Gejala Penghilangan Sintesis Wacana Allah dengan Wacana HambaNya di Sebagian Masyarakat Islam Dewasa

 
Gejala Penghilangan Sintesis Wacana Allah dengan Wacana HambaNya di Sebagian Masyarakat Islam Dewasa

Oleh: Ravi Ahmad Salim, PhD

Dosen Universitas Gunadarma

 

Wacana agama Islam itu sebetulnya menyiasati manusia dengan meletakkan hati nurani Semesta ke dalam konsep Tuhan. Tuhan ini dilukiskan berinspirasi dalam bentuk sebuah kitab bacaan al Qur'an lengkap dengan segala komentar-Nya tentang percontohan segala aspek situasi yang menyangkut kepentingan manusia (diwakili dengan yang ada pada zaman Nabi). Komentar dan petunjuk ini dipaparkan secara utuh mulai dari sisi yang paling objektif sampai dengan yang paling subjektif. Isinya berbentuk semangat umum dari idealitas yang diwacanakan sang Raja Pengatur Segala Sesuatu itu untuk bisa dirinci dengan akal budi manusia.

Sebagai Yang Tak Terbatas, tentu saja Allah cenderung tidak "memaklumi" kelemahan-kelemahan manusia sehingga wacana hukuman dan murka-Nya begitu keras dan menakutkan. Maka terciptalah ketegangan antara sudut pandang Allah dan sudut pandang si hamba sebagai manusia. Dalam hal ini yang dimaksud hamba adalah pembaca pengguna al Qur'an yang ingin menjadi khalifatullah fil ardh atau wakil Allah di muka bumi sebagai rahmatan lil alamin membawakan rahmat (manfaat) yang ditujukan untuk alam semesta, bukan hanya untuk golongan tertentu apalagi pribadi.

Untuk mengatasi ketegangan ini diperlukan sintesis yang dapat menyalurkan semua aspirasi Allah tadi ke dalam bentuk yang lebih kontekstual dengan situasi nyata dari si hamba sebagai pelaku maupun dari orang-orang  yang akan diperlakukannya dengan amal perbuatannya. Sintesis ini memerlukan kreativitas dan dialog dengan Allah sang Maha Kuasa dan Maha Sempurna, membujuk-bujuk-Nya agar merestui keringanan-keringan yang diajukan agar prakteknya tidak sekeras kesempurnaan yang diharapkan-Nya melainkan selaras dengan kesanggupan semua pihak manusianya.

Kita paparkan ke hadapan-Nya hasil ekstraksi aspirasi kita mewujudkan niat baik menghadapi realitas kemanusiaan yang ada. Salahs atu upaya melunakkan hati-Nya, kita sebut manusia-manusia teladan di masa lalu yang telah dipermaklumkan-Nya sebagai kekasih-kekasih-Nya sebagai cermin-cermin.

Allah pun tentu akan menurunkan jawaban-jawaban-Nya melalui inspirasi-inspirasi yang timbul setelahnya dalam bentuk apapun mulai mimpi sampai keterbukaan akal dan visi baru. Ud'uunii astajib lakum serulah Aku maka Aku akan menjawab untukmu.

Beralih ke situasi zaman sekarang, dampak dari revolusi para muhaddits (ahli-ahli hadits) yang dilontarkan Wahabisme atau pengeringan agama menjadi filsafat (Marx) yang dipraktekkan ikhwanul muslimin, atau paham-paham sejenis, adalah hilangnya sintesis antara al Qur'an sebagai wacana Allah dan manusia, baik dalam tataran praktik kemasyarakatan maupun individual. Semua konsep yang di dalam al Qur'an dipukul rata menjadi sesuatu yang pada dasarnya hanyalah sederet undang-undang yang penafsiran maupun prakteknya sudah siap pakai, sehingga segala hal yang bersifat semangat dan kualitatif disulap menjadi butir aturan yang lahiriah dan kuantitatif. Muncullah agama instan yang hanya mensyaratkan manusia mengekor bebek kepada undang-undang lahiriah kuantitatif tadi.

Alih-alih penganutnya menjadi wakil Allah di hadapan manusia dan menjadi wakil manusia di hadapan Allah, khalifatullah linnaas wa khalifatun naas lillaah, yang takut dan gemetar di hadapan keagungan-Nya, mereka malah merasa seakan menjadi Allah itu sendiri sebagaimana keadaan Fir'aun di dalam al Qur'an. Mereka menjadi self righteous merasa benar sendiri dan merasa berhak menerapkan sederetan undang-undang ready made atau siap saji tadi.

Ketika ada yang menghujat al Qur'an, maka yang mereka lakukan bukanlah penerangan dan penjelasan disertai dengan "rajukan" kepada Allah seperti dilakukan Nabi yang berkata Allahummaghfir lahum innahum laa ya'lamuun ya Allah ampuni mereka sesungguhnya mereka tidak tahu, tapi langsung menuntut hukuman sesuai semangat undang-undang mereka.

Perlu diketahui bahwa menghukum orang karena menghina agama adalah bid'ah. Rasulullah SAW tidak pernah melakukan itu. Menghukum orang karena memfitnahnya sebagai pemimpin masyarakat sehingga berpotensi menimbulkan kekacauan dalam keadaan pemfitnah itu menolak klarifikasi kesalahannya, maka itulah yang pernah dilakukan Rasulullah.

Itu semua masih mending kalau mereka lakukan sesuai diagnosis yang benar, sekalipun prosedurnya salah. Sayangnya kita juga tahu apa yang terjadi terkadang sudah dipolitisir dan berbentuk fitnah murni. Sedangkan insting masyarakatnya yang dicetak menjadi pengekor bebek itu hanya mengikuti para guru dan pemimpinnya. Jadi yang paling berdosa adalah pemimpin-pemimpin dan guru-gurunya itu.

Tak pelak lagi semua hasil kontekstuslisasi Islam sehingga lebih sesuai situasi seperti Pancasila, Islam Nusantara yang digagas Walisanga, dan sebagainya mereka tolak mentah-mentah karena bukan undang-undang mereka. Jika ini dibiarkan maka akan terbentuk masyarakat abudaya (buta budaya) bahkan buta kebenaran dan keindahan.