“Nadoman Nurul Hikmah” : Pertemuan Islam dan Sunda

 
“Nadoman Nurul Hikmah” : Pertemuan Islam dan Sunda

Ka Alloh abdi nyalindung, tina panggodana setan.
Kalayan asma Nu Agung, Alloh Anu Welas Asih.

ALLOH ANU MAHA UNINGA (:2/1,2)

Alloh Nu Maha Uninga, kana sadaya dawuh-Na,
mungguhing urang manusa, wajib kedah percantenna.
Kana Qur’an ulah hamham, ulah waswas ragu-ragu,
upami urang mihamham, tangtos urang buntu laku.
Sadaya umat Pangeran, kedah kenging tuduh jalan,
nu mawi lumungsur Qur’an, pikeun tuduh jalan iman.
Tawisna nu takwa to’at, yakin ayana aherat,
solatna teh tara pegat, ku Alloh tangtos dirahmat.

SALAH satu penanda nuansa religius Islam dalam kehidupan masyarakat Sunda bisa dilacak dari jejak langkah kearifan lokal hasil proses akulturasi antara perpaduan nilai-nilai islami dan budaya Sunda yang telah diwariskan secara turun-temurun. Salah satunya genre puisi Sunda dalam bentuk nadoman.

Nadoman atau pupujian adalah cara masyarakat Sunda mengungkapkan perasaan dalam mengagungkan Tuhan, Nabi Muhammad SAW, atau mengandung pesan moral bagi kemaslahatan dan keselamatan umat. Kidung-kidung tersebut kerap kita dengar di langgar-langgar, di masjid-masjid, atau di mimbar-mimbar pengajian, dan dilantunkan menjelang waktu shalat tiba, atau untuk mengisi waktu senggang kala menunggu sang ajengan datang.

Adalah RH Hidayat Suryalaga (w 2010) yang tak kenal lelah mengeksplorasi kearifan lokal budaya Sunda, khususnya bidang sastra. Salah satu masterpiece nya yang dirampungkan dalam waktu 16 tahun adalah terjemahan ayat suci Al Quran ke dalam bentuk pupuh (puisi terikat), Nur Hidayah: Saritilawah Basa Sunda Al Quran Winangun Pupuh (1994).

Selanjutnya dengan dilatarbelakangi keprihatinan Beliau atas nadoman yang dilantunkan di mimbar-mimbar pengajian atau masjid-masjid di seantero Jawa Barat sedari dulu hanya itu-itu saja, seperti bait nadoman "éling-éling umat, muslimin-muslimat, hayu urang solat..." terciptalah karya Nadoman Nurul Hikmah. Bait-bait syairnya masih terinspirasi dari ayat-ayat al-Quran.

Berbeda dari karya sebelumnya, Nur Hidayah yang berangkat dari tradisi pupuh yang tunduk dalam aturan merangkai kata, Nadoman Nurul Hikmah diniatkan oleh penyairnya sebagai puisi bebas . Meskipun demikian, tetap terkesan muitis. Ajén purwakanti atau rima dan irama dalam kata per kata tetap terpelihara. Perbedaan lainnya, Nur Hidayah, dalam menembangkannya memerlukan kaparigelan / keahlian khusus layaknya yang dimiliki para penembang tembang Sunda Cianjuran. Sebab, dalam Nur Hidayah unsur pupuh begitu kuat. Sementara dalam Nurul Hikmah kemahiran dalam penguasaan pupuh tidak begitu menjadi soal. Sebab, dalam melantunkannya kita bebas melagukan sesuai yang kita kehendaki.

Nadoman Nurul Hikmah juga dibuat sang bujangga sebagai upaya memudahkan masyarakat Sunda dalam memahami kandungan Al Quran. Bukankah dalam memahami teks-teks Al Quran bisa dicapai dengan beragam cara ? Yang lebih penting, dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat luas.

Terciptanya Nadoman Nurul Hikmah semakin menandaskan wacana Sunda-Islam atau Islam-Sunda adalah benar adanya. Sebab, Nur Hidayah, juga nadoman Nurul Hikmah tercipta berdasarkan pertemuan Islam dan Sunda. Hal ini menandakan akulturasi timbal balik antara Islam dan Sunda masih tetap berlangsung. Keberadaan Nadoman Nurul Hikmah merupakan sebuah jawaban akan berkembangnya wacana arabisme-Islam yang masih terus dipersoalkan.

Membaca “Nurhidayahan” dan “Nadoman Nurul Hikmah”, apalagi kalau diiringi kecapi suling, alam bawah sadar kita seakan dibawa tidak dalam imajinasi “Islam Arab padang pasir”, tetapi justru ke lingkungan Pasundan yang rimbun dengan padang rumput dengan segala nuansa mistis-mitologisnya, dengan segala keramahannya.

Ternyata dengan pendekatan budaya, unsur keberislaman seseorang atau golongan itu bukan berarti mesti arabisasi. Hal ini menandakan bahwa urang Sunda terbuka pada aneka rupa budaya yang datang dari luar budayanya.

Sayang, hampir sama dengan Nur Hidayah, Nurul Hikmah masih miskin apresiasi. Tentu hal ini bukan berpangkal pada kandungan karya atau nilainya. Hal itu pun bukan tanggung jawab pembuatnya, melainkan lebih dari kurangnya kepedulian urang Sunda itu sendiri. (DNA)

Diolah dari berbagai sumber.