Serial Wayang Kebatinan Islam #4: Wayang Kulit di Masa Kerajaan Demak dan Pajang

 
Serial Wayang Kebatinan Islam #4: Wayang Kulit di Masa Kerajaan Demak dan Pajang

Wayang Kulit Masa Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang

Keturunan kerajaan Majaphit pada tahun 1478 Masehi, memunculkan kekuatan Islam dengan simbol kerajaan-kerajaan dengan latar belakang Islam. Sementara itu di Indonesia, khususnya tanah Jawa memasuki babak baru dalam sejarah yaitu masa Islam.

Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam yang pertama kali muncul di tanah Jawa. Kerajaan ini berdiri atas jasa perjuangan para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri. Sebagai raja pertama adalah Raden Patah, seperti tercantum dalam “Babad Tanah Jawa seri Majapahit Pindah ke Bintoro.”

Semasa memegang kekuasaan di Demak, Raden Patah sangat serius dalam memperhatikan dan mengembangkan wayang kulit, demikian pula Wali Sanga penasihatnya. Hal ini disebabkan mereka berkeyakinan bahwa melalui wayang kulit akan membantu dan mempermudah dalam pengislaman tanah Jawa. Kemudian para wali menciptakan wayang purwa dari kulit, mengambil sumber dari zaman Prabu Jayabaya. Dalam pembuatan atau pengembangan wayang kulit itu tidak sembarang asal mengembangkan, tetapi mereka (Wali Sanga) sangat memperhatikan aspek agama. Sehingga wayang kulit (purwa) peninggalan Prabu Jayabaya banyak mengalami perubahan. Bentuk wayang diubah supaya tidak berbentuk manusia yang menurutnya dilarang oleh agama. Tentu saja, semua itu dengan maksud mendakwahkan Islam.

Selanjutnya mengenai pengembangan dan perubahan wayang kulit masa Raden Patah itu disebutkan oleh Sayid dalam buku “Ringkasan Sejarah Wayang”, yaitu:

Bahan tetap dari kulit, perubahan bentuk wayang, tinggi badan ditambah, tangan panjang sampai kaki, supaya jauh dari bentuk manusia. Juga hidung, leher, pundak, badan, kaki semua tampak lebih panjang. Hilang bentuk manusia, tinggal wujud dalam wujud wayang kulit purwa.

Pulasannya (pewarnaan) baru berwujud dasar putih dari bubukan tulang serta dihiasi dengan warna hitam. Demikian wayang diterangkan dari jurusan Islam atau Islam diterangkan dari jurusan wayang. Peristiwa ini diabadikan dengan sengkalan Sirna Suci Caturing Wong tahun 1440 Saka.

Untuk lebih menambah daya tarik wayang kulit, perlu ditambah tokoh-tokoh di dalamnya sehingga orang-orang yang belum memeluk Islam akan merasakan tidak adanya pemaksaan dalam memasuki Islam. Setelah tiga tahun Sultah Syah Alam Bandar I (Raden Patah) berkuasa diadakanlah penambahan wayang kulit, antara lain:

Sunan Prawoto membuat wayang-wayang tambahan berwujud raksasa dan kera serta mengubah patokan-patokan lakon atau cerita wayang. Kemudian Sunan Bonang menciptakan cara menjajarkan (menyamping) wayang di atas pentas dengan membaginya ke sebelah kiri kanan. Dalam pada itu, Sunan Kalijaga menciptakan kelir (layar) mengganti kayu penyimping wayang dengan debog (batang pisang) serta menambah sarana pentas antara lain: blencong (lampu), kotak wayang dan kekayon atau kayon (gunungan). Sultan Syah Alam Akbar I juga menciptakan wayang baru berupa gajah serta pasukan prajurit yang lazim disebut prampogan.

Alat-alat perlengkapan juga ditambah dengan gamelan slendro. Jadi pada masa Raden Patah inilah penekanan antara yang baik (Pandawa) dan yang buruk (Kurawa) ditekankan betul dengan simbol wayang-wayang yang ada dalam cerita Mahabharata.

Untuk pementasan wayang masa Raden Patah ini diperlukan seorang dalang yang betul-betul menguasai dan memahami seluk-beluk wayang kulit yang serba baru itu. Pada masa itu rupanya Sunan Kudus-lah yang sering berperan sebagai dalang dan pekelirnya ditambah lagi dengan sulu greget saut dan ada-ada yang ditandai dengan sekala Geni Suci Sing Rat tahun 1443 Saka.

Di samping Sunan Kudus terkadang Sunan Kalijaga juga berperan dalam pementasan itu. Sunan Kalijaga mengarang lakon-lakon wayang kulit yang baru, dan mengadakan pementasan di kalangan rakyat Demak waktu itu. Beliau tidak minta upah atas jasanya itu dengan materi, tetapi upahnya adalah kalimat syahadat. Beliau mau memainkan lakon wayang yang biasanya untuk meramaikan pesta atau peringatan-peringatan asal yang memanggil itu mau bersyahadat sebagai kesaksian bahwa ia rela masuk Islam.

Ketika pemerintahan Demak dipegang Sultan Trenggono (1521 M) yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar III, penyempurnaan wayang dilanjutkan kembali setelah kurangnya kemajuan pada masa pemerintahan pengganti Raden Patah, yaitu Pangeran Sabrang Lor. Penyempurnaan wayang kulit masa itu adalah dengan memperbesar mata, mulut, dan telinga wayang. Semua itu diperingati dengan sengkalan Resi Pitu Karya Tunggal tahun 1477 Saka. Juga pada masa pemerintahan raja ini ada seorang wali yang bernama Susuhunan Ratu tunggal dari Giri berperan dalam pengembangan wayang kulit waktu itu. S. Haryanto menyebutkannya dalam buku “Pratiwimba Adhiluhung Sejarah Perkembangan Wayang.”

Ia membuat pedoman dalam membuat mata wayang kulit antara lain mata liyepan dan mata thelengan. Untuk raksasa dan kera ditentukan bermata dua buah, sedang untuk para dewa berbusana cawat seperti arca. Mulai saat itu pula wayang-wayang diberi warna gemerlapan dengan cat emas dan kemudian wayang tersebut diberi nama kidang kencana, yang diperingati dengan sebuah sengkalan berwujud wayang Bathara Guru atau Sang Hyang Girinata mengendarai andini yang harus dibaca sebagai Slira Dwuja Dadi Raja (1478 Saka).

Tampak jelas bahwa oleh Sunan Ratu Tunggal, wayang kulit yang sebelumnya berwarna dasar putih dan sedikit berhias hitam disempurnakan lebih indah dengan warna gemerlapan cat emas.

Setelah Sultan Trenggono wafat, muncul pertentangan di dalam kerajaan Demak, berkaitan dengan siapa pengganti sultan selanjutnya. Pertentangan itu melibatkan Arya Penangsang di satu pihak, dan Adiwijoyo di pihak lain. Sebagai pemenang dalam pertentangan itu adalah Adiwijoyo yang berkuasa di Pajang setelah Arya Penangsang mangkat di medan perang.

Dengan demikian ibu kota kerajaan pindah dari Demak ke Pajang, yang merupakan daerah dengan kondisi pertanian yang dominan karena banyak sawahnya. Mahkota dan benda upacara kerajaan Majapahit lainnya dipindahkan dari Demak ke Kerajaan Pajang.

Kemajuan bentuk wayang kulit masa Pajang ini adalah:

Semua wayang ditambah tinggi badannya, para ratu memakai mahkota dandanannya memakai kampuh dan bercelana atau berkampuh tanpa celana. Para putri memakai dodot, dan rambut terurai. Denawa dan Wanara juga memakai dodot, bermata dua. Sepasang tangannya menjadi satu dengan badan.

Pada masa ini dibuat pula berbagai senjata, seperti: panah, keris, gada, dan sebagainya. Kesatria memakai gelung atau ngore, memakai dodotan dan celana.

Jadi wayang kulit masa Pajang sudah dilengkapi dengan berbagai senjata untuk adegan berperang ataupun adegan lainnya yang perlu adanya senjata.