Menjadi Alim Itu Penting karena Islam adalah Agama yang Paling Masuk Akal

 
Menjadi Alim Itu Penting karena Islam adalah Agama yang Paling Masuk Akal
Sumber Gambar: istockphoto.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Alim itu penting sebab tidak bisa dipungkiri bahwa orang alim itu kalau berfatwa ditentukan bisa masuk akal. Misalkan ada keterangan di dalam Kitab Al-Baijuri di Bab Wujubul Gusli. Salah satu perkara yang menjadi wajibnya mandi di antara sebabnya adalah seorang kafir yang baru masuk Islam.

Di dalam syarahnya dijelaskan untuk tidak melakukan mandi dahulu, tetapi lebih tepatnya didahulukan harus mengucapkan dua kalimat syahadat langsung. Alasanya, karena kalau sampai harus mandi terlebih dahulu berarti kita ikut terlibat membiarkan dia dalam kekafiran beberapa menit, padahal semestinya bisa menghilangkan kekafiran saat itu juga.

Orang kafir yang telah mengucapkan kalimat syahadat sebab berlindung dari pedang saja, tetap disahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Apalagi jika orang kafir itu sadar lalu ingin syahadat masuk islam, maka lebih tepatnya langsung saja bersyahadat.

Pandangan ini jelas benarnya. Bahkan Asbabun Nuzul Surat An-Nisa ayat 94, jelas terkait dengan persolan tersebut. Allah SWT berfirman;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا ضَرَبْتُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَتَبَيَّنُوْا وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ اَلْقٰىٓ اِلَيْكُمُ السَّلٰمَ لَسْتَ مُؤْمِنًاۚ تَبْتَغُوْنَ عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۖفَعِنْدَ اللّٰهِ مَغَانِمُ كَثِيْرَةٌ ۗ كَذٰلِكَ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: ‘Kamu bukan seorang mukmin (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu juga lah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Karena itu, kita tidak boleh berkomentar dengan tudingan kafir ketika ada orang yang telah mengucapkan Tahlil. Artinya siapapun yang mengucapkan kalimat syahadat meskipun kita tidak cocok, tapi kita harus tetap mengatakan bahwa dia seorang yang mukmin.

***

Di dalam Surat An-Naml ayat 91, Allah SWT berfirman;

إِنَّمَآ أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَٰذِهِ ٱلْبَلْدَةِ ٱلَّذِى حَرَّمَهَا وَلَهُۥ كُلُّ شَىْءٍ ۖ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ

Artinya: “(Katakanlah wahai Muhammad kepada Kafir Makkah): Sesungguhnya aku diperintahkan untuk hanya menyembah Tuhan negeri ini (Makkah), yang telah memuliakan negeri ini, dan segala sesuatu hanyalah milik-Nya belaka. Dan aku diperintahkan agar menjadi bagian dari orang-orang yang berserah diri.”      

Dalam hal ini Allah SWT mengistilahkan “Rabb” Kota Mekah. Yakni, Tuhan yang telah memberikan kehormatan pada tanah Makkah. Maknanya di kota tersebut diharamkan melakukan sesuatu yang tercela.

Allah menjadikan kota Makkah ini sebagai kota aman dan sentosa. Di kota ini tidak boleh ditumpahkan darah, tidak boleh berburu hewan liar dan tidak boleh mencabut rerumputan yang ada. Semua ini merupakan bagian dari nikmat yang diberikan Allah SWT kepada Kota Mekah.

Lalu, dari sini bisa diambil pelajaran. Salah satu hikmah yang dapat dipetik dalam fakta ini adalah bahwa kita harus memiliki niat berangkat haji, meskipun sekarang takdirnya masih belum mampu, tetap kita niatkan dulu. Karena bagaimanapun Kakbah itu juga menjadi pusatnya islam. Persoalan ditakdirkan tidak mampu itu hanya urusannya Allah. Dan yang terpenting itu adalah kita tetap niatkan untuk Haji dan Umroh.

Kalau kita sejenak merenungkan tentang orang-orang yang memiliki keterbatasan tapi tetap mendapatkan kesempatan bisa menunaikan ibadah haji, maka kita akan menemukan pelajaran yang sangat berharga.

Banyak sekali cerita inspiratif terkait haji. Salah satunya adalah seorang tukang tambal ban yang ditakdirkan bisa berangkat haji. Orang ini sebelumnya telah menabung Rp. 5.000 setiap hari. Setelah beberapa tahun konsisten, Alhamdulillah kemudian ditakdirkan oleh Allah SWT bisa berangkat haji. Selian itu ada juga berita tentang tukang becak dari Jombang yang juga bisa berangkat haji. Lalu ada orang Madura, seorang tukang parkir yang ditakdirkan juga bisa berangkat haji. Dari kisah-kisah ini, kalau kita menyempatkan diri untuk merenung sejenak, betapa fakta ini adalah bukti bahwa semuanya adalah atas kehendak Allah SWT dan ini juga menjadi peringatan bagi kita.

***

Kalau kita membaca sejarah, kita akan tahu bahwa Mekah dahulu itu namanya Bakkah. Di zaman Nabi Adam itu sudah ada cikal bakal Kakbah berupa cekungan air di antara gunung-gunung Jabal Qubais atau gunung-gunung di sekitar Makkah.

Ketika Nabi Adam bertanya kepada Tuhan, “Saya tidak tahu Ka’bah itu bagaimana ya Rabb?” Tuhan menjawab; “Kamu carilah Rabwah (Buih air) di cekungan itu.” Tempat cekungan itu disebut Kakbah.

Lalu di zaman Nabi Ibrahim a.s. Kakbah dibangun pakai batu, kemudian dianggap pendiri Kakbah itu Nabi Ibrahim. Padahal sebenarnya Nabi Ibrahim bukanlah sebenar-benarnya pendiri awal, karena dari Nabi Adam sudah thawaf di Kakbah. Tetapi di zaman Nabi Ibrahim ini dibangun lagi, sampai pada masa Quraisy yakni datuknya Nabi Muhammad SAW. Jadi dari sini jelaslah bersambung sampai ke Nabi Ibrahim keterkaitan Nabi Muhammad SAW.

Ada fakta sejarah terkait dengan Sayyid Abdul Mutthalib, seorang tokoh Quraisy yang merupakan kakeknya Nabi Muhammad. Ketika Nabi Muhammad SAW akan lahir, Kakbah sempat diserang oleh Raja Abrahah. Sebenarnya Abrahah ini adalah seorang raja yang sopan. Pada awalnya dia marah karena Kakbah yang berada di Mekah itu bisa menghasilkan asset ekonomi yang cukup besar. Lalu akhirnya Abrahah berinisiatif membuat Kakbah tandingan. Di dalam prosesnya Kakbah buatan Abrahah ini malah diberi kotoran oleh orang Quraisy, lalu Abrahah marah dan bersumpah akan menghancurkan Kakbah yang ada di Mekah.

Dikisahkan bahwa sebelum menyerang Mekah dia menyandera binatang ternak orang-orang Mekah, termasuk juga unta-untanya Abdul Muttholib yang jumlahnya kurang lebih 100 ekor unta. Keterangan ini ada di dalam Kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Ishaq.

Saat itu Abrahah bertanya; “Siapa orang di sini yang paling dihormati? Lalu ada yang menjawabnya bahwa orang yang dihormati itu tidak lain adalah Abdul Muttholib.

Lalu Abdul Muttholib menemui Abrahah. Dan saat itu Abrahah merasa panik melihat Abdul Muttholib. Abrahah terkesima menatap Abdul Muttholib yang begitu gagah dan tampan. Padahal sebelumnya ia tidak pernah merasa demikian. Sampai pada akhirnya ia turun dan duduk sejajar dengan Abdul Muttholib meski sebelumnya ia tidak pernah duduk sejajar dengan siapapun.

Dalam kesempatan itu Abrahah berkata; “Saya itu kesal dengan umat anda yang mengotori Kakbah saya, sekarang akan saya balas dengan merobohkan Kakbah Makkah ini. Tetapi kamu saya jamin aman dan seluruh penduduk Makkah aman.”

Lalu Abdul Muttholib menjawab dengan santai; “Kamu tak perlu membahas Kakbah, sebab Kakbah itu ada yang memiliki. Sekarang yang penting itu kembalikan saja unta-unta saya.”

Abraha lalu semakin kaget sampai dia menertawakan Abdul Mutthollib seraya berkata kepada kawan-kawannya; “Lihatlah Abdul Muthollib ini, begitu terhormat di kaumnya namun tidak memikirkan keselamatan Kakbah, tetapi malah mempedulikan untanya. Saya itu menyesal menganggap anda mulia dan terhormat, ternyata anda hanya memikirkan harta, yaitu untamu.”

Tapi Karena Abdul Muthollib itu orang alim, jadi jawabannya enak sekali; “Sebab unta ini adalah milikku, apa yang menjadi milikku kembalikanlah. Sedangkan Kakbah ini ada yang memiliki.”

Mendengarkan jawaban itu Abrahah pun kaget sebab jawaban Abdul Muttholib ini ternyata sangat masuk akal.

Lalu unta pun dikembalikan. Abdul Muttholib pun pulang dengan tenang. Di dalam perjalanan pulang, Abdul Mutthollib mampir menuju Kakbah di pintu Kakbah, Multazam ia berdoa sejenak, “Tuhan, aku tahu kalau Kakbah ini milik-Mu dan Engkaulah yang akan menjaganya.”

Akhirnya Kakbah itu ditinggalkan dan Abdu Muthollib mengajak kaumnya untuk naik ke gunung melihat peristiwa apa yang akan terjadi kepada orang-orang yang akan merusak Kakbah.

Dan terjadilah peristiwa burung Ababil itu. Sebagaimana terekam di dalam Surat Al-Fil 1-5. Allah SWT berfirman:

 اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِۗ اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍۙ وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ

Artinya: “Tidakkah engkau (Nabi Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong. Yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar. Sehingga Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).”

Integritas seorang Abdul Muttholib ini kemudian menjadi satu bukti yang tidak bisa dipandang sebelah mata oleh siapapun. Dan dari sini kita juga dapat mengambil pelajaran bahwa Nabi itu memiliki garis nasab yang baik, yakni dari seorang tokoh yang dihormati. Dari nasab terbaik di kaumnya. Kelak kepemimpinan Nabi Muhammad SAW tidak terbantahkan dan tidak ada celah untuk meruntuhkan kredibelitasnya.

Kembali kepada kisah doa Abdul Muttholib. Bahwa orang alim itu meski berdoa sebentar, tapi kemudian diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan dan tinggal melihat apa yang akan terjadi.

Jadi seperti itulah Kakbah dijaga oleh Allah SWT. Tapi bagaimanapun di sisi lain, Kakbah itu juga makhluk, yang mana bisa saja hancur. Dalam sejarah tercatat bahwa suatu saat pernah terjadi banjir besar, yakni ketika Nabi SAW berumur 25-35 tahun. Dan semua ini tidak lain adalah kehendak Allah SWT.

Dari sini perlu kiranya kita belajar sungguh-sungguh. Harus mengaji ilmu secara utuh dan lengkap. Kita tahu bahwa Kakbah itu dijaga oleh Allah seperti di zaman Abrahah itu, tetapi juga pernah direndam banjir hingga rusak. Ini untuk memperlihatkan bahwa selain Allah SWT, semuanya adalah makhluk yang pasti bisa rusak.

Kita tidak boleh berpatokan pada satu hukum saja. Tetapi berpeganglah pada hukum semua yang pernah disampaikan oleh Allah SWT. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang bergaul dan berdakwah kepada kaum kafir, tetapi beliau juga sering memberi pesan agar tidak bergaul dengan orang kafir, ini tergantung konteks yang dihadapi.

Di dalam Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah tercatat salah satu nasihatnya Luqmanul Hakim itu adalah bahwa orang alim itu jangan berteman dengan orang yang hanya ingin melihat kamu sebagai orang yang terjaga dari dosa. Karena orang atau teman yang demikian itu adalah sosok yang sombong. Tidak bisa diterima kalau hanya membayangkan orang lain harus ideal. Padahal ini adalah hal yang sangat mustahil. Jadi perhatikanlah ini, jangan berkawan dengan orang yang hanya ingin melihat kita selalu benar.

Cara berpikir yang benar dan seutuhnya perlu dilatih dengan senantiasa belajar sampai tuntas. Sebab ini penting sekali untuk memahami segala hal.

Misalnya kita membahas kaidah ilmu Ushul Fiqih. Kita tahu bahwa Allah itu menjaga Kakbah. Artinya, secara hukum kita juga wajib menjaganya. Lalu ada petugas pengaman Kakbah yaitu para Askar. Sebab ada kejadian dahulu ketika tahun 70-an atau 80-an. Ada orang Yahudi yang menyelundupkan senjata dibungkus kain kafan, lalu dibawa memasuki wilayah Kakbah seperti mayit yang dibungkus. Lalu ditembakan senjata itu kepada jamaah yang ada disana. Sehingga Arab Saudi belajar dari peristiwa ini dengan meletakkan pasukan Askar yang menjaga keamanan wilayah Kakbah. Bahkan ketika jamaah sedang sholat ia tetap berdiri untuk berjaga. Ini selaras ketika di zaman Nabi dan para sahabat di suasana perang, tetapi tetap menjaga sholat. Sehingga bergantian, ada yang sholat mengikuti Nabi SAW, ada yang berjaga.

Nah dari banyak hal yang dibahas ini kita semakin sadar bahwa menjadi alim itu penting. Sebab berkahnya ada orang alim itu, maka agama itu benar-benar masuk akal. Dan banyak orang yang akan semakin sadar dan tertarik memahami secara rasional perihal Islam. []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian Gus Baha. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

___________

Penulis: Athallah Hareldi

Editor: Hakim