Bahaya Menghina Ulama

 
Bahaya Menghina Ulama
Sumber Gambar: twitter.com/nahdlatululama, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Islam maju berkat peran dan perhatian para ulama dalam berdakwah. Sosok ulama itu merupakan penerus estafet keilmuan Islam bahkan merupakan warasatul anbiya'.  

Jika kita amati, sangat meresahkan dewasa ini tidak sedikit orang kerap mencaci ulama, terutama lewat komentar dan tulisan miring  di berbagai media termasuk medsos dan lainnya.

Dalam khazanah pesantren, kita tahu tentang istilah Luhumul Ulama’ Masmumah (daging ulama itu beracun). Kalimat ini cukup populer di kalangan penuntut ilmu. Kalimat ini bukan Hadis dari Nabi, tapi kalimat ini pernah disampaikan oleh Ibnu Asakir untuk membela Imam Hasan Al-Asy’ari sekaligus memberikan nasehat kepada umat Islam agar menghormati ulama dan tidak mencela atau mengghibahnya. 

Sebagaimana diketahui bahwa ghibah adalah perbuatan tercela dan perkara yang menjijikkan. Sehingga dalam Al-Qur’an perbuatan ini diistilahkan sama halnya dengan memakan daging bangkai.

Allah SWT berfirman:

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Dan janganlah kalian saling mengghibah. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan (karena itu) bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Bila mengghibah sesama muslim biasa "hanya" seperti memakan daging busuk yang mengandung kuman penyakit, maka bagaimana hal itu jika berkenaan dengan seorang ulama? Mengghibah ulama dengan membicarakan aib dan kekurangannya diistilahkan sama halnya dengan memakan daging beracun.

Dalam pengertian, bahwa "racun" itu adalah penjagaan Allah SWT kepada para kekasihnya. Dan tentu ada ancaman musibah bagi orang yang memakan "racun", yang berarti melanggar penjagaan itu. Racun dapat menyebabkan dampak yang fatal akibatnya. Karena itu berhati-hatilah, jangan sampai merendahkan para ulama yang menjadi kekasih Allah itu, apalagi sampai menghina, mengghibah atau merubuhkan kehormatan mereka. 

Kita bisa mengambil pelajaran dari orang-orang terdahulu, mereka ada yang binasa lantaran terlalu lancang terhadap orang-orang yang memegang warisan Nabi SAW tersebut.

Al-Hafidh Ibnu Asakir dalam Kitab Tabyin Kadzib Al-Muftari berkata: 

واعْلَمْ يَا أخِي، أَنَّ لُحُومَ العُلَماءِ مَسْمُومَةٌ، وَعَادةُ اللهِ في هَتْكِ أسْتَارِ مُنْتَقِصِيهِمْ مَعْلُومَةٌ، لأنَّ الوَقِيعَةَ فِيهِمْ بِمَا هُمْ مِنْهُ بَرَاءٌ أمْرُهُ عَظِيم ٌ، والتَّناوُلُ لأعْراضِهِم بالزُّورِ والافْتِرَاءِ مَرْتَعٌ وَخَيْمٌ ، وَالْاِخْتِلَاقُ عَلَى مَنْ اخْتَارَهُ اللهُ مِنْهُم لِنَعْشِ العِلْمِ خُلُقٌ ذَمِيمٌ

“Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya daging para ulama itu beracun (menggunjingnya adalah dosa besar), dan kebiasaan Allah dalam menyingkap kedok para pencela mereka (ulama) telah diketahui bersama. Karena mencela mereka dengan sesuatu yang tidak ada pada mereka merupakan petaka besar, dan melecehkan kehormatan mereka dengan cara dusta dan mengada-ada merupakan kebiasaan buruk, dan menentang mereka yang telah Allah pilih untuk menebarkan ilmu merupakan perangai tercela.”

Menggunjing atau merendahkan bahkan mengkriminalkan ulama lebih berbahaya daripada yang lain, karena sama saja dengan merendahkan syariat dan ilmu yang mereka pelajari, yang berdampak akhirnya masyarakat tidak akan lagi mendengar mereka.

Merendahkan atau mengghibah seseorang hanya akan merugikan pribadi yang dighibahi. Namun jika ulama direndahkan, sama dengan menghancurkan Islam karena ulama adalah pembawa bendera Islam, dan jika benderanya jatuh, maka bisa hancurlah Islam. 

Jika syariat sudah direndahkan dan ulama sudah tidak didengar lagi, maka yang menjadi rujukan orang adalah hawa nafsu dan bisikan setan belaka. Maka seorang muslim harus mampu menjaga lisannya dari ghibah, berkata kotor dan lain sebagainya yang tidak bermanfaat sama sekali. Seyogyanya mengatakan hanya yang bermanfaat saja. Sebagaimana sabda Nabi SAW;

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

 “Siapa yang beriman pada Allah dan Hari Akhir hendaknya berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagai seorang Muslim, kita harus senantiasa berusaha memerangi hawa nafsu dan menahan diri dari ghibah dan dosa yang lain. Takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya adalah salah satu jalan menahan nafsu. Dan bahwa menahan dan melawan nafsu itu merupakan jihad yang besar, sebagaimana Nabi SAW pernah bersabda;

قَدِمْتُمْ خيرَ مَقْدَمٍ، وقَدِمْتُمْ مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِِ، مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ هَوَاهُ

"Kalian datang dengan baik. Kalian datang dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar, yakni jihadnya seorang hamba memerangi hawa nafsunya." (HR. Imam Suyuthi)

Daging ulama itu memang beracun. Sudah maklum, ada sunnatullah yang berlaku bagi orang yang merendahkan ulama, satirnya (aib) akan tersingkap. Dan orang yang mencela ulama biasanya akan diuji oleh Allah sebelum orang tersebut mati, yakni dengan hatinya terlebih dahulu mati. Na'udzu billah min dzalik.

Ada pernyataan sama namun tak serupa yang juga dinisbatkan kepada Ibn Asakir;

لُحُوْمُ الْعُلَمَاءِ سُمٌّ، مَنْ شَمَّهَا مَرِضَ، وَمَنْ ذَاقَهَا مَاتَ

“Daging ulama itu racun: yang menghirupnya akan jatuh sakit, yang mencecapnya akan mati.”

Karena berkah ketinggian ilmu para ulama, walaupun mereka sempat terjerumus dalam kefasikan, misalnya, tetapi mereka tetap sebagai kekasih Allah SWT.  Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah Hadis dalam Kitab Muraqil 'Ubudiyyah yang berbunyi berikut ini:

اَلْعَالِمُ حَبِيْبُ اللهِ وَلَوْ كَانَ فَاسِقًا، وَالْجَاهِلُ عَدُوُّ اللهِ وَلَوْ كَانَ عَابِدًا

"Bahwa orang alim (dalam ilmu fiqih) adalah kekasih Allah, meskipun dia seorang yang fasiq (karena dia tidak mau mengamalkan ilmunya, misalnya). Dan orang yang bodoh (mengenai ilmu fiqih) adalah musuh Allah, meskipun dia itu adalah seorang ahli ibadah."

Beranjak dari itu, sosok ulama adalah pewaris nabi, hendaknya kita berusaha untuk melapangkan dada atas segala hal yang terkait dengan mereka yang benar-benar alim dan dekat kepada Allah SWT. Kita juga harus memelihara diri dari menghina dan sejenisnya kepada siapapun, terlebih lagi kepada sang ulama, pewaris nabi.

Dalam konteks tahun politik dengan suhu yang cukup panas, kita harus bertabayyun terhadap segala sesuatu yang kita dapatkan informasinya, dan harus berprinsip untuk selalu menghargai perbedaan. Dengan demikian, maka kita dapat menghadirkan kehidupan yang sejuk dan bersama-sama berkomitmen untuk saling menjaga dan menghargai. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 25 Desember 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Helmi Abu Bakar El-Langkawi

Editor: Hakim