Surat terbuka Gus Mus kepada Rois ‘Aam PBNU tahun 1981, KH. Ali Maksum

 
Surat terbuka Gus Mus kepada Rois ‘Aam PBNU tahun 1981, KH. Ali Maksum

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bapak Kyai yang saya taati,

saya tak tahu pasti apakah sebaiknya saya sampaikan “selamat” ataukah “simpati” kepada Bapak, berkenaan pembaiatan Bapak sebagai Rois ‘Aam Nahdlatul Ulama baru-baru ini.

Akankah saya ucapkan “selamat” kepada Bapak, sedang saya tahu semata –sebagaimana Bapak- bahwa jabatan rois ‘aam, berlainan dengan kedudukan-kedudukan lainnya, merupakan satu-satunya “kedudukan” yang mengimpikannya saja tak ada orang yang mau. Kecuali, mungkin, orang yang bingung atau orang yang tidak tahu persis madlul-dilaalah-nya lafadz “rois ‘aam”.

Akankah saya ucapkan “selamat!” kepada Bapak, sedang pembaiatan sebagai Rois ‘Aam itu justru pada saat NU sedang mengalami krisis wibawa. Pemimpin-pemimpinnya, ibarat radio transistor, sudah banyak yang batunya habis. Terlalu sering di-“glangsar” untuk yang tidak-tidak. Mereka yang dipercayai umat sudah banyak yang menciptakan “lembaga-lembaga” bayangan berupa diri-diri mereka sendiri. Kepentingan-kepentingan sudah sulit dibedakan, mana yang bersifat pribadi, mana yang demi NU. Banyak di antara mereka yang di depan rakyat kecil berkobar-kobar bagaikan pahlawan jihad sedang mencanangkan perang sabil; sementara dalam kehidupan pribadi sehari-hari lebih tempe dari tempe itu sendiri. Kepercayaan umat diperjualbelikan dengan murah,

Belum lagi masalah umat itu sendiri yang sudah sekian lama diterlantarkan dan seolah hanya mempunyai fungsi sebagai alat pengukuh kedudukan belaka. Sekarang semua itu Bapaklah pemimpin puncaknya. Bapak “dipaksa” ndandani atau paling sedikit harus setiap saat menghadapi secara langsung kenyataan-kenyataan yang memprihatinkan itu.

Akankah saya ucapkan “Selamat!” atau “Simpati” kepada Bapak? Belum lagi terkatup benar mulut-mulut para kyai yang mengucapkan baiat setia kepada Bapak, Bapak telah dipameri “kedewasaan” dan kehebatan tokoh-tokoh “pembela-pembela muda NU” di Semarang.

Satu contoh lagi yang lebih memperjelas betapa wibawa alim ulama sudah menjadi anekdot saja.

Kalau hari ini anak-anak “pembela alim ulama” mengeluarkan keputusan yang tidak sejalan dengan keputusan yang dikeluarkan alim ulama sendiri kemarin, janganlah salahkan anak-anak itu saja. Itu, seperti dhawahir lainnya yang serupa, hanyalah merupakan akibat. Akibat dari itu tadi, faudlaa kepemimpinan! Anak muda tetaplah anak muda, apalagi kalau “cul-culan”. Para pemimpin, khususnya alim ulama, sebelum bertanya-tanya tentang latar belakang, tendensi, dasar “ijtihad” atau barangkali mishyadah yang memerosokkan “anak-anak” tersebut ke dalam sikap bebek yang latah itu, seyogyanya bertanya terlebih dahulu kepada diri masing-masing sendiri. Sampai di manakah bimbingan dan pengarahan telah dilakukan selama ini terhadap anak-anak mereka itu? Sudah sejauh manakah telah diturunkan nilai-nilai Ahlis Sunnah wal Jama’ah dan Akhlakil Karimah kepada mereka? Sudah cukup memadaikah –atau bahkan: sudah adakah– perhatian terhadap mereka? Atau kalau mau singkat: sejauh manakah wibawa sudah ditegakkan dan seruan kembali ke jiwa 1926 dihayati

Secara kebetulan dalam khutbah Bapak di Kaliurang, secara simpatik,Bapak menandaskan pentingnya peranan generasi muda. Bahkan “ngundang” aljailas sha’id itu sebagai pemimpin-pemimpin harapan. Maka, berlebih-lebihankah apabila mereka menumpukan harapan kepada Bapak? Kalau tidak, maka tidak ada jalan lain: ketakacuhan pemimpin-pemimpin dan alim ulama terhadap mereka harus dihentikan.

Biarlah saya tak menyampaikan ucapan selamat ataupun simpati kepada Bapak.

Biarlah saya tujukan ucapan selamat kepada yang berhak, kepada NU dan segenap warganya yang kini telah memperoleh Harapan baru, Rois ‘Aam baru.

Dan biarlah ucapan simpati saya sampaikan kepada mereka yang tak juga terbangun dan masih saja menganggap NU sebagai pasar tempat mereka mensiasatinya dan mensiasati umatnya sendiri, demi kepentingan atau keselamatan pribadi.

Kepada Bapak sendiri, saya hanya dapat menyampaikan pengukuhan baiat “baaya’naakum ‘alas sam’i wat-thaa’ah fie mansyathinaa wa makrahinaa wa ‘usrinaa wa yusrinaa wa atsaratin ‘alainaa”.

Dan memanjatkan doa, “ja’alallahul haq ‘alaa lisaanikum wa qalbikum wa ayyada bikumul Jam’iyyah wa a’azzal Islaam wal ummah.”

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Oleh: M. Ustov Abi Sri, Rembang, 9 Dzul Qa’dah 1401 sumber

(Majalah Bangkit, No. 17-18 TH. II 1401/1981)