Menyimak Pandangan Habib Umar tentang Ulama yang Terjun dalam Politik Praktis

 
Menyimak Pandangan Habib Umar tentang Ulama yang Terjun dalam Politik Praktis
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - "Mari beralih dari hal-hal yang bersifat kulit menuji pokok-pokok yang merupakan substansi."

Kutipan tersebut saya nukil dari ceramah Habib Umar bin Hafidz dalam dialog terbatas bersama 30 tokoh nasional, di sebuah hotel di Pancoran. Pernyataan tersebut beliau sampaikan ketika menjawab pertanyaan TGB. Zainul Majdi tentang perspektif agama terhadap kebangsaan (muwatanah).

Kata Habib Umar, jika yang dimaksud dengan kebangsaan adalah rasa aman, keadilan, dan penghargaan terhadap sesama, maka itu adalah Islam, apa pun istilah yang digunakan. Kaum Muslimin harus menjaga hak-hak Nonmuslim ketika minoritas, apalagi ketika kaum Muslimin menjadi mayoritas.

Prof. Dr. Quraish Shihab yang juga hadir di forum tersebut menambahkan satu kata tentang kebangsaan, yaitu musawah (persamaan hak) antar semua warga negara.

Dalam pertemuan yang berlangsung kurang lebih tiga jam tersebut, Habib Umar menyampaikan pandangan-pandangannya tentang problematika umat Islam kontemporer. Beberapa hal yang masih saya ingat di antaranya adalah, bahwa Islam amat menghormati semua makhluk, hewan sekalipun, apalagi manusia. Menyakiti hewan saja berarti sudah melanggar salah satu prinsip ajaran Nabi, lalu bagaimana dengan menyakiti manusia?!

Beliau kemudian menceritakan fragmen-fragmen sejarah Nabi, misalnya bagaimana Nabi memberikan hidangan yang sangat layak kepada para tawanan-tawanannya, lebih dari yang beliau makan. Hal yang tidak kita jumpai bahkan di zaman ini yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kenapa bisa demikian? Karena Nabi melakukan semuanya dengan penuh kasih sayang.

Beliau juga mengingatkan bahaya kejahatan dan kegaduhan yang mungkin motivasinya adalah agama, termasuk dalam politik. Beliau menyatakan pasti ada yang salah dari sanad keilmuan orang-orang yang berlaku demikian, yang juga mempunyai salah persepsi tentang politik. Karena pada dasarnya politik adalah untuk tertibnya kehidupan masyarakat dan alat mencapai tujuan-tujuan bersama. Celakanya, politik dalam kenyataannya banyak dipraktekkan hanya untuk meraih kekuasaan. Dengan kata lain sering kali yang terjadi adalah menjadikan kekuasaan dalam politik untuk tujuan utama, bukan perantara.

Habib Umar mengatakan tidak mengharamkan ulama berpolitik, namun semua harus bekerja sesuai kapasitas dan kompetensinya. Ulama bisa berperan tanpa harus berpolitik praktis, tanpa harus menjadi milik kelompok tertentu. Ulama harus menjadi penghubung antara umat Islam dan ajaran-ajaran Rasulullah. Ulama harus menjadi duta moral-akhlak Islam. Karena itu, jika ada ulama berpolitik praktis kemudian berdusta, mencela, apalagi berkata kasar, itu berarti dia sudah keluar dari garis-garis keilmuan atau keulamaannya. Dengan kata lain, politik ulama adalah mengayomi.

Beliau menegaskan bahwa itu semua bisa tewujud jika masing-masing melakukannya dengan ikhlas dan atas pondasi kemaslahatan, bukan kepentingan tertentu. Sedangkan, tentang bahaya ujaran-ujaran tercela, Habib Umar mengutip suatu Hadis yang menyatakan bahwa, “Pada zaman fitnah, sebuah kalimat bisa lebih tajam daripada pedang.”

Beliau mengajak ulama untuk kembali kepada amanah ilmiah. Meneladani Imam Malik yang berilmu tanpa hawa nafsu dan tanpa memaksa, contoh saja beliau mau mempertahankan keberagaman dengan menolak menjadikan Kitab Muwattha' sebagai satu-satunya rujukan hukum negara, ketika diinisiasi oleh seorang khalifah.

Dalam penutupnya, menanggapi sebuah pertanyaan Prof. Jimly Assidiqi, Habib Umar bin Hafidz sempat bercerita tentang peristiwa enam puluh tahun lalu, ketika ada seseorang dari Hadhramaut yang hidup di Jakarta akan kembali ke negaranya. Ketika itu para tetangganya menangis, dan yang terlihat amat keras tangisannya justru adalah tetangga yang merupakan etinis Tionghoa dan Nonmuslim. Lalu ditanyalah orang tersebut, "kenapa Anda begitu sedih kehilangan seorang Hadhramaut itu." Lalu dijawab, “Ya selama 20 tahun saya berinteraksi dengannya, saya melihat pada dirinya akhlak, tidak pernah mengganggu kehidupan saya, dengan mengintip sekali pun, saya jatuh hati dengan akhlaknya, saya mempercayainya lebih dari saudara-saudara saya sendiri!” La Haula wa la Quwwata illa Billah[]


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 08 Oktober 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: M. Najih Arromadloni

Editor: Hakim