Pangeran Diponogoro: Konflik Internal dan Meletusnya Perang Jawa

 
Pangeran Diponogoro: Konflik Internal dan Meletusnya Perang Jawa
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pangeran Diponegoro adalah tokoh sejarah yang sangat terkenal di Indonesia. Pangeran yang berasal dari Kesultanan Yogyakarta ini menunjukkan perjuangan yang gigih dalam melawan VOC Belanda. Bermula dari konflik internal di lingkungan kesultanan Yogyakarta serta konflik dengan VOC Belanda, maka peperangan pangeran Diponegoro melawan Belanda menjadi meluas di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perang tersebut berubah menjadi Perang Sabil dengan tujuan melawan orang kopar atau kafir. Dalam penyebutan, pasukan musuh disebut sebagai orang kafir. Kadang-kadang juga menyebut sebagai Welanda atau Belanda. Hal tersebut dapat ditemukan pada kutipan tembang Mas Kumambang berikut.

Campuhing prang kapir kathah ingkang mati
Kapitannya pejah
Kelawan litnanireki
Kang kathah lumajeng samya
Lajeng katur kang sirah mring Sri Bupati
Malih kang winarna
Tumenggeng Mondhaling neki
Sakit tinulup Welanda Diponegoro

(Dalam peperangan melawan orang kafir, banyak yang mati banyak yang mati. Kapiten dan Letnannya juga, tetapi yang banyak melarikan diri.  Kepala lalu dihaturkan kepada sri bupati (Pangeran Diponegoro), cerita selanjutnya bahwa Tumenggung Mandala sakit terkena tulup oleh Belanda) 

Uraian di atas menunjukkan bahwa Pangeran Diponegoro menyebut pasukan Belanda sebagai pasukan kafir. Sementara yang tewas dalam peperangan tersebut disebut sebagai sabil. Artinya, orang yang meninggal dunia dalam perjuangan di jalan Allah. Konflik internal keraton telah berkembang menjadi perang agama. Hal ini sebenarnya bermula dari ketersinggungan Pangeran Diponegoro terhadap sikap Belanda dan Patih Danurejo. Salah satu peristiwa yang menjadikan Pangeran Diponegoro tersinggung adalah perjanjian lisan pada tanggal 1 Januari 1825 ketika kasunanan Surakarta dan kesultanan Yogyakarta mengadakan perjanjian dengan residen Belanda.

Dalam perjanjian itu, Sultan Yogyakarta yang masih anak-anak diwakili oleh Patih Jogjakarta. Sebagai wali Sultan, pangeran Diponegoro merasa tersinggung dengan peristiwa ini karena seharusnya dialah yang mewakili Sultan untuk mengadakan perjanjian dengan Belanda tersebut. Pangeran Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi kemudian menolak perjanjian tersebut. Pangeran Diponegoro berpendapat bahwa para wali sultan-lah yang berhak mewakili Sultan dan bukan Patih Danurejo. Penolakan tersebut dianggap oleh Belanda sebagai pemberontakan dari sinilah mulai terjadinya konflik antara Belanda dengan Pangeran Diponegoro dan para pendukung.

Kisah tentang Pangeran Diponegoro ini lalu memasuki tradisi tulis dalam bentuk Babad Tanah Jawi karangan Pangeran Diponegoro yang kemudian disebut sebagai Babad Diponegoro. Sebagaimana sebuah babad, maka bagian awal Babad Diponegoro menceritakan tentang asal-usul leluhur Pangeran Diponegoro. Dimulai dari Prabu Brawijaya di Majapahit akhir serta munculnya para wali dan menyebarnya agama Islam di Pulau Jawa, seperti Sunan Bonang, Sunan Makdum, Sunan Kalijaga (Syekh Malaya), Sunan Gunung Jati, Ki Agung Tarub yang dikenal dengan Jaka Tarub. Ada percampuran juga tradisi Islam, Hindu, dan Budha. Dalam budaya Jawa dikenal ajaran kejawen Sunan Kalijaga yang merupakan percampuran antara tradisi Islam dan Jawa, serta Hindu dan Budha. Ajaran ini tampaknya juga memengaruhi babad ini. Diponegoro memang masih menganut paham kejawen yang ditunjukan dengan laku tirakat seperti Panembahan Senopati dan tergambar dalam Serat Wedhatama.

Dalam ajaran ini orang harus menjalankan laku untuk mengendalikan dari hawa nafsu dengan cara mencegah “dhahar lawan guling” atau yang sering disebut mati raga atau “mengendalikan angkara murka, selalu bersyukur kepada Tuhan dan mendekat kepada Tuhan.  Pangeran Diponegoro kiranya juga memahami karya-karya tradisional dalam wayang dan mengidolakan Arjuna sebagai pahlawan perang yang sakti dan suka bertapa. Kalau melihat Pangeran Diponegoro ini masih kelihatan mengambil perilaku seperti Arjuna ketika melakukan tapa brata sehingga dapat mengalahkan musuh-musuhnya dan dikasihi para Dewa. Pangeran Diponegroro mungkin mengidentifikasi diri sebagaimana gambaran Arjuna oleh Empu Kanwa dalam Arjunawiwaha. Mpu Kanwa telah menghadirkan Arjuna sebagai seorang yogi (petapa), yang telah berhasil dalam tapanya. Arjuna adalah orang yang memiliki kelanggengan pikiran dalam memuja Siwa, sesuatu yang menjadi sebab mendapat anugerah Hyang Siwa. Arjuna memang seorang yogi yang paham betul makna pasu, pati dan pasa. Pasu tiada lain adalah manusia sendiri, pati adalah Hyang Siwa, sedangkan pasa adalah dunia maya yang mengikat manusia. Seorang yogi dapat membebaskan dirinya dari godaan dan ikatan pasa itu sendiri, hanya dengan demikian ia dapat bersatu dengan Hyang Siwa.

Identitas Pangeran Diponegoro sebagai orang Jawa mengikuti gambaran Arjuna ini, tetapi dalam prinsip hidup tetap berpegang pada agama Islam. Dalam Babad Diponegoro digambarkan bahwa Pangeran Diponegoro selalu dekat dengan Tuhan bagaikan yogi perjuangannya tidak mengenal rasa takut. Secara prinsip, Babab Diponegoro tidak jauh berbeda dengan Babad Tanah Jawi lainnya. Ciri cerita babad adalah berkaitan dengan cerita keraton seperti keraton Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajangan, Mataram, dan Kartasura. Kadangkala cerita dimulai dari cerita Nabi Adam dan berlanjut sampai dengan masa Kartasura tahun 1745 sehingga dapat diduga bahwa babad muncul pada sekitar akhir abad 17 sampai dengan awal abad ke 18. Babad kemungkinan dipengaruhi cerita wayang yang disebut kandha. Isi kandha adalah ringkasasn cerita wayang dan itu membentuk sejarah palsu (psedohistory) yang dipercaya terjadi di Jawa pada masa lalu.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa kondisi ekspresi psikis para pujangga memengaruhi beberapa versi penulisan Babad Tanah Jawi. Ngawula pada raja atau gustinya merupakan kewajiban para pujangga menurut pandangan keluarga keraton. Mengabdi pada raja memiliki arti mengabdi kepada Tuhan, hal tersebut sesuai dengan ideologi atau pandangan masyarakat Jawa bahwa di muka bumi ini raja adalah jelmaan Tuhan (pusat mikrokosmos). Maka dalam perspektif critical pedagogy sastra, Babad Tanah Jawi yang dibuat oleh pujangga istana adalah bentuk legitimasi serta dominasi kekuasaan raja. Dalam Babad Tanah Jawi, pemaparan budaya keraton dengan genealogi keluarga keraton yang penuh dengan kesakralan, cerita mitologi, dan magis menunjukkan sisi dominasi. Oleh karena itu, pengetahuan yang terdapat dalam Babad Tanah Jawi merupakan representasi dari legitimasi kekuasaan dan budaya keraton. Babad Tanah Jawi juga menunjukkan upaya pengembalian sistem kelas atau kasta sebelum adanya agama Islam dan imperiumisasi budaya.

Babad Diponegoro masih tentang keraton, khususnya dimulai keraton Demak. Babad ini sudah meninggalkan cerita tentang Majapahit, Pajajaran, dan cerita pewayangan. Namun dalam interpretasi beberapa peristiwa, tampak bahwa identitas diri Pangeran Diponegoro dimunculkan dengan mengubah beberapa bagian untuk menunjukkan superioritas orang Jawa sekaligus superioritas Pangeran Diponegoro. Bagian utama Babad Diponegoro adalah cerita tentang kehidupan Pangeran Diponegoro, khususnya dalam peperangan menghadapi Belanda. Terdapat juga kejadian pada saat Pangeran Diponegoro dan sekelompok pendukungnya merasa sakit hati atas perlakuan Belanda terhadap kesultanan Yogyakarta. Demikian juga dengan ketersinggungan lain, yakni ketika Belanda meninggalkan Pangeran Diponegoro begitu saja.  Konflik-konflik Belanda dan Pangeran Diponegoro meledak dengan adanya peristiwa pasang pathok atau pemasangan tiang pancang untuk membangun jalan. Belanda memerintahkan Patih Danurejo yang pro-Belanda untuk memasang tiang pancang sebagai tanda pembuatan jalan dan batas itu melintasi rumah Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Hal ini ini menjadi suatu berita yang sangat besar dan Pangeran Diponegoro serta para pengikutnya mengganti tiang pancang itu dengan tombak-tombak sebagai tanda perlawanan. 

Tersiarlah kabar bahwa Pangeran Diponegoro akan ditangkap oleh Belanda. Para pendukung Pangeran Diponegoro kemudian berkumpul di rumah Pangeran Diponegoro untuk menjaga Pangeran Diponegoro dari serangan Belanda tersebut. Terkumpullah 1500 orang yang siap untuk membela Pangeran Diponegoro bila sewaktu-waktu ditangkap oleh Belanda. Karena peristiwa makin genting, maka Residence Yogyakarta memanggil Pangeran Diponegoro untuk datang ke Loji atau benteng Belanda. Atas saran Pangeran Mangkubumi, undangan itu ditolak oleh Pangeran Diponegoro karena Pangeran Mangkubumi khawatir bahwa Pangeran Diponegoro ditangkap di tempat itu. Akhirnya, presiden mengirimkan pasukan untuk menangkap Pangeran Diponegoro ke Tegalrejo. Terjadilah suatu peperangan yang seru dan rumah Pangeran Diponegoro di Tegalrejo berhasil dibakar sementara Pangeran Diponegoro dan pasukannya kemudian melarikan diri ke Selarong.

Inilah permulaan awal Perang Diponegoro yang sangat terkenal dan menguras keuangan pemerintah Belanda itu. Peperangan melawan Belanda yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro ini kemudian meluas di Jawa Tengah dan Jawa Timur.  Tampaknya Perang Diponegoro ini sudah dipersiapkan dengan baik sejak awal mula sebagai bentuk kekecewaan Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya terhadap Belanda dan dan kesultanan. Setidaknya, selama 12 tahun, Pangeran Diponegoro telah melakukan persiapan untuk melakukan pemberontakan dengan pembuatan pabrik mesiu di desa Geger, Yogyakarta, Parakan, Gunung Kidul, dan Kembangarum. Pada pertengahan tahun 1825, prajurit Pangeran Diponegoro telah menyiapkan logistik dengan membeli padi secara besar-besaran.

Kisah Pangeran Diponegoro ini kemudian menjadi legenda rakyat sehingga tersebar di masyarakat karena memang jangkauan perang ini meliputi wilayah dari Pasuruan sampai dengan Tegal. Banyak tokoh atau pesantren dari rentang wilayah tersebut yang ikut terlibat. Perang Diponegoro memiliki ciri sebagai perang rakyat dengan berlandaskan kepada nilai-nilai jangan Islam dengan cita-cita menemukan Ratu Adil yang menguasai Pulau Jawa. Konsep Ratu Adil ini masuk sejak diterima ajaran Islam, namun konsep itu juga dilandaskan pada konsep-konsep Jawa yang dikembangkan oleh Sunan Kalijaga dengan istilah “adil paramarta” yang mengaplikasi konsep adil dengan ketokohan Yudhistira.

Perjuangan Pangeran Diponegoro yang pada awalnya berhasil menguasai wilayah Yogyakarta, makin lama makin surut dengan tertangkapnya atau gugurnya para prajurit pilihan yang sangat berperan dalam perjuangan itu. Akhirnya pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro menyetujui suatu perjanjian di Magelang dan ditangkap dalam perjanjian tersebut. Dengan penangkapan Pangeran Diponegoro dengan cara licik ini, maka berakhirlah peperangan tersebut. Dari sini kemudian berlanjutlah suatu tradisi baru berupa tradisi lisan. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 12 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
_________________

Editor: Kholaf Al Muntadar