Menghindari Karakter Manusia Munafik

 
Menghindari Karakter Manusia Munafik
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dalam kehidupan ini kita perlu mewaspadai diri agar tidak terjebak berkawan dengan orang munafik, dan jangan sampai kita menjadi dari bagiannya.

Munafik berasal dari kata نَافَقَ - يُنَافِقُ , artinya secara etimologis adalah:

أَظْهَرَ مَا لَيْسَ فِي الْبَاطِنِ

Menampakkan sesuatu yang berbeda dengan bathinnya.

Misalnya seseorang menampakkan persetujuannya pada sesuatu, tetapi dalam bathinnya ia tidak setuju.

Sedangkan pengertian munafik secara terminologi adalah:

مَنْ أَظْهَرَ إِسْلاَمَهُ وَسَتَرَ كُفْرَهُ فِي قَلْبِهِ

Orang yang menampakkan keislamannya dan menyembunyikan kekafiran di dalam hati.

Al-Qur’an menjelaskan kriteria manusia munafik sebagaimana berikut:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَبِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَۘ

“Dan sebagian dari manusia, ada yang mengakui: ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian’, padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 8)

Ayat ini menjelaskan, selain ada manusia yang bertakwa, manusia kafir, ada juga golongan yang ketiga yaitu manusia munafik. Golongan ini selalu menampakkan dirinya sebagai orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah SWT, tetapi sebenarnya mereka adalah orang-orang kafir. Mereka melakukan hal ini, kerena mereka menyadari, bahwa tidak mungkin memusuhi kaum muslimin secara terang-terangan. Maka mereka melakukan penipuan, untuk merusak kekuatan kaum Muslim dari dalam, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikutnya.

يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ۚ وَمَا يَخْدَعُوْنَ اِلَّآ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَۗ

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka menipu diri mereka sendiri sedangkan mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah: 9)

Manusia munafik hendak menipu Allah SWT, Nabi dan orang-orang yang beriman, agar mereka dapat mencerai beraikan kekuatan umat Islam. Mereka berpura-pura sebagai muslim yang taat, amanah dan berjuang untuk Islam, tapi sebenarnya mereka melakukan penyelidikan untuk meneliti kelemahan umat Islam, kemudian dijadikan sarana untuk menghancurkan orang-orang yang beriman.

Usaha mereka akan sia-sia, karena segala tipu daya mereka diketahui oleh orang-orang Muslim. Mereka akan terombang-ambing dalam kesalahan dan kebingungan.

Nabi menggambarkan sikap orang munafik dalam Hadis berikut ini:

مَثَلُ الْمُنَافِقِ كَمَثَلِ الشَّاةِ الْعَائِرَةِ بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ تَعِيرُ إِلَى هَذِهِ مَرَّةً وَإِلَى هَذِهِ مَرَّةً

“Perumpamaan seorang munafik, seperti seekor anak kambing yang kebingungan di antara dua kambing dewasa, kadang-kadang mengikuti yang satu ini dan kadang-kadang yang lainnya.” (HR. Muslim)

Dengan sikap berpura-pura dan selalu menipu, orang-orang munafik jelas diliputi penyakit di dalam hatinya, seperti dendam, hasud, dengki, ragu-ragu dan penyakit kejiwaan lainnya. Penyakit itu akan bertambah berat, terutama pada saat mereka mengetahui, umat Islam memperoleh kesuksesan yang luar biasa dalam perjuangannya. Dengan demikian penyakit kejiwaan itu terus mendera mereka sampai  mereka berputus asa dan kecewa berat. Kondisi seperti itu akan mengantarkan mereka pada kubangan kehinaan dan kenistaan dalam segala kehidupan.

Sikap manusia munafik yang sangat buruk dan tercela disebutkan dalam Al-Qur’an:

وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Dan apabila ia berpaling (dari hadapan), ia berjalan di muka Bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak hewan ternak, sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al-Baqarah: 205)

Selain itu karakter manusia munafik juga digambarkan sebagaimana berikut ini:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ

“Dan bila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’" (QS. Al-Baqarah: 11)

Manusia munafik itu apabila dinasehati agar mereka tidak berbuat kerusakan dan perbuatan keji di lingkungan masyarakat, mereka menjawab: “Sebaliknya kamilah yang berbuat kebaikan dan mengusahakan keselamatan bersama”. Ucapan mereka disampaikan dengan sungguh-sungguh supaya masyarakat mempercayai mereka, padahal yang diucapkannya bertentangan dengan kenyataan.

Mereka itu hakikatnya adalah kelompok orang yang selalu merusak dan berbuat onar dalam kehidupan masyarakat, sehingga menimbulkan berbagai macam kehancuran dan kerusakan. Karena disebabkan penyakit dalam hati mereka, maka mereka tidak menyadari hal tersebut sebab pikiran dan hati mereka telah terbelunggu dalam kesesatan dan kebingungan.

Ketika mereka disadarkan dan disarankan agar mereka beriman dengan iman yang sesungguhnya sebagaimana imannya para sahabat Nabi, seperti kaum Muhajirin dan Anshar, mereka menolak bimbingan itu, dan dengan pongah menjawab: “Apakah kami harus beriman sebagaimana orang-orang bodoh itu beriman?” 

Mereka menganggap para sahabat Nabi yang beriman itu bodoh, baik kaum Muhajirin maupun kaum Anshar. Mereka menyangka kaum Muhajirin itu bodoh, karena mengikuti Nabi, meninggalkan keluarga dan tanah air dan menyumbangkan hartanya untuk kebesaran agama Islam.

Sementara orang-orang Anshar yang menjadi pribumi Madinah juga dianggap bodoh, karena mereka mau menerima para imigran dari Makkah (Muhajirin), sehingga mereka mengorbankan harta benda serta raganya untuk para pendatang itu.

Kesalahan cara pandang orang-orang munafik itu terbantahkan, sebab sesungguhnya mereka itu lah yang bodoh, karena menolak petunjuk dan kebenaran, sebaliknya, mereka hanya mengikuti hawa nafsunya yang menyesatkan.

Dengan pola pemahaman seperti itu, mereka akan tercampakkan dalam jurang kehinaan duniawi maupun ukhrawi. Dan dengan demikian, sesungguhnya mereka itulah yang merupakan orang-orang bodoh dan sesat.

Selanjutnya dijelaskan dalam Al-Qur’an:

وَاِذَا لَقُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قَالُوْٓا اٰمَنَّا ۚ وَاِذَا خَلَوْا اِلٰى شَيٰطِيْنِهِمْ ۙ قَالُوْٓا اِنَّا مَعَكُمْ ۙاِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ

“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok." (QS. Al-Baqarah: 14)

Mengenai istilah setan itu, ia adalah makhluk ghaib yang berasal dari jin yang bernama iblis, yang selalu menyesatkan manusia. Iblis apabila aktif menyesatkan manusia disebut setan, karena itu lah siapapun yang selalu menjerumuskan manusia dari jalan yang benar disebut golongan setan, baik ia berupa iblis, jin atau manusia. Lafadh setan berasal dari kata Syathun yang artinya Al-Ba’id (jauh). Dinamakan demikian karena setan selalu jauh dari kebenaran dan petunjuk. Kata itu berarti juga Al-Mutamarridh atau yang membangkang dan durhaka. Dinamakan demikian, karena setan adalah makhluk yang selalu membangkang dan durhaka kepada Allah SWT.

Manusia munafik adalah pengikut setan itu. Hakikatnya mereka adalah pembangkang dan durhaka sebagaimana yang dilakukan setan.

Ketika mereka berjumpa dengan orang-orang beriman mereka mengatakan diri sebagai seorang Mukmin dan Muslim. Dengan sikap ini mereka memperoleh hak-hak yang diperoleh kaum muslimin pada umumnya. Akan tetapi bila berhadapan teman-teman mereka dan pemimpinnya, mereka mengatakan bahwa sikap yang menampakkan diri sebagai orang Muslim itu hanyalah bertujuan untuk menipu dan mengejek kaum muslimin. Kayakinan mereka tidak berubah sama sekali, mereka tetap dalam kekafirannya.

Demikianlah digambarkan oleh Al-Qur’an tentang karakter manusia munafik yang tidak pernah konsisten dan tidak mempunyai pendirian teguh. Karena itu, kita harus berhati-hati dan memperhatikan diri jangan sampai mempunyai karakter demikian, yang menjadikan kita termasuk di dalam golongannya. Na’udzu billah min dzalik. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 16 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis. KH. Zakky Mubarak

Editor: Hakim