Ajaran Langit yang Membumi Itu Bernama Islam Nusantara

 
Ajaran Langit yang Membumi Itu Bernama Islam Nusantara

Oleh Candra Malik

praktisi Tasawuf yang bergiat dalam kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan.

 


Islam dan Arab adalah satu dan lain hal. Islam adalah agama, Arab adalah bangsa/budaya. Islam tidak selalu Arab, dan sebaliknya: Arab tidak selalu Islam. Memeluk Islam tidak harus dengan bermuluk-muluk dengan yang serba Arab, pun tidak perlu mengutuk-ngutuk yang serba padang pasir.  

Nusantara yang Bhinneka Tunggal Ika berpengalaman dengan perbedaan. Islam meyakini perbedaan sebagai rahmat. Dan ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah rahmatan lil 'alamin, anugerah bagi semesta raya -- bukan sekadar rahmatan lil mukminin, bukan pula cuma rahmatan lil muslimin. 

Islam adalah ajaran samawi/langit. Nusantara adalah tradisi ardhi/bumi. Oleh karena itulah, Islam Nusantara adalah ajaran langit yang membumi. Islam Nusantara bukan soal menilai buruk dan salah pada yang lain. Tapi lebih tentang di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. 

Menjadi Nusantara adalah hal yang paling manusiawi bagi manusia Nusantara. Dilahirkan sebagai anak Nusantara, berakar kebudayaan negeri sendiri, berkebangsaan bangsa sendiri, dan menjadi diri sendiri. Bukan menjadi orang lain dengan justru kehilangan jati diri. Sebab, kehilangan terbesar adalah kehilangan diri sendiri. 

Menjadi Islam, atau yang kemudian disebut Muslim, tidak berarti harus dengan meninggalkan kodrat keibuan seorang anak manusia. Jika bahasa ibunya adalah bahasa Nusantara, maka lisan Nusantara itulah kodratnya sejak lahir. Jika budaya Nusantara adalah kesehariannya sejak dilahirkan, maka akar tradisi itulah yang menumbuhkan karakternya sebagai manusia. 

Islam adalah tulang sumsumku. Nusantara adalah darah dagingku. Menyatu dalam jiwa ragaku. Islam Nusantara adalah jatidiriku. Aku bangga menjadi diri sendiri. Aku bangga menjadi anak bangsa dari bangsaku sendiri. Belajar tentang apa saja, di mana saja, kepada siapa saja, kapan saja, bagaimana saja, apa pun alasannya, meyakinkan aku betapa Nusantara adalah rumah dari mana aku berangkat dan ke mana aku pulang. 

Sampeyan bebas menyampaikan pendapat yang berbeda tentang Islam Nusantara. Kebebasan berpendapat dilindungi oleh undang-undang, dan saya menghormati itu. Berbeda tidak lantas menjadikan Sampeyan orang lain. Kita berbeda karena kita sama: sama-sama berbeda. Ada benarnya kita tidak saling menyalahkan. Tidak ada salahnya kita saling membenarkan. 

Berdakwah itu mengajak, bukan mengejek. Berdakwah itu merangkul, bukan memukul. Berdakwah itu ramah, bukan marah. Berdakwah itu menjadi kawan, bukan mencari lawan. Berdakwah itu mengajak senang, bukan mengajak perang. Agama itu mudah dan selayaknya memudahkan. Jika bagi kita agama itu susah dan justru menyusahkan, selayaknya kita mawasdiri. Jangan-jangan, kita sendiri yang sulit dan mempersulit. 

Bagi saya, Nusantara adalah anugerah yang tidak bisa dipungkiri dan Islam adalah hidayah yang tidak bisa diingkari. Saya bersyukur dilahirkan sebagai seorang anak Nusantara dan saya berdoa kelak diwafatkan sebagai seorang manusia Islam (muslim). Bagi saya, dilahirkan sebagai seorang anak Nusantara adalah awal yang baik dan diwafatkan sebagai manusia Islam (muslim) adalah akhir yang baik. 

Islam saya Islam Nusantara, dan saya menghormati keyakinan dalam beragama sesuai dengan jatidiri dan tradisi masing-masing. Saya tidak memiliki hak dan wewenang bertanya dan mempertanyakan kesalehan personal Sampeyan. Yang terpenting dari kesalehan sosial kita adalah hidup akur, rukun, damai, dan gotong-royong. 

Islam mengajari saya untuk memohon kebahagiaan di dunia dan akhirat. Saya berjalan menjauh dari Shirath Al Mustaqim jika saya menjauhi ajaran-ajaran dan ajakan-ajakan hidup bahagia. Sebagai anak Nusantara, saya bahagia. Dan jika sebelumnya kita telah mengenal idiom kesalehan personal dan kesalehan sosial, maka Islam Nusantara adalah kesalehan natural