Kenakalan Remaja dalam Aksi Tawuran dan Solusinya

 
Kenakalan Remaja dalam Aksi Tawuran dan Solusinya

LADUNI.ID, KOLOM- Salah satu fenomena dan prilaku negatif bernama tawuran antar pelajar yang masih terjadi di dunia pendidikan zaman now yang seharusnya sudah sangat “kuno” namun masih dilakoni oleh sebagian pelajar termasuk di daerah Aceh khususnya Bireuen yang terkenal sebagai kota Juang.  Puluhan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMK) Negeri 1 Bireuen terlibat tawuran dengan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Bireuen, Kamis (29/11/2018) sekitar pukul 11.30 WIB. Tawuran antarpelajar ini dengan saling melempar batu, namun tidak menimbulkan korban jiwa.Sejumlah sepeda motor yang diparkir di halaman sekolah rusak kena lemparan batu, serta sempat mengganggu aktivitas pengendara yang melintasi ruas jalan negara, di kawasan Cot Gapu, Kecamatan Kota Juang. (acehsatu.com, Pelajar SMA 2 Bireuen Terlibat Tawuran dengan Pelajar SMK, 2018)

Seharusnya hal semacam ini tidak sudah bukan lagi zamannya dan tawuran ini bisa diatasi apabila pihak sekolah mampu menerapkan aturan yang ketat dengan kolaborasi berbagai pihak termasuk orang tua pelajar. Bahkan kalau perlu dilibatkan dayah atau Pesantren sebagai salah satu mediasinya. Angka tawuran menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat tahun 2018 Lebih meningkat dari tahun sebelumnya bahkan sekitar 202 anak berhadapan dengan hukum akibat terlibat tawuran dalam rentang dua tahun terakhir. Sekitar 74 kasus anak dengan kepemilikan senjata tajam. Tentu saja ini sangat memprihatinkan. Ini sebagaimana diungkapkan komisioner KPAI Putu Elvina. Ia juga mengatakan belum ditemukan formula dan jalan keluar yang efektif untuk menghentikan tradisi tawuran. Tawuran pelajar merupakan siklus kekerasan yang terjadi dalam satu sekolah atau antarsekolah.Dampak yang diakibatkan tawuran, kata dia, luar biasa baik kerusakan fasilitas sekolah maupun publik, teror, kehilangan jiwa dari kedua kelompok yang berkelahi dan tidak jarang menyasar masyarakat di sekitar lokasi. Peran orang tua, institusi pendidikan, dan model peran dari masyarakat belum benar-benar berperan sebagai agen perubahan yang bisa mengikis budaya kekerasan tersebut.Ia menilai penegakan hukum terhadap pelaku tawuran tidak akan optimal bila tidak dibarengi dengan membangun budaya hukum yang positif. Ancaman pengeluaran dari sekolah tidak akan menyelesaikan masalah karena juga akan berdampak pada masalah sosial lainnya. (Republika, KPAI: 202 Anak Tawuran dalam Dua Tahun, 2018)

Tawuran ini memang sudah sering terjadi di dunia pendidikan kita di Indonesia terutama sekolah lanjutan atas baik SMA, SMK dan sederajat. Fenomena semacam ini merupakan bentuk dari kenakalan remaja. Ada baiknya kita lebih dulu mengenal terjadi tawuran dari perspektif teorinya. Berdasarkan dari beberapa rentetan kasus tawuran tersebut, sebenarnya tawuran yang terjadi hanya karena masalah sepele atau ringan. Penyebab sepele ini akhirnya menyulut tindak kekerasan yang dilakukan antarpelajar hingga berujung tewasnya beberapa siswa. Penyebab banyaknya kasus tawuran ini bisa kita lihat dan analisis dari dua sudut pandang teori. Pertama, teori Frustasi – Agresi dan yang kedua, teori Kekerasan Kolektif.

Kedua teori ini sebagaimana diungkapkan, Pandu Wibowo. Ia menyebutkan Teori Frustasi – Agresi itu merupakan usaha seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan mengalami hambatan. Kondisi ini akan menimbulkan dorongan untuk bertindak agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku untuk melukai seseorang atau merusak objek yang menyebabkan frustasi.

Jika dikaitkan dengan kejadian tawuran yang baru-baru ini terjadi, dapat dikatakan, ketika pelajar melakukan tawuran mereka tidak segan-segan untuk melukai satu sama lain. Mereka tidak memikirkan apakah akan ada korban tewas atau terluka. Ini semua dilakukan karena sikap frustrasi pelajar dan didukung oleh jiwa yang labil akibat salah dalam pergaulan.

 Penyebab penyebab tawuran tersebut sebenarnya hanya karena masalah ringan. Misalkan, ada sebuah kelompok pelajar yang menamai mereka sebagai pelajar dari sekolah A yang mempunyai tujuan untuk menguasai tempat berkumpulnya pelajar atau tempat nongkrong tertentu. Tapi tiba-tiba pelajar dari sekolah lain (sekolah B) juga memilki keinginan yang sama. Akhirnya untuk mencapai tujuan tersebut, para pelajar yang masih berjiwa labil mudah frustasi dan emosi. Pada tahap ini, mereka cenderung akan memotivasi diri untuk saling menguasai tempat tersebut walau harus saling melukai.

Sebenarnya masih banyak lagi penyebab terjadinya tawuran selain berebutan tempat. Contoh saling ejek antara pelajar sekolah A dan sekolah B, dan adanya dendam antara satu pelajar sekolah A kepada pelajar sekolah B, yang menular kepada pelajar yang lain. Dari situlah timbul rasa untuk saling menguasai dan mencapai tujuan di antara para pelajar walau harus saling melukai.

Sedangkan kedua teori kedua dikenal dengan “Teori Kekerasan Kolektif”. Teori ini merupakan kekerasan yang dilakukan oleh sekumpulan orang secara bersama-sama. Tujuannya, untuk menunjukan kelompok pelajar mana yang lebih kuat dan patut ditakuti. Tindak kekerasan (tawuran) yang dilakukan bersama-sama ini seakan sudah menjadi warisan bagi pelajar. Banyak sekali kasus yang sudah terjadi akibat tawuran antarpelajar. Dan sampai saat ini pihak sekolah, pemerintah, dan LSM belum bisa menghilangkan kebiasaan buruk ini.

 Tawuran pelajar bukan hanya merugikan pelajar yang terlibat, tetapi merugikan orang lain juga khususnya siswa lain yang tidak ikut tawuran. Gangguan psikologi siswa yang merasa sudah tidak nyaman lagi belajar karena adanya sebuah ancaman dan kekerasan menjadi faktor utama. Selain itu akibat tawuran, banyak fasilitas umum yang rusak. Hal ini menandakan bahwa tawuran yang dilakukan oleh beberapa pelajar benar-benar tidak hanya merugikan pelajar yang bertawuran tapi juga merugikan orang banyak. (Pandu Wibowo, Menyikapi Tawuran Pelajar dengan Teori, 2011)

Semoga bermamfaat.

Walllahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi Penikmat Kopi BMW Cek Pen Lamkawe. Dikutip dari berbagai sumber.