Bolehkah Minum Obat Penunda Haid agar dapat Berpuasa Sebulan Penuh?

 
Bolehkah Minum Obat Penunda Haid agar dapat Berpuasa Sebulan Penuh?
Sumber Gambar: HaiBunda, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Menunda haid atau yang sering disebut dengan istilah "penundaan haid" adalah praktek yang umum dilakukan oleh wanita Muslim untuk memungkinkan mereka berpuasa selama bulan Ramadan. Dalam beberapa kasus, wanita mungkin memilih untuk mengonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat membantu menunda timbulnya menstruasi. Meskipun praktik ini telah ada dalam budaya Islam sejak lama, ada beragam pendapat di antara ulama tentang keabsahan hukumnya.

Beberapa ulama menyatakan bahwa menunda haid untuk berpuasa merupakan tindakan yang sah dan diperbolehkan dalam Islam, mengutip hadis-hadis yang mendukung praktik ini. Mereka berargumen bahwa tujuan dari puasa adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan spiritualitas, dan menunda haid merupakan cara bagi wanita untuk tetap berpartisipasi dalam ibadah tersebut.

Namun, ada juga pendapat lain yang menentang praktik penundaan haid. Beberapa ulama berpendapat bahwa hal tersebut melanggar prinsip asli syariat Islam yang menekankan pentingnya menjaga kesehatan dan keselamatan diri. Mereka menyoroti potensi risiko kesehatan yang terkait dengan penggunaan obat-obatan untuk menunda menstruasi, serta menggarisbawahi bahwa agama tidak seharusnya memaksakan beban yang berlebihan pada umatnya.

Penting untuk dicatat bahwa keputusan untuk menunda haid demi berpuasa adalah hal yang sangat personal dan harus dipertimbangkan dengan hati-hati oleh masing-masing individu. Konsultasi dengan ahli agama dan profesional medis mungkin diperlukan untuk memahami implikasi dan risiko yang terkait dengan praktik ini. Selain itu, pendekatan yang lebih holistik untuk ibadah Ramadan, yang memperhatikan kesehatan fisik dan spiritual secara seimbang, dapat menjadi panduan bagi wanita Muslim dalam menjalankan ibadah dengan cara yang paling sesuai dengan nilai-nilai agama mereka. Lalu, bagaimana Islam mengatur tentang penggunaan obat penunda haid ini untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadhan?

Menurut kalangan Syafi'iyyah diperbolehkan asalkan tidak menimbulkan bahaya pada dirinya. Berikut uraiannya, sekaligus pendapat-pendapat kalangan madzhab selain syafiiyyah tentang wanita yang minum obat pencegah datangnya haid.

وَفِيْ فَتَاوَى الْقَمَّاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ

"Dalam Fatawa Al Qammaath (Syeikh Muhammd ibn al Husein al Qammaath) di simpulkan diperbolehkannya menggunakan obat untuk mencegah datangnya haid." (Ghayatut Talkhis: 196).

Sumber kitab : Ghooyah at-Talkhiish al-Murood 247 / halaman 196, maktabah syamilah (Fiqh Syafi’iyyah).

اَلْمَالِكِيَّةُ قَالُوْا

أَمَّا أَنْ تَصُوْمَ الْحَيْضُ بِسَبَبِ دَوَاءٍ فِيْ غَيْرِ مَوْعِدِهِ فَإِنَّ الظَّاهِرَ عِنْدَهُمْ أَنَّهُ لَا يُسَمَّى حَيْضًا وَلَا تَنْقَضِيْ بِهَ عِدَّتُهَا وَهَذَا بِخِلَافِ مَا إِذَا اسْتَعْمَلَتْ دَوَاءً يَنْقَطِعُ بِهِ الْحَيْضُ فِيْ غَيْرِ وَقْتِهِ الْمُعْتَادِ فَإِنَّهُ يُعْتَبَرُ طُهْرًا وَتَنْقَضِيْ بِهِ الْعِدَّةُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَمْنَعَ حَيْضَهَا أَوْ تَسْتَعْجِلُ إِنْزَالَهُ إِذَا كَانَ ذَلِكَ يَضُرُّ صِحَّتَهَا لِأَنَّ الْمُحَافَظَةَ عَلَى الصِّحَّةِ وَاجِبَةٌ

"Kalangan Malikiyyah berpendapat : Haid adalah darah yang yang keluar dari alat kelamin wanita pada usia yang ia bisa hamil menurut kebiasaan umum. Bila wanita menjalani puasa akibat obat yang mencegah haid hadir dalam masanya, menurut pendapat yang zhahir masa-masa tidak dikatakan haid dan tidak menghabiskan masa iddahnya, berbeda saat ia menjalani haid dan meminum obat untuk menghentikan haidnya diselain waktu kebiasaannya, maka ia dinyatakan suci namun iddahnya dapat terputus karena sesungguhnya tidak boleh bagi seorang wanita mencegah atau mempercepat keluarnya darah haid bila membahayakan kesehatannya karena menjaga kesehatan wajib hukumnya." (al-Fiqhu 'ala Madzahibil 'Arba'ah, 1/103).

Sumber kitab: Al Fiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/103, maktabah syamilah (Fiqh Muqaarin).

أَحْكَامٌ عَامَّةٌ

أَوَّلًا - إِنْزَالُ وَرَفْعُ الْحَيْضِ بِالدَّوَاءِ

صَرَّحَ الْحَنَابِلَةُ بِأَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ شُرْبُ دَوَاءٍ مُبَاحٍ لِقَطْعِ الْحَيْضِ إِنْ أُمِنَ الضَّرَرُ ، وَذَلِكَ مُقَيَّدٌ بِإِذْنِ الزَّوْجِ . لأِنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْوَلَدِ ، وَكَرِهَهُ مَالِكٌ مَخَافَةَ أَنْ تُدْخِل عَلَى نَفْسِهَا ضَرَرًا بِذَلِكَ فِي جِسْمِهَا . كَمَا صَرَّحُوا بِأَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَشْرَبَ دَوَاءً مُبَاحًا لِحُصُوْل الْحَيْضِ ، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ لَهَا غَرَضٌ مُحَرَّمٌ شَرْعًا كَفِطْرِ رَمَضَانَ فَلاَ يَجُوْزُ .

ثُمَّ إِنَّ الْمَرْأَةَ مَتَى شَرِبَتْ دَوَاءً وَارْتَفَعَ حَيْضُهَا فَإِنَّهُ يُحْكَمُ لَهَا بِالطَّهَارَةِ ، وَأَمَّا إِنْ شَرِبَتْ دَوَاءً وَنَزَل الْحَيْضُ قَبْل وَقْتِهِ فَقَدْ صَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ بِأَنَّ النَّازِل غَيْرُ حَيْضٍ وَأَنَّهَا طَاهِرٌ . فَلاَ تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ ، وَلاَ تَحِل لِلأزْوَاجِ ، وَتُصَلِّيْ وَتَصُوْمُ لاِحْتِمَال كَوْنِهِ غَيْرَ حَيْضٍ ، وَتَقْضِي الصَّوْمَ دُوْنَ الصَّلاَةِ احْتِيَاطًا لاِحْتِمَال أَنَّهُ حَيْضٌ .

وَقَدْ صَرَّحَ الْحَنَفِيَّةُ بِأَنَّهُ إِذَا شَرِبَتِ الْمَرْأَةُ دَوَاءً فَنَزَل الدَّمُ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ حَيْضٌ وَتَنْقَضِيْ بِهِ الْعِدَّةُ

(1) حاشية ابن عابدين 1 / 202 ، حاشية الدسوقي 1 / 167 ، 168 ، مواهب الجليل 1 / 366 ، كشاف القناع 1 / 218

Hukum umum Keluar dan hilangnya haid akibat obat.

Kalangan Hanabilah menjelaskan : Diperkenankan bagi wanita meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk memutus datangnya haid bila aman dari bahaya, itupun bila seijin suami karena suami punya hak anak atas dirinya, Imam malik memakruhkannya bila menimbulkan bahaya dalam raganya seperti diperkenankan baginya meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk mendapatkan masa haidnya hanya saja bila bertujuan yang diharamkan syara’ seperti agar tidak berpuasa dibulan ramadhan maka tidak diperkenankan.

Wanita yang meminum obat kemudian hilang haidnya maka dihukumi wanita suci, namun wanita yang meminum obat agar mendapatkan haidnya sebelum masanya tiba maka darah yang keluar menurut kalangan malikiyyah bukanlah darah haid dan dia tetap dikatakan suci dan tidak habis iddahnya dan tidak halal untuk dinikahi, baginya tetap wajib sholat dan puasa karena kemungkinannya bukan darah haid, boleh mengqadha puasanya bukan shalatnya karena kemungkinan yang keluar darah haid.

Kalangan Hanafiyyah menjelaskan : Wanita yang meminum obat kemudian keluar darah haid pada masa-masanya, yang keluar adalah darah haid dan menghabiskan masa iddahnya." (Haasyiyah Ibn ‘Aabidiin I/202, Haasyiyah ad-Daasuqi I/167-168, Mawaahib al-jaliil I/366, Kasysyaaf alQanaa’ I/218). [al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 18/327].

Sumber kitab: Al Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah XVIII/327, maktabah syamilah (Fiqh Muqaarin).

Catatan: Berikut ta’bir Kitab Kasysyaaful Qanaa’ selengkapnya: ( وَيَجُوزُ شُرْبُ دَوَاءٍ مُبَاحٍ لِقَطْعِ الْحَيْضِ مَعَ أَمْنِ الضَّرَرِ نَصًّا ) كَالْعَزْلِ وَ ( قَالَ الْقَاضِي لَا يُبَاحُ إلَّا بِإِذْنِ الزَّوْجِ ) أَيْ : لِأَنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْوَلَدِ ( وَفِعْلُ الرَّجُلِ ذَلِكَ بِهَا ) أَيْ : إسْقَاؤُهُ إيَّاهَا دَوَاءً مُبَاحًا يَقْطَعُ الْحَيْضَ ( مِنْ غَيْرِ عِلْمِهَا يَتَوَجَّهُ تَحْرِيمُهُ ) قَالَهُ فِي الْفُرُوعِ ، وَقُطِعَ بِهِ فِي الْمُنْتَهَى لِإِسْقَاطِ حَقِّهَا مِنْ النَّسْلِ الْمَقْصُودِ . ( ومثله ) أي مثل شربها دواء مباحا لقطع الحيض ( شربه كافورا ) قال في المنتهى ولرجل شرب دواء مباح يمنع الجماع "

[Diperbolehkan meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk memutus datangnya haid bila aman dari bahaya atas dasar nash] sebagaimana masalah 'azl. [Qadhi Ibnu Muflih berkata: tidak diperbolehkan kecuali dengan sejin suami] sebab suami memiliki hak atas mendapatkan keturunan [serta perbuatan suami akan hal itu] yakni meminumkan obat yang diperbolehkan syara' pada istri untuk memutus haid [tanpa sepengetahuan istrinya pantas dinilai haram] diungkapkan dalam kitab Furu', ditegaskan pula dalam kitab al-Muntaha sebab perbuatan itu melanggar hak istrinya untuk mendapatkan keturunan yang dikehendakinya [Sebagaimana hal itu] yakni sebagaimana meminumkan pada istri obat yang diperbolehkan syara' untuk memutus haid [boleh juga meminum air kapur] Dijelaskan dalam kitab al-Muntaha bahwa bagi suami boleh meminum air yang diperbolehkan syara' untuk menolak keinginan persetubuhan." (Kasysyaful Qana', 1/218).

Sumber kitab : Kasysyaaful Qanaa’ karya Syeikh Manshuur ibn Yunuus al Bahuuti juz II halaman 96, maktabah syamilah (Fiqh Hanabilah). Wallaahu A’lam. []

Sumber : Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 2018-06-25. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar