Etika Menyampaikan Kritik dan Nasihat kepada Pemimpin dalam Perspektif Islam

 
Etika Menyampaikan Kritik dan Nasihat kepada Pemimpin dalam Perspektif Islam
Sumber Gambar: kenwords.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Negara kita merupakan bangsa yang besar dan berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Walaupun tidak menjadikan syariat Islam sebagai dasarnya, namun mayoritas penduduknya beragama Islam. Indonesia sebagai negara hukum, tentunya setiap tindakan telah digariskan dalam perundangan masing-masing, termasuk mengemukakan pendapat di muka umum terhadap pemimpin.

Kita yang ingin menyampaikan nasihat atau mengkritik kepada pemimpin tetaplah perlu menjunjung etika dan sopan santun. Metode penyampaiannyapun tidak mesti dengan demonstrasi, yang tidak sedikit dapat menimbulkan dampak buruk bagi yang melakukan aksi, dan juga dapat merugikan masyarakat pada umumnya.

Nasihat yang dimaksud seharusnya bisa disampaikan dengan cara lain yang lebih bijak dan tidak berdampak merusak. Hal ini didasari agar pemimpin kita mudah mendengar nasihat, merasa tetap dihargai dan dihormati. Tanpa merasa dirinya dipermalukan, dilecehkan, atau harga dirinya ditiadakan. Tetapi, kalau hal tersebut telah dilakukan, dan penguasa pun tetap tidak mendengar nasihat kita, maka bagaimanapun kita tetap perlu dan harus bersabar.
 
Islampun telah menggariskan dan memperingatkan umatnya lewat pesan baginda nabi dalam banyak riwayat tentang hal tersebut. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda: 

مَن رَأَى من أمِيرِهِ شيئًا يَكْرَهُهُ فلْيَصْبِرْ عليه، فإِنَّهُ ليس أحدٌ يُفارِقُ الجَماعةَ شِبْرًا فيَموتُ، إِلَّا ماتَ مِيتةً جَاهِلِيَّةً

"Barang siapa yang tidak menyukai sesuatu dari amir (pemimpinnya) maka hendaklah bersabar. Tidaklah seseorang yang keluar dari suatu kesatuan kelompok (kepemimpinan), meski sejengkal saja, lalu dia mati kecuali ia mati seperti kematian jahiliyah." (HR. Muslim)

Menanggapi konteks itu, salah seorang dari Imam empat mazhab dalam Islam, Imam Ahmad pernah menegaskan bahwa siapa saja yang memberontak imam kaum Muslimin, padahal umat telah bersatu di bawahnya dan mengakui kepemimpinannya, baik dengan kerelaan maupun dengan paksa, maka ia telah memecah-belah kesatuan umat Islam dan menyalahi petunjuk Hadis Rasulullah SAW. Kalau ia mati, maka ia mati dengan kematian jahiliyah. Tidak halal bagi seorang pun memerangi dan menyerang sultan (penguasa). Dan bahwa siapa saja yang melakukannya, maka ia adalah pelaku bid’ah, menyimpang dari sunnah dan jalannya.

Demikianlah Islam memandang pentingnya menghormati seorang pemimpin. Bahkan kepada pemimpin yang zalim terhadap rakyatnya, tetap jalan terbaik bagi umat Islam adalah bersabar. Akan tetapi, bersabar di sini bukan berarti ridho dengan kezaliman yang dilakukan oleh  seorang pemimpin. Bagaimanapun seoang pemimpin yang demikian itu juga wajib diingatkan dan dinasihati. 

Mengenai penyampaikan kritik atau nasihat kepada seorang pemimpin itu, bisa dilihat keterangan di dalam firman Allah SWT dalam Surat Thaha ayat 44:

فَقُوْلَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشَى

"Maka bicaralah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir'aun dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." 

Dalam ayat ini kita bisa melihat, bahwa Allah saja memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun berbicara kepada Fir'aun dengan lemah lembut, apalagi dengan orang yang mungkin kejahatannya tidak separah Fir'aun. 

Kita sebagai muslim diibaratkan bagian tubuh yang satu dengan lainnya saling melengkapi dan tetap saling menjaga serta menghormati lainnya, termasuk kepada pemimpin. Kalau memang demikian, tetapi mengapa terkadang kita kepada saudara sebangsa dan seagama sangat kasar dan tak mengindahkan etika. Karena itu, sikap yang tidak benar ini perlu diluruskan dan diperbaiki agar identitas sebagai seorang Muslim yang baik tidak luntur. 

Rasulullah SAW pernah bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنا: لِمَنْ؟ قالَ: لِلَّهِ ولِكِتابِهِ ولِرَسولِهِ ولأَئِمَّةِ المُسْلِمِينَ وعامَّتِهِمْ

"Agama adalah nasehat. Lalu kami (para sahabat) bertanya: 'Bagi siapa wahai Rasulullah?' Nabi menjawab: 'Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam (pemimpin) kaum Muslimin dan orang-orang awam dari mereka (kaum muslimin).'" (HR. Muslim)

Namun, sekali lagi kesabaran terhadap kerusakan, kemaksiatan kezaliman yang dilakukan seorang pemimpin bukanlah berarti orang tersebut berdiam diri, menunggu dengan pasif sambil berharap akan adanya perubahan tanpa melakukan suatu upaya perubahan. Tapi, upaya perubahan itu dilakukan dengan langkah bijak, tidak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, seperti berdemonstrasi dengan disertai kekerasan dan pengerusakan yang tentu justru merugikan diri sendiri dan masyarakat umum.

Rasulullah SAW telah memperingatkan kita, sebagaimana di dalam Hadis yang berbunyi berikut ini:

مَنْ اَرَادَ اَنْ يُنْصِحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلَا يَبْدُهُ عَلَانِيَّةً وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَاِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَاِلَّا كَانَ فَقَدْ أَدَى الَّذِيْ عَلَيْهِ 

"Barang siapa ingin menasihati pemerintah, janganlah disampaikan terang-terangan. Tapi pegang tangannya, bawa ke tempat sepi (lalu sampaikan nasihat). Jika nasihatnya diterima maka itu bagus. Jika pun ditolak, maka sungguh ia telah menyampaikan kewajibanya mengenai hal itu." (HR. Imam Hakim)

Metode mengkritik atau menasihati seseorang sebagaimana konteks di atas, persis dengan apa yang juga disampaikan oleh Imam Syafi'i sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Ghazali di dalam Kitab Ihya' Ulumuddin. Imam Syafi'i berkata:

مَنْ وَعَظَ اَخَاهُ سِرًّا فَقَدْ نَصَحَهُ وَزَانَهُ وَمَنْ وَعَظَهُ عَلَانِيَةً فَقَدْ فَضَحَهُ وَشَانَهُ

"Barang siapa memberi wejangan pada saudaranya secara lirih, maka sungguh ia telah menasehatinya. Barang siapa memberi wejangan secara terang-terangan maka sungguh ia telah mengumbar kejelekannya."

Salah satu realita yang terjadi dewasa ini, yang ditambah dengan suhu politik yang semakin panas dan memunculkan kebencian yang berlebihan, terkadang sebagian dari kita kehilangan sikap saling menghormati dan menghargai. Dan pada akhirnya saling mencaci, menghina, melecehkan, atau membuka aib pemimpinnya tak bisa terbendung. Akibatnya, rakyat bisa tidak lagi menghormati pemimpinnya. Dan begitupun sebaliknya, pemimpin bisa selalu melakukan tindakan represif terhadap rakyat. Hal ini justru jauh dari kata baik dan maslahat, padahal inilah yang memang diinginkan bersama.
 
Padahal, tidak seharusnya terjadi. Upaya negosiasi, menyelesaikan dengan kepala dingin, jauh lebih elegan, lebih bermartabat, lebih terhormat bagi kedua belah pihak. Berbagai buruk sangka dalam menyelesaikan sebuah masalah, tidak akan menghasilkan sebuah keputusan yang bermanfaat dan maslahat. 

Oleh karena itu, sesulit apapun persoalan yang dihadapi, musyawarah tetap jalan terbaik dalam menyelesaikannya. Marilah duduk bersama, berdiskusi, demi solusi yang terbaik, yang akan memberikan maslahat bagi semua. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 19 Desember 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Helmi El-Langkawi

Editor: Hakim