Hizbut Tahrir (Eps. 1)

 
Hizbut Tahrir (Eps. 1)

LADUNI.ID, Kolom -- 

Mengaku kecewa de­ngan Ikh­wa­nul Mus­li­min yang dituding terlalu mo­de­rat dan terlalu akomodatif terhadap Barat, Taqiuddin al-Nabhani mendi­rikan Hizbut Tahrir pada tahun 1952 di Jerusalem Timur yang dikuasai Yordania. 

Menurut al-Nabhani, umat Islam ketika itu su­dah dicemari pemikiran dan emosi kapitalisme, so­sialis­me, nasionalisme dan sektarianisme. Karena itu dia berambisi mendi­rikan Khi­la­fah Is­la­mi­yah in­ter­na­sio­nal yang akan diawali dari teritori Arab dan kemudian teritori Islam non-Arab. 

Setelah al-Nabhani wafat pada tahun 1977, Hizbut Tahrir dipimpin oleh Abu Yusuf Abdul Qadim Zallum yang wafat pada tahun 2003 dan kemudian digantikan oleh Ata Ibn Khaleel Abu Rashta.

Radikalisme dan sikap agresif Hizbut Tahrir te­rus meningkat sejak pendi­riannya hingga dewasa ini, karena itu Hizbut Tahrir dilarang di ke­banyak­an ne­ga­ra Islam di seluruh dunia, dan pusat ge­rak­an internasionalnya sekarang berada di Inggris.

Hizbut Tahrir mengklaim bah­wa ga­gas­an-ga­gas­an yang me­re­ka perjuangkan adalah murni Islam. Klaim ini tidak bisa dipisahkan dari situasi pada masa pendi­rian dan formatifnya di Timur Tengah serta penolakan sepenuhnya terhadap apa pun yang berasal dari atau berkaitan de­ngan Barat.

Padahal, menurut Ed Husain (seorang mantan pemimpin Hizbut Tahrir di Inggris), di samping pe­nga­ruh al-Mawardi, pemikiran al-Nabhani jelas dipe­nga­ruhi oleh Hegel, Rousseau dan tokoh-tokoh Eropa lainnya. Bahkan, pemikiran politik al-Nabhani dan de­ngan demikian Hizbut Tahrir sepenuhnya berasal dari pemikiran politik Eropa. Ha­nya saja, al-Nabhani mengganti term-term yang berasal dari Barat de­ngan term-term berbahasa Arab se­hing­ga bernuansa Islam.

Para tokoh Hizbut Tahrir melihat umat Islam dewasa ini berada dalam masa jahiliyyah se­ba­gai akibat runtuhnya khi­la­fah. Me­reka bisa mengatasinya de­ngan mengakhiri ‘ketundukan’ pada Barat, memperoleh kembali iden­titas kolektifnya, dan yang terpenting mene­gak­kan kembali khi­la­fah in­ter­na­sio­nal dan di dalamnya hukum Islam akan diberlakukan se­ba­gai hukum positif.

Dalam kaitan ini, Hizbut Tahrir meyakini bah­wa ha­nya khalifah yang berhak memutuskan perang, karena itu hingga saat ini me­re­ka menjalankan strategi penyu­su­pan dan menunda cara-cara militer dan kekerasan dalam meraih kekuasaan, sampai me­re­ka yakin akan menang dan berhasil dalam merebut kekuasaan un­tuk mendi­rikan khi­la­fah mere­ka.(Bersambung)

Sumber buku Ilusi Negara Islam.

Syarif Cakhyono
Ketua LTN NU Jakarta Timur.

 

(srf)