Gus Yahya: Sengit Ndulit, Gething Nyanding

 
Gus Yahya: Sengit Ndulit, Gething Nyanding

Oleh KH YAHYA CHOLIL STAQUF *)

LADUNI.ID, Jakarta - Mengapa membenci? Itu lebih merupakan pertanyaan filsafat ketimbang psikologi. Tak pernah ada penjelasan yang mudah untuk setiap kasusnya. Bahkan lebih sering yang didaku sebagai penjelasan sesungguhnya hanyalah pembenaran.

Terlalu sering ada orang dibenci malah bingung, "Salahku apa...?"

Begitu ruwetnya urusan kebencian itu sampai-sampai Kanjeng Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wasallam seolah mencegat kita dari perenungan akan sebab-musabab kebencian dengan menandaskan hakikatnya sebagai bagian dari keazalian yang dikehendaki Tuhan.

الأرواح جنود مجندة فما تعارف منها اءتلف وما تناكر منها اختلف

"Jiwa-jiwa itu berpihak-pihak dan digelar-papankan. Yang saling kenal (dulu di alam azali) akan saling rukun (di alam dunia), dan yang saling singkur (di alam azali) akan saling berseliisih (di alam dunia)".

Baca juga: Azal, Kondisi tanpa Awal Mula (Kajian Akidah)

Sementara itu, ngѐlmu titѐn Jawa mengatakan: “Sêngit ndulit, gêthing nyanding”. Yang benci akan mencicipi, yang anti akan menyanding.

Maka, tidak perlulah terlampau serius menghayati kebencian, baik kebencianmu sendiri maupun kebencian orang terhadapmu.

Dulu, tiga generasi yang lampau, di Rembang ada Kyai Mas'ud yang teramat benci kepada Muhammadiyah, walaupun ia berkawan dengan Kyai Anwar yang anggota Muhammadiyah. Kalau Kyai Anwar berkunjung ke rumahnya, Kyai Mas'ud memang menerimanya dengan baik dan menghormatinya layaknya tamu siapa pun. Tapi setelah Kyai Anwar pergi, ia menyuruh orang membawa kursi yang bekas diduduki si tamu itu ke pantai untuk dicuci tujuh kali dengan salah satunya dicampur tanah.

Di kemudian hari, putera Kyai Mas'ud, yaitu Kyai Masduqi, menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Rembang.

أحبب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما أبغض بغيضك هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوما ما

"Cintailah kekasihmu secara sedang-sedang saja, mana tahu ia jadi musuhmu suatu hari. Bencilah musuhmu secara sedang-sedang saja, mana tahu ia jadi kekasihmu suatu hari".


*) Artikel ini ditulis oleh KH Yahya Cholil Staquf, Katib Aam PBNU.