Pembaharuan Dayah di Aceh
LADUNI.ID, SEJARAH- Pada tahun 1930-an, beberapa ulama di dayah-dayah dipengaruhi oleh gagasan para pembaharu khususnya ide-ide tentang sistem pendidikan. Ini dapat dilihat dari keputusan mereka untuk mengganti dari nama dayah ke madrasah.
Beberapa madrasah yang dibangun pada waktu itu, diharapkan dapat mengatur kurikulum dan metode mengajar untuk disesuaikan dengan perubahan kebutuhan masyarakat khususnya dalam merespon ilmu pengetahuan modern. Kendati demikian, pengaturan tersebut tidak seperti yang diharapkan, karena atmosfir politik di Aceh ketika itu tidak stabil dan tidak semua ulama sepakat dengan beberapa pengaturan tersebut.
Pemimpin Aceh dan ulama sering terlibat dalam kegiatan politik, seperti mengusir keluar Belanda dan Jepang dari Aceh. Dalam tiga tahun pertama setelah kemerdekaan Indonesia (1945-1948) para pemimpin dan ulama Aceh juga terlibat dalam mobilisasi massa untuk mempertahankan tanah air mereka dari pendudukan kembali oleh Belanda.
Demikian juga, ketika masa-masa awal kemerdekaan, seluruh madrasah diserahkan di bawah kontrol Negara, sementara dayah tetap di bawah kontrol para ulama. Sejak saat itu, meski dayah dan madrasah tetap eksis di Aceh, tetapi mereka berjalan secara terpisah.
Sementara, para pemimpin Aceh menata kembali struktur politik mereka yang sebelumnya tidak stabil, satu perselisihan yang tidak diperkirakan terjadi antara pemerintahan pusat (Jakarta) dan Aceh (pemerintahan daerah). Perselisihan ini menyebabkan Aceh memberontak terhadap pemerintah pusat pada tahun 1953, satu situasi yang tidak menguntungkan yang terjadi hampir 9 tahun.
Pada waktu itu, pemerintah maupun rakyat tidak mencapai suatu kemajuan yang berarti , karena keadaan yang tidak kondusif untuk melaksanakan kegiatan pembangunan. Kegiatan dayah-dayah berjalan seperti masa-masa sebelumnya.
Oleh karena itu, sampai sekarang, dayah memfokuskan pada materi-materi Islam yang tradisional saja, seperti teologi, fiqh, dan tasawuf. Bahasa Arab diajarkan sebagai alat untuk memahami teks-teks kitab yang diajarkan di dayah. Seluruh subjek diajarkan didasarkan pada karya-karya besar ulama madzhab Syafi‟i yang ditulis dalam bahasa Arab klasik.
Metode mengajar di dayah pada dasarnya dengan oral dan metode hafalan. Guru dan muridnya biasanya duduk dalam sebuah lingkaran (balaqah), tetapi sejak 1960-an kebanyakan dari mereka menggunakan ruang kelas seperti sekolah umum, yaitu murid-muridnya duduk di atas kursi.
Guru menerangkan teks-teks agama kepada murid- murid yang duduk di sekitar atau di depannya, mendengarkan diskusi dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Metode lain adalah para murid datang satu per satu kepada seorang guru dengan copy teks (Kurah) yang sedang mereka pelajari, kemudian guru membaca teks, memberikan komentar dan catatan dalam bacaannya tersebut, kemudian meminta murid untuk membaca kembali teks yang telah ia bacakan.
***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Penggiat Literasi Asal Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga
Sumber: Nuraini, Potret Islam Tradisional “Dayah Dan Ulama Di Aceh Abad Ke-20” Dalam Perspektif Sejarah, 2014
Kunjungi Juga
- Pasarkan Produk Anda dengan Membuka Toko di Marketplace Laduni.ID
- Profil Pesantren Terlengkap
- Cari Info Sekolah Islam?
- Mau Berdonasi ke Lembaga Non Formal?
- Siap Berangkat Ziarah? Simak Kumpulan Info Lokasi Ziarah ini
- Mencari Profil Ulama Panutan Anda?
- Kumpulan Tuntunan Ibadah Terlengkap
- Simak Artikel Keagamaan dan Artikel Umum Lainnya
- Ingin Mempelajari Nahdlatul Ulama? Silakan
- Pahami Islam Nusantara
- Kisah-kisah Hikmah Terbaik
- Lebih Bersemangat dengan Membaca Artikel Motivasi
- Simak Konsultasi Psikologi dan Keluarga
- Simak Kabar Santri Goes to Papua
Memuat Komentar ...