Benarkah Dosa Riba Lebih Berat dari Berzina?

 
Benarkah Dosa Riba Lebih Berat dari Berzina?

Oleh NADIRSYAH HOSEN*

LADUNI.ID, Jakarta - Keharaman riba telah disepakati oleh para ulama. Namun apakah bunga bank itu termasuk riba? Para ulama berbeda pandangan. MUI mengatakan: iya, termasuk riba. Namun para ulama Mesir yang tergabung dalam Majma’ al-Buhuts Islamiyah (MBI) mengatakan tidak. Mufti Taqi Usmani dari Pakistan mengatakan: iya. Namun Mufti Nasr Farid Wasil dari Mesir mengatakan: tidak. Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan: iya. Sayyid Thantawi (Grand Syekh al-Azhar) mengatakan: tidak.

Jadi, buat ulama yang menganggap bunga bank termasuk riba, maka hukumnya haram, dengan segala konsekuensinya termasuk bekerja di bank konvensional. Sementara buat ulama yang menganggap bunga bank bukan termasuk riba maka hukumnya boleh, termasuk boleh bekerja di bank konvensional.

Sampai sini, sudah jelas yah? Gak usah ribut. Ini perkara khilafiyah.

Namun belakangan ini beredar meme/gambar sampai baliho/spanduk yang mengutip hadits Nabi yang mengatakan 1 dirham riba lebih besar dosanya dari perbuatan zina sebanyak 36 kali. Bahkan ada hadits yang lebih serem lagi: riba memiliki 72 pintu. Yang paling rendah seperti menzinahi ibu kandung.

Mari kita bahas sanad dan matan kedua hadits di atas. Sahih kah haditsnya?

Hadits dengan redaksi yang mirip banyak diriwayatkan melalui berbagai jalur periwayatan: Abu Hurairah, Ibn Mas’ud, dan Siti Aisyah. Para ulama sudah membahasnya dan mereka berselisih mengenai sahih atau tidaknya hadits-hadits tersebut. Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak mengatakan haditsnya sahih sesuai kriteria Bukhari-Muslim. Namun ulama lain mengatakan tidak sahih.

Hasil pelacakan saya, hadits seputar dosa riba yang melebihi dosa perbuatan zina itu sanadnya lemah dan matannya mungkar. Ini alasannya:

1. Ibn al-Jauzi menjelaskan kedhaifan riwayat-riwayat hadits semacam ini dalam kitabnya al-Maudhu’at (juz 2, halaman 247):

ليس في هذه الاحاديث شئ صحيح

"Gak ada satupun yang sahih dalam kumpulan hadits seputar masalah ini."

Ibn Al-Jauzi mengutip bagaimana Imam Bukhari mengomentari sejumlah perawi hadits yang bermasalah.

Abu Mujahid: haditsnya munkar.

Thalhah bin Zaid: munkar.

Jadi bagaimana mungkin dikatakan haditsnya sahih sesuai syarat Bukhari-Muslim?

2. Syaikh Abdur Rahman al-Mu'alimi al-Yamani ketika mentahqiq kitab al-Fawa’id al-Majmu’ah fi al-Hadits al-Maudhu’ah (juz 1, halaman 150) menulis:

‎والذي يظهر لي أن الخبر لا يصح عن النبي صلى الله عليه وسلم البتة

yang jelas tampak bagiku bahwa khabar (seputar topik ini) tidak benar sama sekali berasal dari Nabi SAW.”

3. Ahli hadits lainnya Abu Ishaq al-Huwaini dalam kitab Ghauts al-Makdud bi Takhrij al-Muntaqa Libnil Jarud membuat kesimpulan:

‎أن الحديث لا يمكن نسبته إلى النبي صلى الله عليه وسلم ، لا تصحيحاً ولا تحسيناً ، وأحسن أحواله أن يكون ضعيفا ، وعندي أنه باطل ، وفي متنه اضطراب كثير

Hadits semacam ini tidak mungkin dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, statusnya tidak sahih dan juga tidak hasan. Paling banter dikatakan dha’if. Tapi buat saya haditsnya batil, dan di matan (teks)nya terdapat perbedaan redaksi yang banyak (mudtarib).

4. Terakhir, Syekh ‘Ali as-Shayyah, dosen ilmu hadits di Universitas King Saud, Riyadh, Saudi Arabia melakukan riset tentang hadits seputar ini. Beliau menyimpulkan:

‎لم يصح شيء مرفوع إلى النبي صلى الله عليه وسلم في تَعْظيمِ الرّبَا على الزنا

Tidak satupun hadits yang marfu’ bersambung kepada Nabi dalam topik lebih besarnya dosa riba daripada perbuatan zina”.

Jadi, dari segi sanad, hadits seputar topik ini dianggap lemah, batil, dan tidak sampai ke Nabi, oleh para ulama hadits di atas.

Dari sisi teks atau matan, hadits seputar ini juga bermasalah. Perbuatan zina itu termasuk dalam hal jinayat (pidana Islam). Sedangkan riba itu tidak termasuk dalam jinayat. Bagaimana mungkin dosa riba melebihi dosa perbuatan zina, apalagi dikaitkan dengan melebihi dosa menzinahi ibu kandung. 36 kali dosanya lebih besar. Jadi bagaimana hukuman cambuknya? 36 dikali 100 cambuk? Tidak masuk akal.

Karena itu kesimpulan saya hadits-hadits seputar masalah ini tidak bisa dijadikan pegangan kita. Wa Allahu a’lam

Tabik,

Nadirsyah Hosen