Tgk. Kuta Karang Sosok Ahli  Astronomi dan Pertanian Terkenal

 
Tgk. Kuta Karang Sosok Ahli  Astronomi dan Pertanian Terkenal

 

LADUNI.ID, SEJARAH- Lembaran sejarah menunjukkan bahwa  dayah-dayah pada masa ini tidak hanya mendidik para murid mereka dalam masalah agama –dalam wilayah yang terbatas-, tetapi juga menyediakan tawaran ilmu pengetahuan lainnya yang dapat menjadikan seseorang mampu mengatur Negara dalam berbagai kapasitas.

Namun demikian, ada juga sumber yang menunjukkan kepada kita beberapa petunjuk tentang subjek-subjek yang diajarkan di Dayah pada waktu itu. Seperti ketika Sultan Husein (1717-1579), sarjana Mekkah dari  Mesir  yang  bernama  Syekh  Muhammad  Azhari  mengajar metafisika  Pada masa Sultan Mansur Shah (1579-1585), seorang sarjana terkenal, Abu al-Kahar Ibn Syekh Ibn Hajar, pengarang S}arf al-Qat}i‟ juga datang ke Aceh mengajar hukum Islam di dayah. Pada waktu bersamaan,

Syekh  Yamami  mengajar  teologi  dan  Muhammad  Jailani  Ibn  Hasan Hamid mengajar logika (mantiq) dan al-Us}u>l Fiqh di Aceh.28 Lebih lanjut, A. Hasjmy mengatakan bahwa pada masa Iskandar Muda memimpin Kerajaan Islam Aceh (1607-1636), terdapat 44 syekh yang mengajar berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, politik, sejarah, kesehatan, dan pertanian, sebagai tambahan dari ilmu agama. 

Iskandar Muda sendiri mendapat pelajaran militer ketika ia masih muda. Menurut Baihaqi, bermacam pengetahuan agama dan umum telah diajarkan di dayah sebelum masa Perang Belanda-Aceh, termasuk di dalamnya astronomi, kesehatan dan pertanian.

Pendapatnya didukung berdasarkan pada kenyataan bahwa Tgk. Kuta Karang menulis kitab yang berjudul Taj al-Mulk yang berhubungan dengan astronomi dan pertanian. Buku tersebut dicetak di Kairo dan Mekkah pada tahun 1893, terdiri dari cara-cara menghitung waktu yang cocok dalam musim, ramalan-ramalan cuaca, pengobatan dan metode menandai waktu.

Perang Belanda-Aceh membawa petaka bagi sejumlah dayah. Dalam banyak kasus, dayah-dayah tersebut hangus dibakar atau staf pengajarnya banyak terbunuh di medan peperangan. Seluruh perpustakaan dihancurkan, dan jika tersisa buku yang mendukung ilmu pengetahuan  umum  seperti  astronomi  dan  lain  sebagainya,  tidak  ada ulama  yang  capable  yang  mengajari  mereka.

 Meskipun  para  ulama membangun   kembali   dayah-dayah   di   masa   pendudukan   Belanda, aktivitas dan sumber daya mereka sudah serba terbatas. Beberapa dayah yang dibangun, terletak jauh dari daerah pengawasan Belanda.

Akhirnya, dayah-dayah tersebut terisolasi dan jarang berhubungan dengan para ilmuwan. Cakupan materi yang diajarkan dibatasi hanya pada materi agama saja, seperti fiqh, tauhid, dan tasawuf, yang merupakan bagian dari ajaran Islam.

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Penggiat Literasi Asal Dayah