Biografi Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten

 
Biografi Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
2.1  Menjadi Sultan Banten
2.2  Ahli Strategi Perang
2.3  Hubungan diplomatik dengan Luar Negeri
2.4  Perkembangan Kesultanan Banten
2.5  Melawan Penjajah

3.    Penghargaan
4.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Sultan Ageng Tirtayasa diperkirakan lahir pada tahun 1637 M. beliau adalah putra dari pasangan Sultan Abdul Ma’ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode (1647-1651 M). dan Ratu Marta Kusuma

Saudara kandung Sultan Ageng Tirtayasa yakni:

  1. Ratu Kulon,
  2. Pangeran Kilen,
  3. Pangeran Lor,
  4. Pangeran Radja,

Sedangkan saudara yang berbeda ibu (dari Ratu Wetan) yakni:

  1. Pangeran Wetan,
  2. Pangeran Kidul,
  3. Ratu Inten,
  4. Ratu Tinumpuk.

Ketika kecil, Sultan Agung Tirtayasa bergelar Pangeran Surya (Matahari Terbit). Ketika ayahnya wafat, beliau diangkat menjadi Sultan Muda bergelar Pangeran Rau atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, beliau diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika beliau mendirikan keraton baru di Dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang).

1.2 Riyawat Keluarga
Menurut cerita yang berkembang di daerah Banten, Sultan Tirtayasa memiliki banyak istri. Beberapa di antaranya adalah Nyai Ratu Gede dan Ratu Nengah.

Nyai Ratu Gede adalah seorang putri penggawa yang kecantikannya telah menarik perhatian Sultan Tirtayasa. Sultan Tirtayasa jatuh hati kepada Nyai Ratu Gede ketika beliau membawa alat perhiasan kerajaan dalam upacara perayaan kerajaan.

Adapun istrinya yang bernama Ratu Nengah merupakan putri Pangeran Kasunyatan. Pernikahan dengan istri keduanya itu dilakukan setelah istri pertamanya meninggal dunia.

Sultan Ageng Tirtayasa memiliki 30 orang anak, yaitu:

  1. Sultan Abu Nashar Abdulqahar atau Sultan Haji,
  2. Pangeran Arya Purbaya,
  3. Pangeran Arya Tubagus Abdul Alim,
  4. Pangeran Arya Tubagus Ingayadadipura,
  5. Raden Sugiri,
  6. Tubagus Rajasuta,
  7. Tubagus Rajaputra,
  8. Tubagus Husen,
  9. Raden Mandaraka,
  10. Raden Saleh,
  11. Raden Rum,
  12. Raden Mesir,
  13. Raden Muhammad,
  14. Raden Muhsin,
  15. Tubagus Wetan,
  16. Tubagus Muhammad Athif,
  17. Tubagus Abdul,
  18. Tubagus Kulon,
  19. Arya Abdulalim,
  20. Ratu Raja Mirah,
  21. Ratu Ayu,
  22. Ratu Kidul,
  23. Ratu Marta,
  24. Ratu Adi,
  25. Ratu Umu,
  26. Ratu Hadijah,
  27. Ratu Habibah,
  28. Ratu Fatimah,
  29. Ratu Asyqoh,
  30. Ratu Nasibah.

Beberapa anak-anak dari Sultan Ageng Tirtayasa yang mencapai usia dewasa adalah Sultan Abu Nashar Abdulqahar dan Pangeran Arya Purbaya.

1.3 Wafat
Pada 1683 M, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjarakan di Batavia oleh pihak Belanda. Beliau meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-Raja Banten yang berada di sebelah utara Masjid Agung Banten, Banten Lama.

2. Perjalanan Hidup dan Dakwah

2.1 Menjadi Sultan Banten
Menurut hukum waris Kesultanan Banten, pengganti Sultan Abdul Mufakhir adalah Sultan Abu Al-Mu’ali. Namun, karena beliau meninggal mendahului ayahnya pada 1650 M, pemangku jabatan Kesultanan Banten secara otomatis beralih kepada Sultan Ageng Tirtayasa.

Sultan Ageng Tirtayasa lantas diangkat sebagai pemimpin Kesultanan Banten dengan gelar Sultan Abdul Fattah Muhammad Syifa Zainal Arifin atau Pangeran Ratu Ing Banten, sebagai sultan keenam.

Sultan Tirtayasa dilantik menjadi sultan pada 1651 M. Beliau menggantikan kakeknya yang meninggal pada tahun itu juga. Sosok yang seharusnya menjadi penggantinya adalah ayahnya. Namun, kekuasaan secara otomatis beralih kepadanya karena ayahnya lebih dulu meninggal daripada kakeknya.

2.2 Ahli Strategi Perang
Untuk memudahkan pengawasan terhadap daerah-daerah Banten yang tersebar luas, seperti Lampung, Solebar, Bengkulu, dan lainnya, diangkatlah penggawa-penggawa dan dalam waktu tertentu diharuskan datang ke Banten.

Mereka diperintahkan untuk berkumpul di Kediaman Mangkubumi di Kemuning yang berada di seberang sungai agar melaporkan keadaan daerah masing-masing. Biasanya, setelah itu para pejabat istana juga dibawa menghadap sultan di Istana Surosowan untuk menerima petunjuk dan pesan-pesan agar disampaikan kepada rakyat daerah masing-masing.

Demikian pula pengaturan dan pelatihan angkatan perang juga diserahkan kepada Mangkubumi dan Pangeran Madura yang diserahi tugas mengatur dan mengawasi prajurit Banten. Adapun senjata perang seperti senapan, meriam, keris, dan tombak sudah ada yang dapat dibuat sendiri, sedangkan senjata jenis lainnya dibeli dari Batavia dan wilayah lain.

Rumah senopati dan penggawa ditempatkan sedemikian rupa, supaya mereka dapat lebih cepat mengontrol keadaan prajuritnya. Hal inilah yang menyebabkan letaknya tidak terlalu jauh dari istana untuk mempermudah penyampaian instruksi dari sultan, apabila negara dalam keadaan darurat.

Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa Sultan Tirtayasa adalah seorang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Ini sudah dibuktikan sewaktu masih menjabat sebagai putra mahkota. Beliau yang mengatur gerilya terhadap kedudukan Belanda di Batavia.

2.3 Hubungan Diplomatik dengan Luar Negeri
Seperti juga kakeknya, Sultan Tirtayasa tidak melupakan hubungan diplomatik dengan Muttasharifat Hejaz yang mewakili Kekhalifahan Islam Turki Usmani. Hubungan diplomatik itu merupakan sebuah keharusan untuk memperkokoh kekuatan umat Islam dalam menentang segala macam ekspansi dunia Barat ke Timur Jauh.

Sultan Tirtayasa di sinilah mengadakan musyawarah antara beberapa pembesar kerajaan, seperti Pangeran Madura, Pangeran Mangunjaya, dan Mas Dipaningrat untuk menentukan sosok yang akan mewakili Banten pergi ke Timur Tengah.

Santri Betot akhirnya ditunjuk untuk pergi ke ibu kota Muttasharifat Hejaz, dengan rombongan sebanyak tujuh orang. Delegasi tersebut akan melaporkan pergantian sultan di Banten dan menceritakan mengenai kondisi kepulauan Nusantara, khususnya hubungan antara Kesultanan Banten dengan kekuasaan VOC.

Untuk memperdalam pengetahuan rakyat Banten tentang agama Islam, diminta pula Sharif Makkah agar mengirim guru agama ke Banten. Utusan Kesultanan Banten itu kembali dari Makkah dengan membawa sepucuk surat dan tiga orang utusan Syarif Makkah yang bernama Sayyid Ali, Sayyid Abdunnabi, dan Haji Salim. Melalui Syarif Makkah itulah, Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar Abdul Fattah.

Adapun Santri Betot yang membawa sejumlah besar hadiah dari Makkah kemudian diberi nama Haji Fattah, demikian juga tujuh orang yang mengiringinya turut diberikan penghargaan. Untuk lebih memantapkan pemerintahannya, Sultan Tirtayasa mengadakan pembaruan, antara lain mengurangi kekuasaan Dewan Agung, yang merupakan penasihat dari para sultan sebelumnya.

Semua keputusan pemerintah dilakukannya sendiri dan dibantu oleh para penasihat dekatnya saja. Pada 1674 M, untuk meningkatkan keamanan, beliau memerintahkan agar para anggota Dewan Agung dipindahkan ke Istana Surasowan yang berada di dekat pantai yang berada di Teluk Banten.

Jika dipandang dari sudut politik, upaya tersebut menunjukkan kesiapan dan kematangannya untuk tidak bergantung kepada siapa pun, termasuk kepada para petinggi negara. Tindakannya yang dilaksanakannya memperlihatkan pula bahwa Kesultanan Banten sudah mampu mandiri, yang tentunya karena ditunjang oleh masalah ekonomi.

Hubungan erat dengan wilayah lain juga dilakukannya, antara lain dengan Lampung, Selebar, Bengkulu, Cirebon, Karawang, Sumedang, dan Mataram. Selain untuk mempererat persahabatan juga menggalang pertahanan dan kekuatan dalam menghadapi Belanda, setidaknya mempersempit ruang gerak musuh jika terjadi peperangan.

Usaha lain yang dilakukakan untuk kemakmuran negerinya adalah membuat saluran antara Pontang dan Tanara agar dapat dilayari kapal dan dapat mengairi daerah sekitarnya hingga tumbuh menjadi daerah penghasil pangan bagi Banten. Hasil panen berlimpah dan disimpan di dalam rumah maupun gudang-gudang umum sebagai persediaan bahan perbekalan. Pada masa ini, Banten mampu mengeluarkan mata uang emas yang mengindikasikan menjadi negara yang makmur.

Pembangunan fisik di dalam kota tidak dilupakannya. Istana Surasowan diperkuat dengan menara pengawas di keempat sisinya, serta dilengkapi dengan 66 buah meriam yang diarahkan ke segenap penjuru. Selain itu, beliau juga membangun perkampungan dan perluasan lahan pertanian di kawasan perbatasan Banten dan Jayakarta. Selain sebagai pertahanan, tujuannya agar tersedia persediaan tenaga tempur jika terjadi peperangan dengan Belanda.

2.4 Perkembangan Kesultanan Banten
Keadaan Banten semenjak diperintah oleh Sultan Tirtayasa menjadi lebih baik, baik di bidang politik, sosial-budaya, terutama perekonomiannya. Dalam bidang perdagangan, Banten juga mengalami perkembangan yang pesat dan cukup mengancam kedudukan VOC yang bermarkas di Batavia.

Ketika menjadi raja, Sultan Ageng Tirtayasa telah melakukan beberapa strategi untuk memulihkan kembali Banten sebagai bandar perdagangan internasional. Beberapa strategi tersebut antara lain:

  1. Mengundang para pedagang dari Inggris, Prancis, Denmark, dan Portugis berdagang di Banten,
  2. Meluaskan interaksi dagang dengan bangsa Tiongkok, India, dan Persia,
  3. Mengirim beberapa kapal dengan maksud mengganggu pasukan VOC,
  4. Membuat saluran irigasi sepanjang sungai di ujung Jawa sampai Pontang yang ditujukan sebagai persiapan suplai perang dan pengairan sawah.

Sebagai seorang yang taat beragama, beliau sangat antipati terhadap Belanda. Penyerangan secara gerilya yang dilancarkannya melalui darat dan laut untuk mematahkan kubu pertahanan Belanda yang bermarkas di Batavia. Aksi penyerangan diarahkan kepada kapal-kapal dagang kompeni merupakan kendala yang sangat membahayakan bagi pihak Belanda.

Menjelang masa tuanya, Sultan Tirtayasa yang semula berkedudukan di Surasowan mendirikan istana di daerah Pontang dekat Tirtayasa, yang dimaksudkan sebagai tempat peristirahatan, serta sebagai benteng pengintaian terhadap kawasan Tangerang dan Batavia.

Semenjak itulah, beliau dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan juga membangun istana yang terbuat dari bata, bahan baku yang tahan lama dan aman dari risiko kebakaran dan gangguan lainnya.

Disebutkan pula bahwa Sultan Ageng Tirtayasa memiliki banyak barang-barang dari berbagai penjuru dunia, antara lain lemari kaca dari Jepang, cermin dan jam buatan Eropa. Barang mewah ini sudah menjadi bagian dari hidupnya, yang dimungkinkan karena pesatnya perdagangan yang berlangsung di Banten saat itu.

2.5 Berjuang Melawan Penjajah
Sultan Ageng Tirtayasa memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Pada masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Tirtayasa kemudian menolak perjanjian itu dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar di Nusantara.

Ketika situasi konflik semakin memanas, Sultan Ageng Tirtayasa menitahkan Sultan Haji menjadi orang yang mengurus masalah dalam negeri Banten pada 1671 M. Namun, terkait masalah dengan luar negeri menjadi urusan Sultan Ageng Tirtayasa sendiri.

Pengangkatan Sultan Haji ini membawa keuntungan bagi Belanda. Pihak Belanda kemudian ikut campur dengan cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Berkat dukungan dari Belanda, Sultan Haji justru merebut kekuasaan Banten dan menjadi raja di Istana Surosowan pada 1681 M.

Namun, sebagai imbal balik atas dukungan yang diberikan oleh Belanda, Sultan Haji harus menandatangani perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut antara lain:

Kesultanan Banten harus memberikan daerah Cirebon kepada VOC,
VOC mengambil alih monopoli lada di Banten;,
Pasukan Kesultanan Banten yang ada di Pantai Priangan harus ditarik mundur,
VOC meminta 600.000 ringgit jika Banten nantinya mengingkari perjanjian yang telah disebutkan.

Kelakuan Sultan Haji ini membuat rakyat Banten tidak mengakuinya sebagai pemimpin, bahkan mereka saat itu selalu ingin melakukan perlawanan terhadap Sultan Haji dan VOC.

Sultan Ageng Tirtayasa beserta rakyat yang mengikuti jalurnya berniat mengambil kembali Kesultanan Banten. Pada 1682 M, Sultan Haji mulai terdesak oleh serangan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dan Istana Surasowan pun dikepung.

Namun, VOC ternyata datang memberikan bantuan kepada Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint Martin. Pasukan Sultan Ageng pun dipukul mundur saat itu dan mereka dijadikan sebagai buronan. Beliau dan para pengikutnya kemudian melarikan diri ke Rangkasbitung dan melakukan perlawanan selama kurang lebih setahun lamanya.

3. Penghargaan
Atas jasa-jasanya yang diberikan kepada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970 M, tanggal 1 Agustus 1970 M.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga kemudian diabadikan menjadi nama salah satu perguruan tinggi negeri di Banten, yaitu Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Referensi
Fandy Aprianto Rohman, Biografi Sultan Ageng Tirtayasa, 2022

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya