Istilah Bisyaroh Digunakan Kalangan Pesantren untuk Pemberian Gaji atau Bayaran

 
Istilah Bisyaroh Digunakan Kalangan Pesantren untuk Pemberian Gaji atau Bayaran

Pengertian

Bisyaroh secara bahasa berasal dari kata Bahasa Arab Bisya<rah yang berarti kabar gembira, dalam arti sebuah kabar gembira yang Allah turunkan kepada umatnya, baik melalui al-Qur’an maupun ucapan rasul. Umumnya dalam masyarakat Indonesia, istilah bisyaroh merupakan tanda terima kasih atas jasa yang telah dilakukan seseorang yang diminta untuk melakukan sesuatu dalam hal ibadah. Istilah Bisyaroh, lebih sering kita dengar dalam dunia Pondok Pesantren, dibandingkan dengan yang ada di masyarakat. Makna Bisyaroh dalam pondok pesantren adalah pesangon atau insentif. Pergeseran makna Bisyaroh dari “kabar gembira” menjadi “pesangon atau insentif”, tidak terlepas dari tradisi dan kebudayaan yang ada di dalam Pondok Pesantren.

Pada saat ini, kususnya di kalangan pesantren, Istilah Bisyaroh (pesangon) digunakan untuk sebutan gaji atau bayaran terhadap para pengurus atau ustad atas dasar jasa layanan, atau jasa pengajaran di podok pesantren. Pemahaman ini, bisa anda jumpai dalam pondok pesantren salaf, seperti; Pondok pesantren Kempek, Babakan, Pesantren Lirboyo, Pesantren Al Anwar Sarang, dan sebagainya. Secara keumuman dalam pesantren, jumlah Bisyaroh itu tidak besar, tidak seperti gaji atau honor yang biasa diterima oleh para pekerja pada umumnya. Hal ini di karenakan, mereka tidak bertujuan untuk berkerja, melainkan untuk tujuan mulia, yaitu mengharap barokah (berkah) dan khidmah (pengabdian) terhadap kiai. Bisyaroh dalam dunia pesantren, lebih pada sikap penghargaan kiai terhadap para pembantunya (pengajar dan pegaiwai yang lain) atas sesuatu yang mereka kerjakan, walaupun, mereka tidak menghapkannya, dalam arti, tanpa bisyaroh pun mereka akan tetap melakukan hal tersebut.

Penulis juga menjumpai atau menemukan istilah bisyaroh dalam masyarakat kususnya di daerah Indramayu. Istilah Bisyaroh yang penulis temukan di masyarakat Indramayu adalah untuk menunjukkan tanda terima kasih atas jasa seseorang yang telah melakukan sesuatu dalam hal ibadah, seperti; bisyaroh untuk mubaliq (penceramah), bisyaroh untuk pemimpin tahlil, dan bisyarah untuk para pemimpin dalam acara-acara keagamaan yang lainnya. Penulis juga menjumpai penggunaan istilah tersebuat dalam masyarakat Cirebon, Jombang, dan Kediri. Hasil wawancara penulis di daerah Indramayu, menunjukkan bahwa istilah bisyaroh berasal dari kalangan pondok pesantren, yang kemudian digunakan dalam masyarakat. Menurut penulis, ini merupakan salah satu contoh terjadinya komunikasi atau hubungan pesantren dengan masyarakat sekitarnya.

Bentuk Bisyaroh

Jenis dari Bisyaroh yang diberikan kepada seseorang sangat beragam, sesuai dengan apa yang dimiliki dan kegiatannya. Bisyaroh tersebut, ada yang berbentuk barang kebutuhan sehari-hari, (besar, pakaian, peralatan mandi, dan lain-lain) dan ada juga yang berbentu uang, sesuai dengan kebiasaan dari masingmasing daerah. Biasanya bentuk bisyaroh di pondok pesantren yang diberikan kepada para pegaiwainya, berupa; beras, peralatan mandi, dan uang, yang cukup dalam waktu satu bulan dengan hidup yang sederhana. Hal ini berbeda, dengan bisyaroh yang di terima oleh para mubalig (penceramah). Para mubalig menerima bisyarah dalam bentuk makanan dan uang.

Tradisi Bisyaroh

Kita sepakat bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang mandiri, baik dari segi materi (kebutuhan keluarga dan operasional pesantren), maupun non materi (kulikulum pesantren). Hal ini, dapat dilihat dari segi masih tetap eksisnya lembaga tersebut dalam kurun waktu yang panjang. Pondok pesantren dengan sosok figure besar seorang kiai akan terus mengelola pondok pesantrennya agar tetap eksis, baik dari segi kurikulum, peekonomian dan lulusan yang diinginkan, serta mempertahankan pesantrennya agar tetap menjadi pilihan ditengah-tengah lembaga-lembaga pendidikan yang lain.

Salah satu kontrol kiai dalam memenuhi kebutuhan materi, baik untuk kepentingan keluarga ataupun pesantrennya, dengan cara membuat usaha. Usaha yang biasa digeluti oleh para kiai adalah pertanian dan perdagangan. Kiai dalam memenej usahanya, butuh terhadap para pegawai yang keumuman adalah para santrinya, yang dianggap memiliki kapasitas atau dengan pertimbangan-pertimbangan lain. Disisi lain, kedewasaan santri dan kemauan mereka untuk mandiri (tidak bergantung lagi pada orang tua) serta keinginan mereka untuk meringankan beban orang tua, ada beberapa santri yang ikut serta mengabdi di pesantren sebagai dewan asatidz dan khodim. Hal ini, akan terjadinya komunikasih antara kiai dan santri lebih inten.

Menurut Mansur Hidayat dalam penelitiannya tentang, Model Komunikasi Kyai dengan Santri di Pesantren Raudhatul Qur'an Annasimiyyah, menyatakan bahwa komunikasi antara kiai dengan santri terjadi sangat inten, baik melalui lembaga yaitu pesantren, maupun secara langsung. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa sifat komunikasi kiai ke santri adalah intruksi yang mutlak, sedangkan model komunikasi santri kepada kiai adalah terbatas dalam lingkup persoalan tertentu. Menurutnya komunikasi seperti ini, akan melahirkan sikap keseganan santri kepada kiai, dan model komunikasi ini, akan lebih mudah dalam proses transfer of knowledge, serta dipandang cukup ideal dalam pendidikan akhlak.

Penjelasan di atas, menunjukkan adanya hubungan (komunikasih) timbal-balik antara kiai dan santri dalam mengembangkan pendidikan dan perekonomian pesantren, yang bersifat kelembagaan dan personal. Hubungan ini, bukan hanya hubungan antara guru dan murid, tetapi juga hubungan kemitraan dalam membangun dan mengembangkan pondok pesantren. Penulis berpendapat bahwa hubungan kemitraan dan kebaikan kiai ini, yang memunculkan sejarah adanya istilah bisyaroh dalam pondok pesantren.

Manajemen unik yang ada di pondok pesantren, akan susah bahkan mustahil untuk di praktikkan ke dalam lembagalembaga pendidikan yang lain, di luar pondok pesantren. Lembaga pendidikan di luar pesantren akan kesusahan dalam menjaring tenaga handal, bila menggunakan system bisyaroh dalam menggaji karyawannya. Ada beberapa penelitian bahwa system bisyaroh adalah salah satu dari kelemahan pondok pesantren, dengan alasan minimnya bisyaroh yang diterima pegawai. Hal ini akan berdampak pada sebagian pegawai yang kurang puas dengan minimnya insentif, atas dasar tesebut, kemudian pegawai akan bercabang dengan mencari pekerjaan lain agar dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Penulis tidak sependapat dengan kesimpulan tersebut. Hemat penulis, hal tersebut, kemungkinan besar ada dilembaga pendidikan yang lain, bukan pondok pesantren, dengan alasan, tujuan para pegawai di pondok pesantren bukan untuk bekerja, berbeda dari lembaga-lembaga yang lain.

Pada awalnya, masyarakat Indonesia juga memiliki tradisi yang menyerupai system bisyaroh, yang kita kenal dengan gotongroyong. Kita masih menjumpai, masyarakat dengan inisiatifnya sendiri akan membantu tetangganya yang sedang memiliki hajat atau musibah, tetapi tradisi ini, lama kelamaan sudah mulai luntur, seiring dengan perubahan social budaya masyarakat.

Kesimpulan

Model penggajian bisyaroh (pesangon) hanya dapat di praktikkan dalam dunia pesantren, dan akan kesulitan jika dipraktikkan pada lembaga-lembaga yang lain. Hal yang membedakan hal tersebut yaitu;

  1. Tujuan pegawai (khodim) di pondok pesantren bukan untuk bekerja, tetapi pengabdian (mencari berkah/barokah), berbeda dari tujuan para pegawai pada lembaga-lembaga lain, di luar pondok pesantren.
  2. Para pegawai di pondok pesantren keumumannya adalah para santri (murid) pondok tersebut.
  3. Para pegawai di pondok pesantren keumumannya belum menikah, sehingga kebutuhan materi masih relative minim.
  4. Kaderisasi atau regenerasi para pegawai di pondok pesantren berjalan dinamis.

[Ayatullah]

Sumber:

M. Dian Nafi’ dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren (Yogyakrta: Forum Pesantren, 2007)
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, esai-esai pesantren, (yogyakarta: LKiS, 2001)
Abdurrahman Wahid, Prolog, Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, ed. Marzuki Wahid dkk. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Mansur Hidayat, Model Komunikasi Kyai dengan Santri di Pesantren, Jurnal Komunikasi ASPIKOM, Volume 2 Nomor 6, Januari 2016


SUMBER : ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)
 

Ikuti juga:
Tanya Jawab dalam Konsultasi Siap Menikah Umur 25 Tahun

Diagram Sanad Keilmuan Ulama NU dari Rasulullah sampai Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari (satu-satunya di internet)