GussDur dan Teknologi di Era Milenial

 
GussDur dan Teknologi di Era Milenial

LADUNI>ID - Meski dikenal sebagai pemikir kebudayaan, khususnya kebudayaan Islam, Gus Dur sangat sedikit meluangkan gagasannya untuk memikirkan hubungan antara kebudayaan dan teknologi — hal yang sangat aktual hari ini, ketika teknologi menguasai kehidupan manusia “milenial”, tak terkecuali kaum santri, basis kultural Gus Dur. Di antara pemikir Muslim era ’80-an, mungkin hanya Armahedi Mahzar satu-satunya intelektual Muslim yang masih hidup dan pemikirannya tentang teknologi memiliki daya antisipatif yang kuat bagi perubahan wajah dunia 20-30 ke depan.

Fokus perhatian Gus Dur lebih banyak tercurah kepada upaya menggali kebudayaan dari segi nilai-nilainya bagi kehidupan sosial dan komunitas keagamaan. Perhatiannya pada sisi aksiologis budaya. Selain sisi aksiologis, Gus Dur juga bergerak pada ranah suprastruktur kebudayaan dalam menilik relasi antara kebudayaan, Negara, dan agama. Ia memperkenalkan pendekatan institusionalis dalam wacana ini, atau campuran antara strukturalis dan institusionalis, khas tradisi Marxis dan Weber-Durkheim. Namun, dari semua itu, teknologi seolah terlewatkan, seakan-akan kebudayaan hanya berurusan antar-manusia, bukan melalui media alat atau informasi.

Bila kita membaca secara acak sejumlah tulisan, misalnya dalam “Islam Kosmopolitan”, ada beberapa titik pijak pemikiran Gus Dur tentang teknologi, meski implisit atau nyaris tak terbaca.

Pertama, Gus Dur menganggap bahwa teknologi adalah subkultur dalam suatu peradaban atau “makro kebudayaan”. “Peradaban sering kali diukur dengan kehebatan teknologi, keagungan arsitektural, ketinggian hasil-hasil karya seni dan sastra, serta sumbangannya kepada ilmu pengetahuan,” tulis Gus Dur. Namun, Gus Dur tidak setuju bahwa teknologi an sich, satu-satunya, parameter peradaban. Teknologi, bagi Gus Dur, hanya salah satu rumpun penyokong peradaban, dan bukan satu-satunya faktor penggeraknya. Di sini, seakan ada dilema: Gus Dur terkesan memberi apologi bagi ketertinggalan umat Muslim dalam teknologi, karena toh andai umat Muslim kalah dalam kompetisi teknologi, ia masih memiliki warisan berharga: seni dan kebudayaan agamanya. Tapi, di sisi lain, dengan menganggap teknologi sekadar subkultur dari sebuah peradaban, Gus Dur menyadari bahaya determinisme teknologi: ketika teknologi menguasai dan mengatur semuanya. Sementara, teknologi tak netral dan sarat-pertarungan kuasa: siapa yang memilikinya, ialah yang menang.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN