Ternyata Islam Nusantara Bukan Anti Arab, Ini Penjelasannya

 
Ternyata Islam Nusantara Bukan Anti Arab, Ini Penjelasannya

LADUNI.ID, Jakarta - Sudah terlalu sering dijawab oleh banyak orang tentang apakah Islam Nusantara itu anti Arab atau tidak. Tapi karena masih ada yang bertanya, barangkali dengan artikel ini bisa terjawab.

Sebagai seorang muslim atau penganut agama  Islam, sudah pasti harus berpedoman pada al-Qur'an dan al-Hadits. Kedua sumber Islam ini berbahasa Arab. Tidak mungkin seorang muslim bisa membaca dan memahami al-Qur'an dan al-Hadits dengan baik tanpa mahir bahasa Arab.

Jika Anda belajar di Pondok Pesantren, sebuah lembaga pengusung Islam Nusantara, pertama yang diajarkan adalah bahasa Arab. Mulai dari cara menulis Arab yang benar (khath, imla'), melafalkan al-Qur'an sesuai dengan tajwid dan makharijul huruf, hingga belajar gramatika Arab (nahwu), morfologi Arab (sharaf), semantika Arab (balaghah), leksikologi Arab (mu'jamiyat), bahkan juga sastra Arab (badi', bayan, ma'ani, qawafi, 'arudl, dan lain-lain).

Pada kitab-kitab kuning berbahasa Arab tentang ilmu-ilmu bahasa Arab ini, jika belajarnya dari dasar, tidak habis dipelajari dalam waktu 5 tahun.

Pada saat yang sama, para santri juga belajar ilmu-ilmu keislaman, yang semua sumber belajarnya berbahasa Arab. Bidang kajiannya beragam. Ada ilmu fiqh (hukum Islam), ilmu ushul fiqh (metodologi hukum Islam), ilmu qawa'id fiqhiyah (prinsip-prinsip yurisprudensi),  tafsir al-Qur'an, Hadits dan syarahnya, 'ulumul Qur'an, 'ulumul Hadits, tarikh (sejarah), ilmu falak, dan lain-lain. Sekali lagi, semua sumber ilmu ini juga berbahasa Arab.

Ketika Anda cermati pula, sebagian besar nama-nama kyai dan santri pengusung Islam Nusantara beserta keluarganya juga menggunakan nama Arab. Tulisan mereka di Pesantren juga menggunakan bahasa Arab atau Arab pegon. Bahkan, nyanyian nasionalisme Indonesia yang sekarang ini marak didengungkan setiap ceremoni juga berbahasa Arab. Yakni, mars Yalal Wathon.

Sampai sini, terang benderang bahwa Islam Nusantara tidak anti Arab. Malah, mereka ahli berbahasa Arab, baik dalam tulisan maupun ucapan.

Adalah persepsi yang salah bahwa Islam Nusantara anti Arab dan alergi dengan Arab. Pun fitnah yang keji, sebagaimana video yang diviralkan, menuduh bahwa sholat muslim Nusantara menggunakan bahasa non-Arab. Jangankan ibadah sholat yang jelas disyariatkan, doa, sholawatan, bahkan lagu nasionalisme Indonesia juga berbahasa Arab.

Nah, meski muslim Nusantara mencintai bahasa Arab, tapi tidak Arabis. Bukan penganut Arabisme. Di sini bedanya.

Muslim Nusantara menguasai bahasa Arab digunakan sebagai sarana ibadah, alat untuk memahami al-Qur'an, al-Hadits, dan pendapat para ulama di masa lampau yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab. Selebihnya, digunakan untuk alat komunikasi dan pengantar studi yang membutuhkan bahasa Arab.

Dalam implementasi dan amaliyah budaya, Islam Nusantara sepenuhnya menggunakan nalar dan praktik kebudayaan Nusantara. Lebih spesifik kebudayaan Indonesia. Bukan kebudayaan Arab. Kami tidak Arabis dan bukan penganut Arabisme.

Bahasa sehari-hari kami menggunakan bahasa Indonesia. Cara berpakaian, berperilaku, dan bermu'amalah, semuanya menggunakan kebudayaan yang berlaku di Indonesia. Termasuk dalam berbangsa dan bernegara, kami mengikuti kesepakatan nasional (ijma' wathoniy) yang sudah lazim. Yakni berideologi Pancasila, berkonstitusi UUD 1945, berprinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI bentuk final (harga mati, tidak bisa ditawar-tawar lagi).

Namanya saja Islam Nusantara, maka aqidahnya jelas Islam, berpedoman pada al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas. Tapi dasar kebangsaan kami adalah Pancasila dan UUD 1945. Praktik kebudayaannya adalah kebudayaan yang berlaku dan berkembang di Indonesia. 

Di sini memang dibutuhkan kecerdasan nalar untuk memilah mana ajaran Islam dan mana kebudayaan Arab. Sebagai ajaran Islam, tentu wajib diikuti dan diamalkan oleh setiap muslim. Tapi sebagai kebudayaan, tentu tidak harus diikuti dan tidak boleh dipaksakan untuk diterapkan. Karena Indonesia punya lanskap kebudayaannya sendiri, yakni kebudayaan Nusantara. Di sini ada budaya Jawa, budaya Sunda, budaya Minang, budaya Aceh, budaya Makassar, budaya Batak, budaya Sasak, budaya Papua, dan sebagainya.

Dengan penjelasan ini, tampak jelas bahwa Islam Nusantara bisa memilah dan sekaligus mendamaikan antara aqidah, kebangsaan, dan kebudayaan. Atau, antara keislaman dan keindonesiaan dalam satu nafas kehidupan.

Bangsa Arab pun tidak berkepentingan bahwa menjadi muslim harus berbudaya Arab. Mereka memahami, nama agama dan mana budaya. Sebagai kebudayaan Arab, bangsa Arab pun tentu tidak akan memaksakan untuk diikuti. Mereka tidak akan memaksakan kita harus menjadi Arabis, atau penganut Arabisme.

Atas pemahaman ini, maka Islam Nusantara tetap berhubungan baik dan bekerjasama dengan negara manapun, termasuk negara-negara Arab. Banyak sekali anak-anak muslim Nusantara belajar bertahun-tahun di negara-negara Arab. Mereka mahir bahasa Arab, menguasai ilmu-ilmu keislaman secara mendalam, tapi tetap berkebudayaan Nusantara.

ITULAH ISLAM NUSANTARA.

Islam yang selama ini kita praktikkan di Indonesia.

Semoga dengan penjelasan singkat ini bisa memberikan jawaban atas kegalauan mereka tentang anti Arab.