Ingin Bahagia? Carilah Kebaikan, Bukan Keburukannya

 
Ingin Bahagia? Carilah Kebaikan, Bukan Keburukannya

Suatu ketika, seorang pria sowan kepada Buya Hamka. Dengan sinis, dia bercerita. “Sungguh saya tidak menyangka, Buya, ternyata di Makkah itu ada pelacur, lho. Kok bisa ya Buya?"

“Oh ya?,” sahut Buya Hamka. “Saya baru saja dari  Los Angeles dan New York, dan masyaAllah, ternyata di sana tidak ada pelacur.”

Ah, mustahil, Buya! Di Makkah saja ada kok. Pasti di Amerika jauh lebih banyak lagi!,” sanggah pria itu.

“Kita memang hanya akan dipertemukan, dengan apa-apa yang kita cari.” tukas Buya dengan senyumnya yang meneduhkan.

Dari jawaban Buya Hamka, saya jadi ingat cara pandang kita terhadap sebuah peristiwa. Kalau mau mencari yang jelek-jelek, niscaya kita bakal menemukannya. Demikian pula sebaliknya.

Soal bencana juga sama. Kalau kita terlampau banyak suudzon dan pikiran dijejali sangkaan kotor, niscaya bakal mencari kejelekannya. Misalnya, Aceh, Jogja, Lombok dan Palu banyak kemaksiatan, maka Allah menimpakan bencana kepada penduduknya. Nah, kalau di hati kita menempel banyak kotoran, niscaya menghalangi kejernihan dalam memandang peristiwa yang menimpa saudara-saudara kita. Padahal, jika mau berpikir jernih, ada faktor alam, dan tentunya sudah atas izin Allah. Soal para korban, dalam sabda beliau, Rasulullah menyebut mereka yang wafat tertimpa bangunan masuk dalam kategori mati syahid.

Syuhadaa (orang-orang yang mati syahid) itu ada lima, “orang mati karena terkena penyakit tha’un (lepra), orang yang meninggal karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang tertimpa bangunan rumah atau tembok; dan orang yang gugur di jalan Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Semua tergantung cara pandang kita. Tergantung pada, sebagaimana yang dikatakan Buya Hamka, apa yang kita cari. Kalau mencari sisi jelek Indonesia, banyak. Mau mencari kelebihan untuk menambah rasa syukur juga tidak sedikit.

Ada juga yang masuk ke NU, dia ingin memperbaiki NU. Namun, yang dia temui hanyalah masalah, masalah, dan masalah. Tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan. Akhirnya frustrasi. Padahal, kalau mau mengubah mindset "apa yang kau cari?", niscaya dia bakal menemukan banyak kebaikan. Menemukan mashahat, bukan masalah. Bertemu banyak kawan, bukan lawan. Mendapat suka, bukan duka. Belajar tentang makna loyalitas, bukan rivalitas, dan seterusnya. Kata "NU" ini silahkan diganti dengan nama lembaga, perusahaan, tim, dan seterusnya.

Sekali lagi, langkah dan kebahagiaan seseorang kadangkala ditentukan dari konsep "apa yang dia cari?"

(Artikel ini ditulis oleh Rizal MZ)