Mencium Tangan merupakan Akhlak Rasulullah

 
Mencium Tangan merupakan Akhlak Rasulullah

LADUNI. ID, KOLOM-Waktu terus berputar dan berotasi serta berbagi fenomena yang terjadi di permukaan bumi ini. Kita sekarang hidup di era globalisasi saat ini, pendekatan dengan nilai-nilai tauladan dan takriman (kemulian) seperti mencium tangan sering dilupakan dan dianggap sesuatu yang ‘aneh” dan “tidak pantas” serta berbagai label lainnya. Bahkan dinilai menyimpang dari nilai syariat yang dibawa Rasululah SAW dengan slogan bid’ah dengan asumsi mengkultuskan seseorang.

Padahal mencium tangan merupakan sebuah bentuk penghormatan dan ketakdhiman terhadap orang yang mulia baik dari segi ilmu, umur dan lainnya. Mencium tangan merupakan salah satu sunah Rasulullah dan para sahabat. Mereka melakukannya dalam setiap kesempatan dan waktu untuk saling mendahului mencium tangan sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan.

Tradisi orang timur termasuk Indonesia juga mencium tangan. Budaya tersebut sudah lama menjadi tradisi umat Islam di negeri ini. Itu sebagai salah satu bentuk simbol penghormatan kepada mereka yang lebih tua, baik dalam kedudukan, keilmuan maupun dalam nasabnya. Mencium tangan para ulama, orangtua dan lainnya merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam perspektif agama. Sudah sewajar dan sepatutnya kita sebagai orang tua membiasakan dan mendidik anak-anak untuk membiasakan mencium tangan sebagai bentuk ta’lim kepada mereka. Sehingga ketika dewasa nilai etika yang telah kita didik sejak dini menjadi perkara yang tidak terpisahkan dalam keseharian.

Mencium tangan ulama, orang tua dan sejenisnya merupakan salaman syar’i serta sangat dianjurkan dalam Islam. Budaya ini harus dilestariakan juga sebagai sunnah Rasulullah SAW. Bentuk penghormatan itu banyak, maqasid (tujuannya) adalah ikraman (memuliakan). Sedangkan wasail (perantaraan) bentuknya disesuaikan dengan tempat, dan waktu. Contohnya seperti mencium tangan, berdiri, dan lainnya. Corak wasail itupun selama tidak dilarang dalam qanun syara’. Hal ini disebutkan dalam sebuah qaidah yang berbunyi “Lil wasail hukmu al-maqasid” (perantaraan itu merupakan sebagai hukum untuk sebuah tujuan).

Pencetus qaidah ini secara kontekstualnya adalah Imam Syafi’i (Imam Syafi’I, kitab al-Umm:4:49). Secara tekstualnya pertama kali disinggung Syekh Izuddin bin Abdissalam (Kitab Qawaid ahkam: 1: 46). Namun dewasa ini ada sekelompok ulama pembaharuan membantah kaidah di atas dengan ungkapan yang popular “al-Ghayah la tubarriru al-washilah” (tujuan itu tidak membenarkan perantaran). Slogan tersebut terbantahkan dalam perkataann Syekh Abu Bakar al-Andalusi yang berbunyi: ”Setiap tindakan hamba akan didapati, adakalanya wasilah adakalanya maksud (maqasid)”. (Syekh Abu Bakar bin Ashim Al-Andalusi, Nazam Murtaqa al-Wushul).

Mencium tangan merupakan salah satu hal yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Banyak literatur hadist disebutkan sunat mencium tangan. Pernah suatu ketika rasululla barusan tiba di Madinah. Para sahabat termasuk masyarakat di sana berebut mencium tangan beliau, seperti disebutkan dalam sebuah hadist:

”Sewaktu kami tiba di Madinah, kami berlomba-lomba mencium tangan nabi SAW.” (HR Imam Bukhari dan Abu Daud no. 5225). Dalam hadist lainnya diungkapkan, dari Ka’ab bin Malik:
”Sesungguhnya sewaktu beliau ditimpa keuzuran, nabi tiba, maka beliau terus mengambil tangan nabi kemudian menciumnya.” (HR. Imam Tabarani di dalam kitabnya Mu’jam al-Kabir, no. 186).

Syekh Nawawi menyebutkan sunat hukumnya mencium tangan seseorang yang disebabkan faktor zuhud, kebaikan, ilmu, atau karena kedudukannya dalam agama. (Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Kitab Fathul Bari, Syekh Ibrahim al-Bajuri: 2: 116). Tradisi mencium tangan di antara satu sama lainnya telah menjadi sebuah kebiasaan di kalangan sahabat. Tentu saja indikatornya semata-mata hanyalah untuk memuliakannya.

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi Penggiat literasi asal Dayah MUDI Samalanga