Ini Kata Menag Tentang Naskah-Naskah Kuno di Nusantara

 
Ini Kata Menag Tentang Naskah-Naskah Kuno di Nusantara

LADUNI.ID, Jakarta - Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin menilai bahwa di era digitalisasi sekarang ini, memaknai naskah-naskah kuno dan atau manuskrip dalam kehidupan sangat memberi pelajaran penting.

“Dalam konteks sekarang, di era digitalisasi, dalam melihat manuskrip, naskah-naskah kuno memberi pelajaran penting bagi kehidupan,” kata Menag Lukman Hakim Saifuddin saat menjadi salah satu pembicara pada Seminar Internasional Penaskahan Nusantara dengan tema Nilai-nilai Luhur Keagamaan dalam Naskah Nusantara sebagai Acuan Kehidupan Beragama di Indonesia.

Seminar ini berlangsung di auditorium Perpustaan Nasional (Perpusnas) RI di Bilangan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (19/9/2018) sebagaimana diberitakan Kemenag.go.id.

“Memahami nilai luhur seperti apa?" Dijelaskan Menag Lukman, yang diperlukan saat ini adalah pemaknaan terhadap peninggalan masa lalu. Hal itu sangat tergantung wawasan pengetahuan dalam menerjemahkan dan menafsirkan masa lalu. “Untuk memaknai nilai-nilai luhur, setidaknya dua hal, pertama, mengkaitkan antara teks dan konteks, ini mutlak,” kata Menag.

Menag Lukman menjelaskan, kualitas menafsirkan, memberi penjelasanan terhadap teks tergantung wawasan pengetahuan seseorang. Bicara ilmu sejarah, filologi, sosiologi, antropologi, kesusastraan, untuk memahaminya tidak bisa dengan ilmu yang tunggal, namun saling berkaitan.

Selain itu yang kedua, lanjut Menag, terkait pemihakan seseorang. Sebab, masing-masing individu mempunyai kebebasan dalam menafsirkannya.

“Kita punya kebebasan menafsirkannya, tergantung teks dan konteksnya,” tambah Menag.

Seperti kisah ‘Wayang Beber’, cerita Menag Lukman, gambarnya hanya satu, namun bisa diceritakan dan begitu menggugah penontonnya, di mana orang bisa sedih, tertawa terbahak-bahak, bahkan orang-orang bisa hanyut dalam cerita dari gambar yang mati. Mungkin ini awal mula masyarakat Indonesia mengenal animasi.

“Ini artinya, kemampuan menerjemahkan, menafsirkan, dan mengkontekstualisasikan dengan situasai dan kondisi. Ini yang lebih penting,” kata Menag.

Menag Lukman juga berkisah, pernah mendapat pesan singkat dari Whats App (WA) dengan tulisan arab melayu (pegon), bagus banget, dan setelah membaca secara seksama ternyata isinya ‘lagu via vallen’ (red: sayang, opo koe krungu…).

Menag bahkan juga mencontohkan, sekedar contoh nilai luhur, dulu ketika masih Sekolah Dasar (SD), Ibunya berbeda pandangan dengan budenya, terkait adab ketika makan di meja makan, tidak boleh ngobrol. Itu normanya, itu nilai luhur yang harus diterapkan.

Pada zaman sekarang ini, justru hal itu tidak bisa  lagi diterapkan. Karena di meja makan itu tempat yang sangat mahal, dari sisi waktu dan kesempatan untuk berdialog dengan keluarga karena tidak ada kesempatan lain.

“Untuk memaknai hal ini, bisa positif, bisa juga negatif, itu tergantung cara kita menafsirkannya,” kata Menag. (Sumber: NU Online)