Semua Umat Nabi Muhammad Itu Diampuni Kecuali yang Mengumbar Dosanya

 
Semua Umat Nabi Muhammad Itu Diampuni Kecuali yang Mengumbar Dosanya
Sumber Gambar: ei8htz.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dalam melakukan analisis keilmuan diperlukan kecerdasan dan ketenangan agar bisa mendapat kebenaran yang memuaskan. Tak perlu berlebihan dalam memahami suatu pernyataan yang mungkin berbeda secara nalar umum. Apalagi terkait dengan suatu keterangan yang datangnya dari Nabi Muhammad SAW. Misalkan dalam Hadis berikut ini;

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِيْنَ

“Setiap umatku diampuni, kecuali yang mengumbar dosanya.” (HR. Bukhari Muslim)

Secara umum orang yang telah melakukan dosa kemudian mengaku dan menyampaikan secara jujur kepada orang lain, ini dianggap baik. Tetapi secara tidak langsung sikap ini justru sebaliknya, akan berdampak negatif bagi orang lain. Dengan kata lain dosa yang telah dilakukannya akan menjadi inspirasi bagi orang lain untuk tergerak juga atau penasaran ingin melakukannya.

Misalkan ada orang tua yang secara terang-terangan bercerita tentang dosa-dosa masa lalu kepada anaknya. Sekilas mungkin ini dianggap agar anaknya tidak meniru kesalahan orang tuanya, padahal justru bisa jadi ini sebaliknya akan menginspirasi anaknya untuk berani melakukan perbuatan dosa seperti orang tuanya, toh pada akhirnya juga bisa disesali dan bertaubat. Jelas anggapan seperti ini berbahaya sekali. Karena itulah justru benar sekali apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau menegaskan bahwa semua umatnya akan diampuni kecuali orang yang mengumbar dosanya (bercerita terang-terangan atas perbuatan maksiat yang telah dilakukannya). Sebab keterusterangan itu bisa menimbulkan dosa yang berkelanjutan karena dianggap “inspiratif”.

Contoh yang lebih bahaya lagi, misalnya ada seseorang yang pernah berpacaran dan melakukan perbuatan tidak senonoh. Lalu ia telah bertaubat. Kemudian jeda waktu yang lama ia menjadi baik, dan sudah berkeluarga. Tetapi dalam satu kesempatan ia bercerita tentang perbuatan-perbuatan maksiat tempo hari itu kepada anaknya atau keponakannya. Ini sangat berbahaya sekali hakikatnya. Sebab anak atau keponakan itu akan melihat perbuatannya sebagai inspirasi atau bahkan justifikasi untuk sekali-kali berbuat tidak senonoh, karena beranggapan nanti bisa menjadi baik sebagaimana orang yang bercerita tentang masa lalunya yang kelam itu.  

Sebaliknya, akan lebih baik jika perbuatan-perbuatan maksiat itu tidak pernah diceritakan kepada siapapun, tapi dengan sungguh-sungguh memohon ampunan kepada Allah dan melakukan taubat nasuha. Hari-hari yang dilaluinya kemudian dipenuhi dengan kebaikan-kebaikan. Dari sini maka anak turunnya atau orang-orang terdekatnya akan meniru kebaikan-kebaikan itu, meskipun dahulu pernah melakukan perbuatan tidak senonoh. Tapi cukup Tuhan saja yang tahu tentang ini. Orang lain perlu tahu tentang kebaikan-kebaikan dan tidak perlu tahu tentang keburukan. Begitulah memang yang diajarkan oleh Nabi.

Dalam konteks ini, Imam Ghazali pernah secara tegas mengatakan bahwa pemberian Allah yang paling baik, di antaranya adalah anugerah As-Sitru, “tutup”. Allah SWT menjaga dan menutupi keburukan-keburukan hamba-Nya. Dan ini adalah satu hal kebaikan yang demikian pula mestinya dilakukan oleh seorang hamba. Menutupi hal-hal buruk yang telah terlanjur dilakukannya itu. Tidak perlu orang lain tahu. Sikap ini tidak benar jika dianggap tidak jujur. Sebagaimana Nabi mengajarkan justru tidak boleh mengumbar dosa-dosa yang diperbuat. Sebab, sekali lagi jika semua keburukan itu ditampakkan atau diumbar, maka akan semakin massif dampak negatifnya.

Betapa hebatnya agama Islam ini. Kita semua diperintahkan dan diajarkan oleh Allah SWT untuk menutupi aurat, satrul aurat,  dan Allah adalah Dzat yang Maha Menutupi keburukan-keburukan hamba-Nya. Betapa baiknya Islam ini. Kesalahan-kesalahan kita ditutupi dan maksiat tidak diumbar.

Kalau saja maksiat ini diumbar dan orang lain tahu, lalu tertarik untuk mengikutinya, maka dunia ini akan dipenuhi dengan maksiat. Tapi jika orang yang berbuat maksiat ini tetap sembunyi, tidak mengumbar perbuatannya itu, dan sementara itu pada saat yang sama syiar-syiar kebaikan disemarakan, ada adzan, puji-pujian kepada Allah dan Nabi, begitu juga dengan hal-hal baik lainnya, justru disinilah terletak kebaikan dan kemaslahatan.

Pernyataan Nabi di atas tak bisa diprotes dengan dalih hal itu justru tidak jujur. Jika dipahami dengan baik, melakukan analisis yang baik, maka akan ditemukan satu kenyataan bahwa ini bukan soal jujur atau tidak, tapi lebih kepada menutup kabar buruk dari diri sendiri kepada orang lain. Dan ini merupakan bagian dari konsep siyasah. Sebab siyasah itu tidak hanya urusan politik mengelola negara. Tapi dalam mengelola diri kita sendiri diperlukan siyasah juga. Seperti sikap kita untuk selalu menceritakan kebaikan-kebaikan kita kepada anak-anak dan orang lain, agar mereka semua meniru kebaikan tersebut. Demikianlah yang diajarkan dan dianjurkan oleh Nabi.

Jadi dari Hadis ini, kita akan menemukan dampak baik yang luar biasa. Bagaimanapun kita harus ittiba’ bi Rasulillah, mengikuti petunjuk Rasulullah SAW.

Dengan demikian idealnya, sebagai seorang muslim yang baik itu adalah tidak melakukan perbuatan maksiat, tapi kalau terlanjur berbuat maksiat maka dengan sungguh-sungguh segera memohon ampun kepada Allah tanpa harus mengumbar perbuatan maksiat itu kepada orang lain. Kalau mengumbar keburukan kita sendiri kepada orang lain saja itu tidak baik, apalagi mengumbar keburukan orang lain yang kita tahu, kepada khalayak umum?! []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian Gus Baha. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

_____________________

Penulis: Athallah Hareldi

Editor: Hakim