Biografi KH. Abdul Muchit Muzadi

 
Biografi KH. Abdul Muchit Muzadi
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi Biografi KH. Abdul Muchit Muzadi

1.         Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1       Lahir
1.2       Riwayat Keluarga
1.3       Wafat
2.         Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1       Masa Menuntut Ilmu
2.2       Guru-Guru
2.3       Mendirikan Lembaga Pendidikan
3.         Jasa, Karya, dan Karir
3.1       Ditunjuk menjadi Komandan Hizbullah
3.2       Karya-karya
3.3       Karier
4.         Teladan
4.1       Sikap yang Tawadhu
4.2       Pakar Khittah

 

1.   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

KH. Abdul Muchit Muzadi Lahir pada 19 Jumadil Awal 1344 H atau 4 Desember 1925 M di Bangilan, Tuban. Beliau adalah kakak kandung dari KH. Hasyim Muzadi. Terlahir sebagai salah satu putra Bpk. Muzadi dengan Ibu Rumyati. Ayahnya adalah seorang pedagang tembakau sukses yang sangat mencintai ulama. Berkah dari kecintaan itulah kelak anak-anaknya menjadi ulama besar yang dihormati masyarakat.

1.2 Riwayat Keluarga

KH. Muchit Muzadi menikah dengan Siti Farida. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai sembilan orang anak dan dua di antaranya sudah meninggal dunia. Beliau juga dikaruniai memiliki 19 cucu dan satu orang cicit. 

1.3 Wafat

KH. Abdul Muchit Muzadi wafat saat berusia 90 tahun, pada hari Minggu 6 September 2015, pukul 05.00 WIB, di Rumah Sakit Persada, Kota Malang, Jawa Timur. Jenazahnya dikebumikan di TPU Tegalboto, Jalan Kalimantan Jember

2.   Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Masa Menuntut Ilmu

KH. Abdul Muchit Muzadi belajar membaca Al-Qur’an kepada ibunya sendiri. Selain itu, sang ibu juga mengajarkan pelajaran lain yang bersifat dasar.

Untuk menambah wawasan keagamaan, beliau mengaji kitab-kitab kecil pada Kiyai Ridwan, Kyai terkemuka di kampung Bangilan, Tuban,  Pada usia 10 tahun, beliau belajar di pondok pesantren Kulon Banon, Kajen, Pati, asuhan KH. Nawawi (1935-1937). 

Beliau kemudian melanjutkan belajar di Madrasah Matholiul Falah, Kajen, asuhan KH. Mahfudh Salam (ayah KH. A. Sahal Mahfudh). Pada tahun 1937 beliau melanjutkan belajar di pesantren Tebuireng asuhan KH. Hasyim Asy’ari.  Di pesantren inilah, beliau bertemu berbagai santri yang kelak menjadi tokoh besar terkenal, di antaranya adalah KH. Ahmad Shiddiq.

2.2 Guru-Guru

  1. Nyai Rumyati (Ibunda KH. Abdul Muchit Muzadi)
  2. KH. Ridwan Bangilan, Tuban
  3. KH. Nawawi
  4. KH. Mahfudh Salam
  5. KH. Hasyim Asy’ari

2.3 Mendirikan Lembaga Pendidikan

Setelah selesai belajar di Tebuireng, beliau kembali ke kampung halamannya di Tuban dengan mendirikan Madrasah Salafiyah (1946). Walaupun sebagai guru, beliau juga ikut berjuang melawan penjajah dengan menjadi anggota Laskar.

Pada tahun 1952, Kyai Muchit mendirikan Sekolah Menengah Islam (SMI), selanjutnya pada tahun 1954 juga mendirikan Madrasah Muallimin Nahdlatul Ulama. Setelah enam tahun kemudian, beliau menjadi pegawai di IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta (1961). Dari Yogyakarta, beliau kemudian ditugaskan di IAIN Malang pada tahun 1963 dan di tahun itulah beliau merintis SMP NU. Begitu juga ketika menjadi Pembantu Dekan II di IAIN Sunan Ampel, Jember.

Penugasan ke IAIN Sunan Ampel Jember membuat beliau bertemu lagi dengan sahabat seperguruannya yang menjadi pengasuh pesantren di Jember, yaitu KH. Ahmad Shiddiq

Ketika sahabatnya menjadi Rais Aam Syuriyah PBNU, beliau membuat rumusan konseptual mengenai Aswaja, menuntaskan hubungan Islam dengan negara, dan mencari rumusan pembaruan pemikiran Islam, serta strategi pengembangan masyarakat NU. Dari sinilah kemudian beliau menjadi sekretaris pribadi KH. Ahmad Shiddiq.

3.   Jasa, Karya, dan Karir

3.1 Ditunjuk menjadi Komandan Hizbullah

KH. Abdul Muchit Muzadi pernah bergabung dengan Hizbullah ketika laskar itu mendirikan cabangnya di daerah Bangilan. Namun ketika itu, beliau tidak bisa mengikuti latihan perwira Hizbullah angkatan pertama di Cibarusa, karena tidak diizinkan orang tuanya. Akhirnya beliau bergabung dengan Hizbullah ketika para alumni pendidikan angkatan pertama itu membentuk Hizbullah di daerah masing-masing.

Kiyai Muchit bergabung ke dalam Hizbullah setelah setahun berada dalam Suisintai (Barisan Pemuda). Di Hizbullah ini, selain dilatih kemiliteran, beliau juga diberi bekal pendidikan kerohanian oleh para ulama.

KH. Abdul Muchit Muzadi, lantas ditunjuk sebagai Komandan Kompi Hizbullah, tatakala tiga bagian Hizbullah (Bangilan, Senori dan Singgahan) disederhanakan menjadi satu Kompi Bangilan. Sementara markas utama Batalyon masih tetap di Bojonegoro, dengan Komandan Batalyon Kapten H. Romli.

Dengan membawahi 60 orang anak buah, KH. Abdul Muchit Muzadi bermarkas di rumah Basyar, salah seorang pamannya. Setiap hari KH. Abdul Muchit Muzadi harus menjalani kehidupan dengan disiplin tentara. Setiap pagi berdinas di markas mengawasi anak buah. Usai Dzuhur, beliau pulang untuk mengajar di madrasah yang didirikannya bersama masyarakat. Ketika hari mulai beranjak malam, dengan menenteng pistol di pinggang beliau jalan-jalan ke stasiun untuk melihat situasi. Aktivitas ini sudah menjadi salah satu kebiasaannya.

KH. Abdul Muchit Muzadi pernah turut bergabung dengan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia), ketika masa-masa awal kemerdekaan tahun 1945. Beliau juga pernah bergabung dengan pasukan Mujahidin. Beberapa kali beliau sempat ikut bergerilya melawan penjajah Belanda di wilayah Teritorial Troep Komando Distrik Militer Tuban.

Ketika ada rasionalisasi Hizbullah ke dalam TNI, 1947, Kiyai Abdul Muchit tidak masuk ke dalamnya. Beliau beralasan karena merasa bahwa jiwanya memang bukan jiwa tentara.

Sebelumnya, beliau juga pernah masuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat), tapi hanya betah selama tiga hari. Setelah itu, beliau memilih pulang, karena merasa tidak mempunyai watak sebagai tentara.

Saya memilih kembali sebagai guru,” ujarnya saat itu.

3.2 Karya-karya

Selain aktif dalam pergerakan, pendidikan dan mengajar beliau juga aktif menulis untuk menuangkan buah pikirannya dalam berbagai lembaran. Menulis adalah pengabdian intelektual beliau untuk masa yang akan datang dan akan selalu terkenang sampai kapan pun. Berikut adalah beberapa karya buku karangan KH. Abdul Muchit Muzadi:

  1. Buku Risalah Fiqh Wanita diterbitkan oleh AlـMaarif Bandung (1979). Buku ini kemudian diterbitkan ulang oleh Khalista Surabaya, 2005-­2006.
  2. Buku NU dan Fiqh Kontekstual diterbitkan oleh LKPSM NU Yogyakarta (1994).
  3. Buku Pedoman bagi Kaum Muslimin Indonesia dalam Hidup Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara yang diterbitkan BP 7 Dati II Jember.
  4. Buku Apa dan Bagaimana NU diterbitkan oleh PCNU Jember dan diterbitkan ulang oleh Khalista Surabaya dengan judul NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran (2006-2007).
  5. Buku Mengenal Nahdlatul Ulama diterbitkan oleh Masjid Sunan Kalijaga pada cetakan pertama hingga ketiga. Kemudian untuk cetakan selanjutnya buku ini diterbitkan oleh Khalista Surabaya (2004).

3.3 Karier

  1. Sebagai anggota resmi NU pada tahun 1941 dan aktif kembali di dalam NU sejak tahun 1952, setelah NU memisahkan diri dari Masyumi
  2. Ketua Lajnah Pemilihan Umum NU Kabupaten Tuban pada pemilu 1955
  3. Wakil NU dalam berbagai jabatan seperti DPRD, panitia pemilihan daerah dsb sejak 1950-1961
  4. Sekretaris GP ANSOR Kota Yogyakarta tahun 1961- 1962
  5. Sekretaris GP ANSOR Cabang Malang
  6. Sekretaris Cabang NU Jember tahun 1976-1980
  7. Wakil Ketua Cabang NU Jember 1976-1980
  8. Pengurus LP Ma’arif NU Wilayah Jawa Timur/ Majelis Pembina Madrasah Aliyah 1980-1985
  9. Wakil Rais Syuriyah NU Wilayah Jawa Timur 1985-1990
  10. Rais Syuriyah PBNU 1989-2004 periode Cipasung dan Lirboyo
  11. Mustasyar PBNU 2004-2009 periode muktamar ke 31 Boyolali

4.  Teladan

4.1 Sikap yang Tawadhu

Walaupun sudah menjadi orang besar di kalangan kaum Nahdliyyin, tidak menjadikan KH. Abdul Muchit Muzadi menjadi pribadi yang suka menyendiri. Sikapnya yang low profile dalam bergaul menjadikan setiap orang yang bersama beliau tidak merasa rendah atau direndahkan.

Ketika diundang oleh mahasiswa di Jember sebagai pemateri dalam seminar tentang NU dan sejarah di dalamnya, beliau selalu hadir jika tidak ada halangan yang besar. Bahkan ketika sakit, dalam penyampaian materipun terkesan tidak menggurui. Beliau beranggapan bahwa mahasiswa merupakan calon pemimpin masa depan, maka sayang ketika mereka tidak tahu perjuangan para pejuang dan pahlawan terdahulu yang dimotori oleh para Kyai NU.

Dalam suatu kesempatan di Pondok Pesantren Langitan, Kyai Muchit pernah menegaskan bahwa beliau dipanggil Kyai bukan karena beliau Kyai, namun karena adiknya yang menjadi Kyai, yakni KH. Hasyim Muzadi yang menjadi Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang.

Mosok adiknya dipanggil Kyai kok kakaknya nggak, kan kasian” (Masak adiknya dipanggil kiai, sedang kakaknya nggak, kan kasihan) canda KH. Abdul Muchit Muzadi dengan senyuman khasnya.

Dalam perjalanan perjuangannya, beliau terkenal sebagai sosok yang tawadhu dan sederhana. Sering kali ketika Kyai Muchit ditunjuk untuk menjadi pemimpin, beliau menolak dan mengajukan aktivis lain yang lebih muda, dengan alasan bahwa yang mudalah yang harus lebih banyak berkiprah.

4.2  Pakar Khittah

Selain dikenal sebagai ulama yang cerdas dan tawadhu, pribadi yang tegas dan sederhana dalam kesehariannya, KH. Abdul Muchit Muzadi juga dikenal sebagai sesepuh Nahdliyyin yang pemikirannya banyak menginspirasi pergerakan perubahan dalam NU, terutama dalam hubungan NU dengan kaum Nahdliyyin dan kenegaraan. Salah satunya adalah perumusan NU untuk kembali ke Khittah.

Keterlibatan beliau dalam perumusan konsep kembalinya NU ke Khittah sangat besar. KH. Abdul Muchit Muzadi diangkat Kyai Achmad Shiddiq (Rais Aam Syuriyah PBNU 1984-1989) sebagai sekretaris sekaligus penasihat pribadinya. Beliau menulis dan menyusun dengan rapi seluruh konsep dari Kyai Achmad dengan usaha keras selama dua bulan penuh. Buku rumusan yang fenomenal itupun tersusun dan menjadi Khittah Nahdliyyah dan prinsip hubungan NU dengan politik, serta penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal Negara, sehingga menjadikan kembalinya NU ke Khittah dan meninggalkan dunia politik praktis.

Perjalanan KH. Abdul Muchit Muzadi bersama KH. Achmad Siddiq dalam pengembangan NU membutuhkan pemikiran kreatif dan tepat sasaran. Terutama dalam mengimbangi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum PBNU kala itu. Banyak pemikiran Gus Dur yang "nyeleneh" dan kurang bisa dinalar oleh akal sehat. Namun ketika dipikirkan secara mendalam, ternyata mempunyai arti yang sangat besar. Akhirnya, KH. Achmad Siddiq dibantu dengan pemikiran kreatif KH. Abdul Muchit Muzadi saling berkolaborasi dan saling mewarnai gagasan pembaharuan itu dengan solusi dan jalan keluar yang mudah dipahami, hingga dalam kurun waktu yang relatif singkat NU bisa menjadi organisasi yang maju dan berperan besar, baik dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan, termasuk kenegaraan.

5. Sumber

  1. www. nu.or.id
  2. www.republika.id
  3. www. merdeka.com
 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya