C. Snouck Hurgronje dan Misi Mempelajari Masyarakat Islam di Aceh

 
C. Snouck Hurgronje dan Misi Mempelajari Masyarakat Islam di Aceh
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni. ID, Jakarta – Humar Sidik dalam Jurnal Artefak menjelaskan bahwa, Christiaan Snouck Hurgronje dilahirkan pada tanggal 8 Februari 1857 di Costerhout Nederland. Ia sejak kecil di didik agama Nasrani oleh orang tuanya yang memang seorang Pastur Gereja Gereformeerd (Calvinist). Setelah tamat Hogere Burgerschool (Sekolah Menengah Lima Tahun) di Breda dan ketika ia berusia delapan belas tahun, ia menempuh ujian negara dan diterima di Universitas Leiden pada jurusan Theologi. Di sana ia menempuh ujian kandidat dalam mata kuliah teologi, setelah itu ia menempuh ujian dalam ilmu sastra Samiyah. Pada saat menjadi mahasiswa inilah Snouck mulai terpesona dengan Islam.

Pada tanggal 24 November 1880 studinya di universitas itu berakhir dengan promosi “cumlaude” menjadi doktor dalam ilmu sastra tersebut, berdasarkan sebuah disertasi tentang perjalanan haji ke Mekah berjudul Het Mekkaansche Feest (Perayaan di Mekah). Disertasi ini difokuskan pada asal-muasal ibadah ritual haji, dengan menggunakan sumber-sumber tekstual, yang semuanya nyaris berasal dari kitab-kitab yang merujuk pada ajaran Islam seperti Al-Quran, hadist Abu Daud, hadist Maliki, Bukhari ataupun Muslim. Dari tahun 1881 sampai 1887 Dr. Snouck Hurgronje menjadi lektor pada Lembaga Kota Praja untuk Pegawai Hindia Timur di Leiden dari tahun 1887 sampai 1889 di Universitas tersebut dan selama itu pula ia menyelidiki dan meneliti Fiqih (Hukum Islam), biografi Nabi Muhammad SAW dan sejarah Islam.

Pada tahun 1885 Christiaan Snouck Hurgronje memeluk agama Islam dan pergi ke Mekkah. Layaknya para Orientalis lain di zamannya, Snouck turut menggunakan pakaian dan persona seorang muslim agar dapat menyatu dan berbicara lebih dalam dengan umat muslim yang ada di Mekkah, sehingga adalah hal yang wajar apabila ia mendapatkan detail rincian yang luar biasa tentang kota Mekkah. Mulai dari kondisi toilet hingga ukuran roti gandum yang disajikan untuk perayaan musik dengan menyanyikan lagu-lagu para budak.

Selain detail Mekkah Ia juga menyelidiki warga pribumi Hindia Belanda dan mempelajari Islam untuk memperdalam pengetahuannya dan mempelajari Aceh lebih mendalam. Di Mekkah Snouck menggunakan nama samaran yaitu “Abdul Gaffar” dan selama Ia di Mekkah, Ia mendapat kesempatan untuk bertemu jemaah haji asal Indonesia. Snouck atau Abdul Gaffar ini meminta keterangan-keterangan tentang perang yang ada di Aceh, jemaah haji asal Indonesia pun menceritakan secara jelas karena mereka percaya kepada “Abdul Gaffar” ini. Snouck juga berpendapat bahwa peradaban Eropa lebih baik dan tinggi dibandingkan dengan peradaban Timur.

Pada tahun 1889, Snouck dipanggil oleh Pemerintah Belanda untuk pergi Aceh untuk meneliti wilayah tersebut. Walaupun begitu sebenarnya misi utama dari Snouck adalah untuk melakukan ‘pembersihan’ di Aceh. Studi-studi keislaman yang dilakukan oleh Snouck sangat memberikan pengaruh terhadap kontrol pemerintah bagi masyarakat pribumi di Indonesia. Pada saat perang berlangsung antara Aceh dan Belanda, Snouck memberikan nasihat kepada pemerintah Kolonial untuk menghabisi para ulama karena berperan penting dalam menggerakkan rakyat.

Akan tetapi, setelah 31 tahun perang Belanda melawan Aceh tepatnya pada 3 Januari 1904. Nasihat-nasihat yang diberikan oleh Snouck pada intinya untuk menertibkan Aceh, dan hendak dilakukan proses normalisasi keadaan Aceh secara menyeluruh, dengan mengambil hati rakyat Aceh. Mulai dari memaksimalkan penggunaan pasukan yang tersedia sampai dengan pengelolaan kas-kas setempat.

Sampai akhir abad 19, Belanda telah memiliki banyak pengalaman terhadap wilayah Nusantara dan hampir semuanya merupakan sejarah pahit dalam menghadapi perlawanan yang dilakukan oleh umat muslim di Nusantara. Hal itu dimulai sejak Belanda menginjakan kaki di Nusantara pada abad 16, Islam selalu saja menjadi penghalang dalam mencapai keinginan Pemerintah Belanda untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara, bahkan hingga menginjak abad 19, sejarah mencatat bahwa perlawanan atas dasar nama Islam terus dilakukan. Salah satu perang yang paling lama dilakukan Belanda melawan umat muslim yaitu perang Aceh.

Perang Aceh banyak menguras perbendaharaan pemerintah Kolonial dan pandangan publik semakin lama, semakin kritis dalam melihat dan mengamati administrasi Kolonial tersebut. Administrasi tersebut dikritik dengan tajam karena berbagai hal. Pertama, yaitu karena memulai perang terlebih dahulu. Kedua, karena tidak melacarkan perang tersebut dengan semangat yang membara setelah peperangan tersebut dilakukan. Mereka pun akhirnya sadar ada yang salah dalam kebijakan pemerintah Hindia Belanda dan menjadi jelas pula bahwa kesalahan yang dilakukan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan yang sangat mengherankan tentang negeri yang akan ditakhlukan oleh mereka.

Pemerintah telah lalai dengan tidak meminta nasihat profesional sebelum memulai perang, yang pasti oleh pakar yang tahu banyak tentang urusan Islam pada umumya dan Islam Indonesia pada khususnya. Akibatnya, pemerintah mengundang C. Snouck Hurgrounje, profesor studi Islam di Universitas Leiden, untuk mengadakan studi menyeluruh tentang negeri dan orang Aceh. Sejak di perguruan tinggi, Snouck telah memperhatikan perang Aceh yang dilaksanakan oleh pemerintah Belanda, dan menyadari adanya kekeliruan politik Aceh yang dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda. Sebab itu Snouck bertekad akan ke Mekah untuk mempelajari Islam di sana.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dengan segala akal busuknya Snouck berhasil menyelundup masuk ke kota suci Mekah dengan menggunakan nama palsu “Abdul Gaffar”. Selama di Mekah, dia telah mempelajari bahasa Arab dan ilmu pengetahuan Islam, yang mencakup hukum-hukum Islam dengan ulama Arab. Dia juga melihat koleksi buku, manuskrip, dan karya para pakar yang biasa dipelajari para ulama. Snouck juga mendapat kesempatan bertemu dengan Jemaah haji Indonesia yang sedang naik haji dan mendapat keterangan-keterangan yang penting mengenai situasi perang Aceh.

Setelah setahun di Mekah kedoknya terbuka. Gubernur van Teijn yang kala itu menjadi Gubernur Belanda di Aceh menawarkan kepada Snouck supaya dia mau datang ke Aceh untuk mempelajari posisi ulama di Aceh. Pada tahun 1891, Snouck diangkat menjadi Penasihat Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam dari Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1892, Snouck sudah berada di Aceh. Kesempatan ini dipergunakannya untuk mempelajari Aceh, penduduknya, bahasa, adat istiadat, dan pengaruh Islam dalam kehidupan penduduknya.

Salah satu hal pertama yang dilakukan oleh Snouck saat pertama menjadi penasihat adalah dengan mencoba untuk menghilangkan ketakutan Belanda terhadap Islam baik dalam skala lokal maupun internasional dengan cara meyakinkan para pejabat bahwa mereka tidak perlu takut pada pengaruh para “haji” dan bahwa tidaklah bijaksana jika memperlakukan mereka dengan kecerugiaan tak berdasar.

Selain itu Snouck juga menekankan kepada para pejabat Kolonial untuk tidak terlalu memaksakan dan berharap banyak terhadap Kristenisasi di tanah Aceh maupun Nusantara lainnya yang masih menganut agama Islam. Karena dalam Islam tidak dikenal dengan yang namanya lapisan kependetaan seperti agama Kristen, serta para pemimpin agama seperti Kyai maupun Ulama hanya sebatas jabatan keagamaan saja. Pan Islamisme yang dipandang bahaya sebenarnya hanya sebuah ide yang kabur dan bisa disamakan dengan realitas politik ke-khalifahan. Akan tetapi Snouck juga menegaskan agar tidak meremehkan dan memandang rendah Islam, karena jika tingkat seorang muslim percaya bahwa tingkat keimanannya sudah tinggi, ia akan melakukan apa saja atas dasar Islam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 17 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar