai pengganti Syirkuh mengawal Mesir dari para pemberontak khususnya para petinggi Kekhalifahan Fatimiyah yang tidak setuju dengan pencapaian Shalahuddin Al Ayyubi.

Pada saat menjadi perdana menteri Mesir, usia Shalahuddin Al Ayyubi kurang lebih berusia 30 tahun. Kepercayaan pamannya terhadap keponakannya selama ini menunjukkan bahwa dia memiliki kemampuan dalam kepemimpinan dan militer juga seorang yang dapat diandalkan. Sebetulnya Mesir merupakan wilayah yang selama ini di harapkan oleh Nuruddin Mahmud. Dengan bersatunya Mesir, Damaskus dan Aleppo dijadikan sebagai basis-basis kekuatan Umat Islam untuk mempertahankan integritas wilayah Muslim dan kaum Muslim dari serangan para tentara salib.

Integritas Umat Islam atau wahdatul ummah merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar lagi yang harus dilaksanakan oleh Umat Muslim. Persatuan dan kesatuan kaum Muslimin merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang luhur, lahir dari kesadaran sifat kemanusiaan yang merupakan sebuah pernyataan dari kesadaran keagamaan yang mendalam dan lahir dari ketaatan dan penyerahan yang mutlak kepada Allah swt, sehingga mewujudkan persatuan yang dijalin oleh rasa kasih sayang persaudaraan yang tiada taranya.

Pada tahun 1171 M, Sultan Al-Adhid meninggal dunia, dan berakhirlah keturunan dari Kekhalifahan Dinasti Fatimiyah. Tidak ada lagi pengganti Khalifah Al Adhid yang berasal dari keturunannya, Shalahuddin Al Ayyubi yang menjabat sebagai perdana menteri naik tahta, pasca kematian Al Adhid. Naiknya Shalahuddin Al Ayyubi sebagai penguasa Mesir menggantikan Khalifah Fatimiyah Al Adhid, menjadi momen penting dalam misinya untuk menyatukan Umat Islam. Mesir berada dalam genggaman seorang jendral yang sholeh dan tegas. Hubungannya dengan Nuruddin bertambah baik sampai tidak berfikir untuk memisahkan diri dari monopoli kekuasaan, atau memberontak terhadap pemerintahan Nuruddin Mahmud yang sudah terjalin baik dengan keluarganya.

Tahun-tahun pertama yang telah dilewatinya di Mesir, telah mendapatkan tiga tantangan yang akan dihadapi oleh Shalahuddin. Pertama, ancaman pemberontakan dari sisa-sisa pendukung Fatimiyah di Mesir. Kedua, serangan dari orang-orang Frank yang merasa terpukul dengan jatuhnya Mesir ketangan Nuruddin. Ketiga, terjadinya ketegangan antara pihak Shalahuddin dan Nuruddin. Serangan yang pertama dan kedua mampu di tangani oleh Shalahuddin dengan pasukannya, namun permaslahan yang ketiga menjadi permaslahan yang serius ketika di antara keduanya ada pihak yang berusaha untuk mencerai beraikannya. Tapi semua itu tidak berlangsung lama, kejernihan kembali menyirami kedua pahlawan tersebut. Shalahuddin tetap memiliki loyalitas terhadap Nuruddin sampai Nuruddin meninggal dunia pada tahun 1173 M

Pemerintah Fatimiyah merupakan pemerintahan Syiah Ismailiyah, namun para penduduk Mesir berpegang teguh pada paham Sunni. Shalahuddin tidak bekerja sendiri dalam menumpas sisa para pemberontak golongan Syiah di Mesir, dia ditemani oleh seorang birokrat brilian dari dalam pemerintahan Fatimiyah sendiri, yaitu Abdul Rahim al-Baysani al-Lakhimi al-Asqalani yang dikenal sebagai Qadhi al-Fadl. Hal-hal yang dilakukan Shalahuddin pada selanjutnya, yaitu melanjutkan kembali misi Nuruddin Mahmud yang ingin menyatukan wilayah-wilayah Islam dalam genggamannya dan mengikatkan diri kepada Khalifah Abbasiyah. Qodhi Al Fadl menjadi menteri sekaligus penasehat bagi kerajaannya. Dalam kekuasaannya, Shalahuddin berhasil menyatukan wilayahwilayah Islam yang mencangkup utara Irak (Kurdistan), Suriah, Yaman, Maroko, dan pesisir pantai Afrika Utara. Pada tahun 1177 M, Shalahuddin Al Ayyubi menikahi seorang janda dari Nuruddin Mahmud yang bernama As-Shitt Khatun Ismatuddin binti Mu‟inuddin Unur.

Setelah Khalifah al-Adid (Khalifah Dinasti Fatimyah) yang terakhir wafat pada tahun 1171 M, Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi berkuasa penuh untuk menjalankan peran keagamaan dan politik. Maka sejak saat itulah Dinasti Ayyubiyah mulai berkuasa hingga sekitar 75 tahun lamanya. Keberhasilan tersebut mendorongnya untuk menjadi penguasa otonom di Mesir. Dalam mengonsolidasikan kekuatannya, ia memanfaatkan keluarganya untuk melakukan ekspansi kewilayah lain. Saudaranya dikirim untuk menguasai Yaman pada tahun 1173M. Taqiyuddin, keponakannya diperintahkan untuk melawan tentara salib di Dimyat. Adapun Syihabuddin, pamannya diberi kekuasaan untuk menduduki salah satu kota di Mesir. Dari Mesir, Shalahuddin juga dapat menyatukan Negaranegara Muslim. Pada tahun 1174 ia berhasil menguasai Damaskus kemudian Aleppo (tahun 1185) dan Mousul (pada 1186).

4. Pembaharu Mesir

Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi dianggap sebagai pembaharu di Mesir karena dapat mengembalikan mazhab Sunni. Melihat keberhasilannya itu Khalifah al-Musta‟di dari Bani Abbasiyah memberi gelar kepada Shalahuddin yaitu alMu’izz li Amiiril mu’miniin (penguasa yang mulia). Khalifah al-Musta‟di juga memberikan Mesir, an-Naubah, Yaman, Tripoli, Suriah dan Maghrib sebagai wilayah kekuasaan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi pada tahun 1175 M. sejak saat itulah Shalahuddin dianggap sebagai Sultanul Islam Wal Muslimiin (Pemimpin Umat Islam dan Kaum Muslimin).

Di bawah kekuasaanya, Baitul Maqdis berhasil dikuasai oleh Umat Islam, setelah pada tahun 1099 M, berada dalam kekuasaan pasukan Salib. Pada 10 Feb 1144 M, penyerahan Baitul Maqdis diserahkan oleh Balian of Ibelin dari pasukan Salib karena telah menyepakati perjanjian damai dengan Shalahuddin Al Ayyubi, setelah dilakukan pengepungan oleh Shalahuddin terhadap kota Baitul Maqdis selama 12 hari. Dengan dikuasainya Baitul Maqdis, maka jatuhlah sebagaian besar kota-kota dan wilayah yang masih dalam penguasaan kaum salib. Momen jatuhnya Baitul Maqdis bertepatan dengan malam isra’ mi’raj 27 Rajab 538 H

Atas hilangnya Baitul Maqdis dari kekuasaan pasukan Salib, pasukan Shalahuddin tidak melakukan kekerasan terhadap penduduk Kristen Baitul Maqdis (Yerusalem), tidak seperti yang telah dilakukan pasukan Salib pada 1099 M, dalam invasi pertamanya menguasai Baitul Maqdis yang telah membunuh 70.000 penduduk Muslim dari anak-anak hingga dewasa. Kekejaman yang dilakukan oleh Umat Kristen terhadap Umat Islam, tidak dibalas oleh Umat Islam ketika berhasil mengambil alih Baitul Maqdis. Justru, rakyat Kristen dikawal ketat oleh para tentara Islam ketika keluar dari Baitul Maqdis.

Mendengar keberhasilan Umat Islam telah menguasai Baitul Maqdis, Umat Kristen Eropa merasa terpukul atas hal itu. Mereka sangat kecewa dan merasa khawatir dengan hilangnya tempat Suci mereka. Perang Salib pertama terjadi ketika pasukan Salib telah berhasil menaklukkan Palestina (Baitul Maqdis/Yerusalem) pada 1099 M. Kemudian yang kedua kalinya terjadi di Hittin pada 1187 M, yang dimenangkan oleh Shalahuddin dan berhasil menguasai Baitul Maqdis. Kekalahan pasukan Salib telah menggemparkan dunia Kristen Eropa dalam misi yang ketiga kalinya. Paus Clement III yang menjadi promotor atas invasi pasukan Salib selanjutnya dengan misi balas dendam untuk merebut kembali tanah Suci Yerusalem dari Umat Islam

Shalahuddin sudah mengatahui akan adanya invasi pasukan salib untuk merebut kembali Yerusalem dari kekuasaan Umat Islam. Pada 1189 M, pasukan Salib Eropa telah sampai di wilayah Acre, wilayah yang berada di daerah Pesisir Yerusalem. Perjalanan yang di lalui oleh tentara Salib menuju Yerusalem melalui jalan laut. Tujuan kali ini untuk terlebih dulu menguasai wilayah-wilayah yang berdekatan dengan pesisir laut. Karena dirasa sangat memungkinkan untuk mendapatkan kemenangan bagi pasukan Salib Eropa jika wilayah yang berada di pesisir berhasil dikuasai. Acre, Ascalon hingga Baitul Maqdis (Yerusalem) menjadi target utama dalam misi ketiga ini. Acre berhasil dikuasai oleh Pasukan Salib Eropa (ke-III) setelah melakukan pengepungan terhadap wilayah Acre, kemudian selanjutnya adalah wilayah perairan Ascalon, tapi sebelum menguasai Ascalon kedua belah pihak lebih dulu melakukan gencatan sejata. Karena perselisihan di antara raja Eropa yang berkenaan dengan status tahta Kerajaan Yerusalem jika Yerusalem berhasil dikuasai kembali oleh pasukan Salib.

Banyaknya korban serta berbagai kesusahan yang mereka hadapi menjadikan masing-masing pihak bersikap lebih realistis. Diplomasi dan upaya perdamaian mulai berlangsung lebih sering. Dan pada akhirnya, dari pihak pasukan salib mengirim surat kepada Shalahuddin Al Ayyubi untuk melakukan perdamaian pada hari selasa 1 september 1192 M untuk gencatan senjata selama 3 tahun bagi kedua belah pihak. Pada perjanjian antara Shalahuddin dan Richard (Raja Inggris) menyepakati perjanjian damai yang disebut dengan Shulh alRamlah, yang isinya disebutkan bahwa “orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak di akan ganggu, dan Baitul Maqdis tetap menjadi milik Kaum Muslim”.

Dengan demikian, berakhirlah Perang Salib III. Setelahnya, orang-orang Kristen Eropa dengan bebas keluar masuk Baitul Maqdis untuk melaksanakan ziarah. Pada 1193 M, Shalahuddin Al Ayyubi wafat. Wilayah-wilayahnya diperintah oleh anggota keluarganya sendiri, kemudian yang dikenal dengan Dinasti Ayyubiyah. Shalahuddin Al Ayyubi wafat setelah menyelesaikan semua misinya dengan sempurna. Umat Islam tenggelam dalam duka yang mendalam. Shalahuddin Al Ayyubi tidak meninggalkan sedikit pun harta kekayaan (warisan), hanya sehelai kain kafan dan nama baik dirinya dan Umat Islam.

5. Keistimewaan

Dalam diri setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya. Tidak ada satupun manusia yang hanya memiliki kelebihannya saja tanpa ada kekurangannya. Semua sudah merupakan kodrat dari sang Pencipta. Tidak lepas dari seorang Shalahuddin Al Ayyubi pada saat dirinya menjadi seorang panglima perang, sampai akhirnya menjadi perdana menteri hingga menjadi raja di dalam kerajaannya.

Keistimewaan merupakan suatu kelebihan yang dimiliki oleh setiap diri seseorang. Dan dalam hal ini, akan memberikan beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh Shalahuddin Al Ayyubi disamping dirinya adalah seorang raja, akan tetapi dia juga sangat mencintai Ilmu Pengetahuan, Sastra, dan juga keistimewaan dari sifat pribadinya. Pribadi Shalahuddin Al Ayyubi menjadi istimewa dengan keseimbangan moral luar biasa yang membantunya dalam mewujudkan berbagai tujuan agung. Berikut akan dipaparkan beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh Shalahuddin Al Ayyubi :

1. Ketakwaan dan ketekunan Beribadah 1) Akidah yang kuat 2) Ketakwaannya dalam menjalankan Rukun Islam 3) Kegemarannya mendengarkan Al-Qur‟an dan Hadist Nabi 4) Mengagungkan Syiar Agama 2. Adil dan Murah Hati 3. Pemberani dan Rendah Hati 4. Cinta perjuangan dan Jihad

5. Pribadi yang Santun 6. Berwibawa dan Penuh Toleransi 7. Mendirikan tempat-tempat keilmuan (sekolah-sekolah) 8. Pecinta Syair dan Sastra 9. Ahli Zuhud dan berhati Muliah

Dari semuanya itu, merupakan keistimewaan dari sifat-sifat yang dimiliki sosok Shalahuddin Al Ayyubi yang mengharumkan namanya dan menjadikan musuh-musuhnya tidak meremehkan keberaniannya.

6. Referensi

Skripsi mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang berjudul “Perang Salib III (Faktor Penyebab Terjadinya, Peran dan Perjuangan Shalahuddin Al Ayyubi)”.

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya