Khalifah Tidak Hanya Diterjemahkan sebagai Doktrin Politik dan Islam Kaku

 
Khalifah Tidak Hanya Diterjemahkan sebagai Doktrin Politik dan Islam Kaku

LADUNI.ID - Kata الخلافة (al khilâfah) berasal dari akar kata خلف (khalfun) yang arti asalnya “belakang” atau lawan kata “depan”. Dari akar kata khalfun berkembang menjadi kata khilfatan, khilâfah, khalîfah, khalâif, khulafâ; ikhtilâf,istikhlâf. Kata kerja kha-la-fa (خلف), ikh-ta-la-fa (إختلف) is-takh-la-fa ( استخلف) begitu seterusnya.

Di dalam al-Qur’an terdapat sekurang-kurangnya 127 ayat yang menyebut kata yang berakar dari kata khalfun. Sedangkan Kata khalifah (secara khusus) kadang disebut dalam bentuk tunggal, kadang juga dalam bentuk plural. Dalam bentuk tunggal hanya disebut dua kali yaitu dalam surat al-Baqoroh ayat 30 dan dalam surat as-Shad ayat 26. Berikut sebagian contoh ayat-ayat tersebut yang akar katanya kholfun, diantaranya :

Pertama, kata khalfun dalam pengertian “generasi pengganti yang berperilaku buruk”. Disebutkan dua kali yaitu pada surat al A’raf ayat 169 dan surat Maryam ayat 59. Pada surat Maryam dikatakan:
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (khalfun) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (QS; Maryam:59)

Kedua, kata khulafâ yang berarti generasi baru atau kaum pengganti yang mewarisi bumi dari kaum sebelumnya yang binasakan karena mereka tidak beriman. Contoh :
“Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (khulafa’) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Al-A’raf:69)

Ketiga, Al Khalâif yang berarti kaum yang datang untuk menggantikan kaum yang lain. Contoh: “ Dan Dialah yang menjadikan kalian semua khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-An’am 165)

Keempat, dalam bentuk kata kerja Istakhlafa, yang artinya menjadikan seseorang atau satu kaum sebagai khalifah, pemimpin, pelanjut dan pengatur bumi setelah kaum yang lain.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa (tidak dalam arti pemimpin politik) dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa,”(An-Nur : 55)

Kelima, Sedangkan kata Khalifah dalam makna tunggal disebut dua kali, yaitu surat al-Baqoroh ayat 30 dimaksudkan kedudukan Nabi Adam sebagai kholifah diatas dunia ini. Allah berfirman : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Sedangkan surat as-Shod ayat 26 maksudnya adalah Nabi Daud yang memiliki kekuasaan politik untuk memerintah Bani Israil. Allah berfirman : “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.

Ada persamaan antara tugas-tugas kekhalifahan Nabi Adam dengan tugas-tugas kekhalifahan Nabi Daud, yaitu sama-sama mengemban amanat sebuah pengelolaan. Namun ada perbedaan antara keduanya.
Coba perhatikan model bahasanya. Allah berfirman : Inni Ja’ilun fil ardl kholifah yang artinya “Aku jadikan dia (Adam) diatas bumi ini kholifah. Sedangkan kepada Nabi Daud Allah berfirman : Ya Daud, Inna Ja’alnakan kholifatan fil-ardl : Kami menjadikanmu di dunia ini kholifah.


Terkait Nabi Adam, Allah menggunakan kata tunggal “Inni” dan isim fail “Ja’ilun” sdangkan untuk Nabi Daud menggunakan kata plural “Inna” dan kata kerja “ Ja’alnaka”. Perbedaan ini tentu mengandung makna berbeda. Dalam kaidah ilmu tafsir dijelaskan bahwa ketika Allah menggunakan kata plural, itu berarti ada keterlibatan pihak lain dalam proses dan prosedurnya.
Dengan demikian kekhalifahan Nabi Adam adalah misi suci manusia diatas dunia ini untuk mengelola, menata dan menciptakan keadilan dalam hidup. Sedangkan kekhalifahan Nabi Daud disamping anugerah Allah juga melibatkan masyarakat sebagai unsur kepemimpinannnya, baik yang dipimpinnya sekaligus yang mengangkatnya.


Dari sini kita memahami bahwa ketika Allah berbicara tentang kehalifahan Nabi Adam, maknanya adalah potensi dan aksi yang diamanatkan kepada Nabi Adam untuk mengelola alam semesta bukan dalam arti kekuasaan politik. Modal dasar yang diberikan kepada Nabi Adam adalah pengetahuan akan segala sesuatu baik potensi maupun aksinya ( Wa ‘allama adamal asma’a kulaaha). Maka wajar kalau dari generasi-kegerasi yang melanjutkan misi Nabi Adam tidak pernah bersentuhan dengan kekuasaan praktis. Nabi Syst, Nabi Idris, Nabi Nuh adalah pelanjut kekhalifahan Nabi Adam tapi tidak diperintahkan untuk mengelola sebuah pemerintahan.

Bahkan Nabi Ibarahim tidak diperintah merebut dan mengelola kekuasaan Namrudz, tapi dimintanya untuk mengajak Namrudz menyembah Allah dan menegakkan keadilan diatas dunia. Demikian juga Nabi Musa tidak diminta untuk mengambil alih kekuasaan Fir’aun, tapi diminta berdakwah kepada Fir’aun agar kembali kejalan yang benar dan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dalam pemerintahannya. Padahal misi Nabi Ibarahim dan Nabi Musa juga meneruskan misi Nabi Adam sebagai kholifah diatas dunia.


Sedangkan kekhalifahan Nabi Daud memang benar berbentuk kekuasaan secara politik. Yaitu sebuah kekuasaan untuk memimpin kaum Yahudi dan berpusat di Palestina setelah sebelumnya mengalahkan penguasa dzalim Jalud. Karena itulah maka modal dasar yang diberikan kepada Nabi Daud memang modal dasar memimpin. Oleh karena itu Allah menegaskan :” Allah memberinya kekuasaan/kerajaan dan hikmah serta mengajarkan apa yang Dia Kehendaki….”. Kekuasaan ini mencapai puncaknya pada masa Nabi Sulaiman putra Nabi Daud. Walapun Nabi-Nabi sesudahnya seperti Nabi Zakariya, Nabi Yahya, Nabi Isa yang nota-benenya dari Bangsa Israil tidak lagi mengemban amanat kekuasaan/kerajaan.


Dari uraian ini dijelaskan bahwa khalifah memiliki beragam makna dan beragam konteks serta tidak bisa hanya diterjemahkan sebagai sebuah doktrin politik Islam kaku. Kesalahan sebagian orang adalah mengambil satu makna dalam al-qur’an dengan menafikan makna lainnya. Celakanya makna yang diambil ditempatkan sebagai sebuah doktrin yang tauqifi, mutlak dan kaku. Ketika dijadikan doktrin tauqifi dan mutlak maka konsekwensi hukumnya hanya dua, yaitu Wajib atau Haram.

Wajib menerapkan makna yang dipahami dan intoleran dengan pemahaman dan pemaknaan orang lain. Dan jika ada yang memahami dan memaknai dengan sebuah konsepsi yang berbeda dengan dirinya, Haram hukumnya.
Ketika itu terjadi, maka khilafah yang sebenarnya konsep luwes, moderat, dan kontekstual berubah wajah menjadi kaku, eksklusif bahkan intoleran. Lebih celaka lagi kalau pemaknaan orang lain terhadap konsep khilafah dianggap tidak syar’ie, toghut, tidak Islami, dan khilafah harus dimurnikan dari semua itu, tidak mustahil jiwa manusia akan menjadi taruhannya.

 

Oleh: Ustadz Khotimi Bahri (PC LBM-NU Kota Bogor)