Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono II 

 
Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono II 

Daftar Isi Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono II 

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Kisah Hidup Sri Sultan Hamengku Buwono II
3.    Tiga periode Sri Sultan Hamengku Buwono II di Tahta Kesultanan Yogyakarta.
4.    Karya Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono II.
5.    Referensi.

1 Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

Sri Sultan Hamengku Buwono II dilahirkan dengan nama asli Raden Mas Sundoro pada hari Sabtu Legi tanggal 7 Maret 1750. Sebutan lain untuk Sultan Hamengku Buwono II adalah Sultan Sepuh. Konon, nama asli Sultan Hamengku Buwono II tersebut merujuk pada tempat beliau dilahirkan, yakni di lereng Gunung Sindoro, daerah Kedu Utara. Beliau  dilahirkan ketika sang ayah sedang menjalani Perang Suksesi Jawa III melawan VOC dan Kesunanan Surakarta di bawah kekuasaan Pakubuwono III. Karena itulah, masa kecil beliau bisa dikatakan kurang membahagiakan.

Dalam situasi Perang Suksesi Jawa III, Sultan Hamengku Buwono I praktis tidak sempat bertemu dengan putranya, Raden Mas Sundoro. Dari lahir sampai usia lima tahun, RM Sundoro berada dalam asuhan sang ibu, Kanjeng Ratu Kadipaten, permaisuri kedua Sultan Hamengku Buwono I. Namun, masa-masa itu pun berakhir seiring dengan berakhirnya perang Suksesi Jawa III yang ditandai dengan Perjanjian Giyanti. Setelah Sultan Hamengku Buwono I selesai membangun Keraton Yogyakarta, maka RM Sundoro pun mulai tinggal di keraton dengan status sebagai seorang pangeran (putra raja).

1.2 Riwayat Keluarga

Dalam pernikahannya Sri Sultan Hamengku Buwono II di karuniai tujuh puluh sembilan putra dan putri, yaitu:

  1. GRM. Surojo (bergelar Hamengkubuwana III)
  2. GKR. Bendoro, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Sumodiningrat, cucu Hamengkubuwana I dari puterinya RAy. Joyoningrat.
  3. GKR. Hangger, menikah dengan Danureja II, patih Yogyakarta.
  4. Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi
  5. GKR. Maduretno, menikah dengan Rangga Prawiradirja III.
  6. Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkudiningrat (1778-1824), kakek buyut Soekemi Sosrodihardjo (ayah Soekarno, Presiden Indonesia ke-1)
  7. GKR. Ayu, menikah dengan Paku Alam II
  8. GRM. Sudaryo, mati muda.
  9. GKR. Anom, menikah dengan R A A T Danuningrat I atau Sayyid Alawi bin Ahmad bin Sa'id bin Abdul Wahab bin Sulaiman Basyeiban Bupati Pertama Magelang.
  10. GRM. Sumadi, mati muda.
  11. GKR. Timur (lahir 1800), menikah dengan Raden Mas Salyo/KRT. Joyowinoto/KPH. Notokusumo/Suryoningprang, putera Paku Alam I.
  12. Gusti Raden Ajeng Sudarminah
  13. GKR. Sasi, menikah dengan Danureja III, patih Yogyakarta.
  14. Bendara Raden Ayu Gusti Wiryonegoro.
  15. Bendara Raden Ayu Pringgodiningrat
  16. Bendoro Pangeran Haryo Martosono/Murdoningrat (1774-1826), kakek canggah Margono Djojohadikoesoemo, pendiri Bank Negara Indonesia.
  17. BRAy. Prawirodiningrat II
  18. BRAy. Sindurejo
  19. BRAy. Jayengrono
  20. BRAy. Cokrodiwiryo
  21. BRAy. Joyoningrat
  22. BPH. Dipowiyono (1771-1815)
  23. BPH. Wiromenggolo
  24. BRAy. Prawirodiningrat I
  25. BRAy. Wiryowinoto
  26. BRAy. Kartodipuro
  27. BRAy. Yudhoprawiro
  28. BPH. Pamot (lahir 1775)
  29. BRAy. Prawirokusumo (lahir 1800), menikah dengan Raden Panji Prawirokusumo, cucu Hamengkubuwana I dari puteranya BPH. Hadikusumo II.
  30. BPH. Singosari
  31. BRAy. Prawirodiningrat II
  32. BRAy. Bayusentono
  33. BRAy. Prawiroyudho
  34. BRAy. Ronggo Prawirosentiko
  35. BRAy. Sosrowijoyo
  36. BPH. Silarong (lahir 1785)
  37. BRAy. Martodiningrat
  38. BPH. Senokusumo/Notopuro
  39. BPH. Hadiwinoto I (gugur tahun 1826)
  40. BPH. Sutowijoyo, wali raja untuk Hamengkubuwana V
  41. BRAy. Sosronegoro
  42. BPH. Sosronegoro II
  43. BRAy. Mangkuyudho
  44. Bendara Raden Mas Muryani/BPH. Notoboyo (lahir 1795)
  45. BPH. Notodipuro/Purbowinoto (lahir 1801)
  46. BPH. Joyokusumo I (1787-1829)
  47. BRAy. Notoyudho
  48. BRAy. Ngabdani
  49. BRAy. Nitinegoro
  50. BRAy. Sosrowijoyo II
  51. BPH. Abdul Arifin/Hadiwijoyo (lahir 1794), menikah dengan puteri BPH. Hadikusumo II (putera Hamengkubuwana I).
  52. BPH. Djuminah/BPH. Teposono/BRM. Kasim (lahir 1797)
  53. BRAy. Secodirjo
  54. BPH. Martosono/Puger, mertua Paku Alam III.
  55. BRAy. Puspodiningrat
  56. BRAy. Sosrowinoto
  57. BRAy. Prawirowinoto
  58. BRM. Yakub/BPH. Dipowijoyo (lahir 1793), menantu Raden Tumenggung Sosrokusumo, Bupati Grobogan.
  59. BRAy. Tomoprawiro
  60. BRAy. Notorejo
  61. BRAy. Yudhowijoyo
  62. BRM. Japar/BPH. Singosekar/Riyokusumo (lahir 1798)
  63. BRAy. Samparwadi
  64. BPH. Purwokusumo/Bintoro
  65. BrAy. Reksokusumo
  66. BRAy. Jayengsastro
  67. BRAy. Sosrodipuro
  68. BRAy. Sosrodipuro II
  69. BRAy. Prawiroloyo
  70. BRAy. Projodiningrat
  71. BRAy. Notonegoro I
  72. BRAy. Notonegoro II
  73. BRAy. Joyodirjo
  74. BPH. Mangkudipuro/Purwokusumo/Joyokusumo, ayah mertua Hamengkubuwana VII.BRAy. Martokusumo
  75. BPH. Wijil/Hadiwijoyo II
  76. BPH. Tejokusumo/Hadinegoro
  77. BPH. Timur/Pujokusumo
  78. BRAy. Dewi, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Martonegoro, cucu Hamengkubuwana I dari puteranya BPH. Demang Tanpo Nangkil.
  79. BPH. Timur

1.3 Wafat

Sri Sultan Hamengku Buwono II meninggal pada 3 Januari 1828 pada usia 77 tahun. Beliau dimakamkan di Pajimatan Kotagede, atau makam Raja Mataram. Sri Sultan Hamengku Buwono II adalah satu-satunya Raja Mataram Era Kasultanan Yogyakarta yang tidak dimakamkan di Imogiri tapi di Kotagede.

Setelah Sultan Hamengku Buwono I wafat, pewaris tahta Kesultanan Mataram jatuh kepada putranya yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono II. Siapakah Sultan Hamengku Buwono II itu? Dan, bagaimana perkembangan Kesultanan Yogyakarta di bawah pemerintahannya? Berikut uraiannya.

2 Kisah Hidup Sri Sultan Hamengku Buwono II

Jika ada sultan dari Kesultanan Yogyakarta yang sangat gigih menentang kolonial Belanda, maka beliau adalah Sultan Hamengku Buwono II. Betapa tidak, dari awal beliau naik tahta hingga akhir hayatnya, beliau tidak pernah satu kali pun berkompromi dengan penjajah. Beliau dengan lantang menentang VOC dan antek-anteknya yang sudah lama menjajah tanah Jawa. Bahkan, kegigihan beliau melawan VOC melebihi kegigihan sang ayah, Sultan Hamengku Buwono I. Sikap antipati terhadap VOC ini ditegaskan dalam berbagai sumber sejarah, terutama sumber sejarah arsip kolonial. Dalam sumber itu, diceritakan bahwa Sultan Hamengku Buwono II adalah orang yang sangat kejam, keras kepala, dan tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda.

Sikap antipati Sultan Hamengku Buwono II terhadap penjajah tentu saja tidak bisa dilepaskan dari gen yang mengalir di dalam darahnya. Seperti kita ketahui, Sultan Hamengku Buwono II adalah putra dari Sultan Hamengku Buwono I yang juga anti terhadap penjajah bahkan sikap perlawanan beliau terhadap penjajah membuatnya masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2006. Sebagai putra dari Sultan Hamengku Buwono I alias Mangkubumi, maka Sultan Hamengku Buwono II juga keturunan atau trah dari Kerajaan Majapahit.

Mungkin, kehidupan masa kecil yang dilalui RM Sundoro di pengungsian itulah yang membuat beliau memiliki sikap keras dan kejam terhadap penjajah. Sejak usia muda, beliau sudah menjadi musuh utama Belanda yang di anggap telah melakukan intervensi terlalu jauh dalam kehidupan Keraton Yogyakarta yang menurunkan wibawa raja-raja Jawa. Sifat kerasnya itu telah di ketahui oleh Sultan Hamengku Buwono I ketika RM Sundoro di khitan pada tahun 1758. Karena itulah, Sultan Hamengku Buwono I mengangkat RM Sundoro sebagai putra mahkota. Padahal, waktu itu, ada calon lain yang lebih tepat, yakni putra-putranya dari permaisuri pertama GKR Kencono. Pengangkatan RM Sundoro sebagai putra mahkota semakin kuat ketika dua saudaranya yang lain (dua putra Sultan Hamengku Buwono I dari GKR Kencono) tidak memenuhi syarat sebagai putra mahkota.

Sultan Hamengku Buwono I menyadari bahwa putranya, RM Sundoro, mampu mempertahankan kewibawaan dan menjaga keutuhan wilayah Kesultanan Yogyakarta dari ancaman dan rongrongan pihak asing. Karena itu, tekadnya untuk mengangkat RM Sundoro sebagai putra mahkota semakin kuat. Meskipun Sultan Hamengku Buwono I waktu itu terikat perjanjian dengan VOC, sebagaimana tertera dalam Perjanjian Giyanti, yang mengatakan tidak boleh mengangkat putra mahkota tanpa persetujuan dari VOC, tetap saja Sultan Hamengku Buwono I mengangkat RM Sundoro sebagai calon pewaris tahtanya pada tahun 1785. Dengan demikian, tidak ada satu hal pun yang berhasil menggagalkan niat Sultan Hamengku Buwono I untuk mengangkat RM Sundoro sebagai putra mahkota Kesultanan Yogyakarta.

Sesuai dengan yang diharapkan Sultan Hamengku Buwono I, RM Sundoro langsung menunjukkan sikap penentangan terhadap VOC setelah diangkat sebagai putra mahkota. Salah satu langkah pertama yang diambilnya waktu itu adalah melindungi Keraton Yogyakarta dari ancaman VOC.

Pada waktu itu, VOC telah membangun benteng Rustenburg pada tahun 1765. Dalam pembangunan itu, sebagian materialnya dibebankan kepada Sultan Hamengku Buwono I. RM Sundoro menyadari bahwa pembangunan benteng tersebut menjadi ancaman bagi keutuhan Keraton Yogyakarta. Karena itu, beliau berusaha mencegah agar benteng itu tidak terwujud. Dengan segala daya dan upaya, beliau pun berhasil menghambat pembangunan benteng itu. Akibatnya, hingga tahun 1785, bangunan benteng itu pun tidak jadi-jadi. Pembangunan benteng tetap diteruskan hingga RM Sundoro naik tahta menjadi Sultan Hamengku Buwono II.

RM Sundoro sempat akan dijodohkan dengan putri Pakubuwono III dari Surakarta. Hal ini terjadi ketika Sultan Hamengku Buwono I berkunjung ke Surakarta dalam rangka konsolidasi politik pada tahun 1763 dan 1765. Sultan Hamengku Buwono I berharap dengan penyatuan putranya dengan putri Pakubuwono III, wilayah Yogyakarta dan Surakarta dapat di satukan kembali sehingga dapat mengembalikan wilayah dari Kerajaan Mataram Islam. Hal yang sama pun di harapkan oleh pihak Pakubuwono III. Namun, sayangnya, rencana itu di gagalkan oleh Pangeran Adipati Mangkunegoro I yang pada waktu itu juga menginginkan putri yang sama. Dengan kejadian ini, maka hubungan antara Yogyakarta dan Surakarta pun kembali merenggang dan memanas.

Setelah memegang tampuk pemerintahan tahun 1792, Sultan Hamengku Buwono II terus menunjukkan tekadnya untuk menjunjung tinggi kebesaran tradisi dan kewibawaan Kesultanan Yogyakarta. Sikap itu kemudian menciptakan benturan dengan tuntutan dan kepentingan para penguasa kolonial yang ingin memaksakan kehendaknya kepada Raja-raja Jawa. Atas dasar itu, Sultan Hamengku Buwono II selalu melawan tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Karena itu, pihak VOC pun melakukan banyak cara untuk melengserkannya dari tahta Yogyakarta.

Sebagai konsekuensi dari sikap kerasnya terhadap VOC, selama hidupnya, Sultan Hamengku Buwono II mengalami dua kali penurunan tahta, yakni pada tahun 1811 oleh Dandles dan pada tahun 1812 oleh Raffles. Selain itu, beliau juga mengalami hukuman buang sebanyak tiga kali, yakni dibuang ke Penang pada 1812, di buang ke Ambon pada 1817, dan dibuang ke Surabaya pada 1825. Namun, pemerintah kolonial akhirnya mengakui kewibawaan Sri Sultan Hamengku Buwono II yang terdesak sebagai akibat dari pecahnya Perang Diponegoro. Sang sultan pun dibebaskan dari pembuangannya dan dilantik kembali menjadi raja di Kesultanan Yogyakarta. Tetap saja, Sultan Hamengku Buwono II tidak mau berkompromi dengan Belanda. Terlebih, waktu itu, VOC tengah kewalahan menghadapi Pangeran Diponegoro. Sampai akhir hayatnya, Sultan Hamengku Buwono II tidak pernah mau bekerja sama dengan Belanda, apalagi untuk menangkap Pangeran Diponegoro atau menghentikan perlawanannya.

3 Tiga periode Sri Sultan Hamengku Buwono II di Tahta Kesultanan Yogyakarta.

01. Periode I (2 April 1792 hingga Akhir 1810)

Periode pertama dari pemerintahan Sultan HB II berlangsung dari tanggal 2 April 1792 (beliau dilantik menggantikan ayahnya, Sultan Hamengku Buwono I, yang wafat pada tahun tersebut) sampai akhir tahun 1810. Sebagai raja kedua Kesultanan Yogyakarta yang baru dilantik, langkah pertama yang diambilnya dalam bidang politik adalah mengganti para pejabat senior yang sudah tidak sesuai dengan kebijakan politiknya. Ada beberapa pejabat senior yang dipensiunkan oleh Sultan Hamengku Buwono II di masa-masa awal pemerintahannya, di antaranya Patih Danureja I yang digantikan cucunya dengan gelar Danureja II. Namun, sayangnya, ternyata Patih Danureja II ini kelak berseberangan politik dengan Sultan Hamengku Buwono II. Beliau lebih memihak (setia) kepada VOC daripada rajanya sendiri.

Selain mengganti para pejabat senior, kebijakan lain yang dilakukan Sultan Hamengku Buwono II pada periode pertama pemerintahannya adalah menentang dan bersikap anti terhadap VOC. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Sultan Hamengku Buwono II adalah raja yang paling keras dan paling anti terhadap VOC. Bahkan, sikap anti-VOC-nya itu melebihi yang dilakukan oleh sang ayah. Karena itulah, berkali-kali Sultan Hamengku Buwono II melakukan perlawanan terhadap VOC, baik dengan cara halus maupun kasar. Puncak dari perlawanan itu membuahkan hasil dengan dibubarkannya VOC pada tahun 1799. Meskipun VOC telah runtuh, Belanda masih berkuasa di tanah Jawa. Kekuasaan ‘VOC itu kemudian diganti oleh Hindia Belanda.

Pada periode pertama Sultan Hamengku Buwono II memerintah, tepatnya tahun 1808, Herman Willem Daendels datang ke Jawa sebagai pengganti dari Gubernur Jenderal VOC yang telah runtuh itu. Daendels adalah seorang anti feodalisme. Waktu itu, Daendles mewakili Prancis dari kerajaan Belanda yang kala itu di pimpin oleh Raja Louis, adik dari Napoleon yang menjadi raja Belanda.

Dalam pemerintahannya, Daendles bertindak sangat radikal terhadap raja-raja di Jawa, khususnya Surakarta dan Yogyakarta. Beliau menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan oleh raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen), yaitu wakil-wakil Belanda yang ditempatkan di dalam kerajaan-kerajaan di Jawa untuk mengawasi berbagai kegiatan raja. Keberadaan minister ini merupakan dampak dari perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang salah satu poinnya mengatakan bahwa pemerintah Belanda memiliki otoritas penuh atas kerajaan-kerajaan di Jawa, khususnya Yogyakarta dan Surakarta. Dalam aturan baru itu, Deandles menuntut agar wakil-wakilnya di perlakukan sama seperti raja.

Mengenai aturan ini, antara Yogyakarta dan Surakarta merespons dengan sikap berbeda. Pihak Surakarta, yang waktu itu dipimpin Pakubuwono IV, justru menerima secara taken for granted aturan tersebut. Namun, tidak demikian dengan pihak Yogyakarta di bawah pimpinan Sultan Hamengku Buwono II. Sultan Hamengku Buwono II secara terang-terangan menolak aturan tersebut karena di anggap merendahkan derajat raja-raja Jawa. Sultan Hamengku Buwono II menganggap aturan itu terlalu berlebihan dan melanggar kode etik serta tradisi kerajaannya.” Karena penolakan itu, maka Deandles memimpin pasukan militernya untuk menyerang Kesultanan Yogyakarta.

Sultan Hamengku Buwono II tidak hanya menolak dan menentang untuk memperlakukan minister sama seperti raja, tetapi juga menolak beberapa aturan baru lain yang ditetapkan oleh Daendels. Berikut ini adalah aturan-aturan baru yang ditentang oleh Sultan Hamengku Buwono II.

Pertama perjanjian yang menetapkan bahwa tanah-tanah yang diberikan kepada sultan pada setiap pengangkatannya hanya sebagai pinjaman. Aturan ini jelas membuat Sultan Hamengku Buwono II tersinggung dan marah kepada Belanda. Sebab, dengan aturan tersebut, beliau seolah-olah harus meminjam tanahnya sendiri.
Kedua, aturan Daendels yang meminta pengambilalihan hak pengelolaan hutan dan penyerahan monopoli penebangan kayu milik raja-raja Jawa. Menurut aturan ini, penebangan kayu harus dikuasai oleh Belanda untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur pertahanan di Jawa. Seperti kita ketahui, Daendels adalah gubernur yang memerintahkan pembangunan infrastruktur jalan raya dari Anyer hingga Panarukan.

Itulah beberapa aturan baru Daendels yang ditolak dan ditentang oleh Sultan Hamengku Buwono II. Selain menentang Daendels, Sultan Hamengku Buwono II juga melakukan pembersihan pejabat kerajaan yang berpihak kepada penjajah. Salah satunya adalah patih yang pernah diangkat sendiri oleh Sultan Hamengku Buwono II, yakni Danureja II. Mengingat sang patih yang lebih setia kepada Belanda, maka Sultan Hamengku Buwono II memecatnya dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat, putra Pangeran Natakusuma (saudara Sultan Hamengku Buwono II).

Langkah lain yang ditempuh Sultan Hamengku Buwono II dalam rangka memerangi dan melawan Belanda (penjajah) adalah dengan mendukung pemberontak anti-Belanda yang dipimpin oleh Raden Rangga Prawiradirjo I. Raden Rangga ini adalah besan Sultan Hamengku Buwono II. Sebab, putra KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko, Bupati Toenggoel, menikah dengan putri Sultan Hamengku Buwono II dari istri ampeyannya BMA Yati. Dengan demikian, dukungannya kepada besannya semakin memperkuat hubungan di antara keduanya. Selain besan, Raden Rangga juga paman Sultan Hamengku Buwono II dari pihak ibu Kanjeng Ratu Tegalraya adalah adik KPR Prawirodirjo dengan ayah Kiai Ageng Derpayuda.

Akan tetapi, dukungan Sultan Hamengku Buwono II terhadap Raden Rangga tidak mampu menaklukkan Belanda. Sebaliknya, Belanda malah berhasil menumpas Raden Rangga dan melimpahkan beban tanggung jawab kepada Sultan Hamengku Buwono II, terutama soal biaya perang. Dengan kebijakan tersebut, Sultan Hamengku Buwono ll tidak terima sehingga menyebabkan perang di antara keduanya; Belanda dan Yogyakarta. Peperangan itu terjadi pada. bulan Desember 1810. Waktu itu, Daendels membawa pasukannya menyerbu Yogyakarta. Dalam peristiwa itu, Daendels berhasil menurunkan paksa Sultan Hamengku Buwono II dan selanjutnya diganti dengan Sultan Hamengku Buwono III. Selain menurunkan Sultan Hamengku Buwono II, Belanda juga berhasil menangkap Natakusuma dan Natadiningrat. Karena peristiwa tersebut, kedudukan patih Kesultanan Yogyakarta pun kembali lagi kepada Danureja II. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono II pada periode pertama.

02. Periode II (Akhir 1811-20 Juni 1812)

Sultan Hamengku Buwono II naik tahta untuk kedua kalinya tepat setahun setelah beliau diturunkan paksa oleh Daendels, yakni akhir tahun 1811. Pada bulan Mei tahun itu pula, kekuasaan Daendels berakhir. Ia digantikan oleh J.W. Jansens, yang sayangnya hanya sebentar. Jabatan Jansens sebagai gubernur jenderal hanya beberapa bulan saja. Sebab, setelah itu, pasukan Inggris menyerbu dan memaksa Belanda menyerah kalah di Kali Tuntang, Salatiga, Jawa Tengah. Karena itu, terjadilah pergantian kekuasaan dari Belanda ke Inggris.

Di tengah-tengah pergantian kekuasaan itulah, Sultan Hamengku Buwono II bangkit dan merebut kembali tahta Kesultanan Yogyakarta. Dalam waktu sekejap, Sultan Hamengku Buwono II pun kembali pada tahtanya sebagai sultan keempat (pada periode dua) Kesultanan Yogyakarta. Kemudian, Sultan Hamengku Buwono II kembali menangkap Danureja II dan memerintahkannya agar dihukum mati.

Pada periode pemerintahannya ini, Sultan Hamengku Buwono II tidak lagi menghadapi Belanda, melainkan Inggris di bawah pimpinan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Kehadiran Thomas Stamford Raffles sebagai gubernur jenderal penguasa kolonial Inggris di Jawa turut mengokohkan kekuasaan Sultan Hamengku Buwono II dengan tetap mengakui Sultan Hamengku Buwono II sebagai penguasa di daerah Yogyakarta dan menetapkan Sultan Hamengku Buwono III sebagai putra mahkota. Namun demikian, karena Inggris juga berstatus penjajah, sikap Sultan Hamengku Buwono II tetap tidak berubah. Beliau tetap menentang keras penjajahan Inggris di tanah Jawa. Bahkan, beliau berani bertengkar dengan Thomas Raffles ketika gubernur Inggris itu berkunjung ke Yogyakarta pada bulan Desember 1811.

Penentangan dan perlawanan Sultan Hamengku. buwono II kepada Raffles menyebabkan Sang Sultan mengalami hukuman buang yang pertama, yakni di. buang ke Penang. Hukuman ini berawal dari penolakan Sultan Hamengku Buwono II terhadap permintaan Raffles. Konon, Raffles meminta beberapa wilayah yang menjadi bekas kekuasaan Daendels kepada Sultan Hamengku Buwono II. Wilayah-wilayah itu, antara lain daerah Kedu, Bojonegoro, dan Mojokerto. Namun, Sultan Hamengku Buwono II dengan tegas menolak permintaan tersebut. Karena keinginannya ditolak, maka Raffles kemudian mengirimkan armada perangnya menuju Yogyakarta untuk menundukkan Sultan Hamengku Buwono II. Sultan Hamengku Buwono II pun berhasil ditaklukkan, karena Raffles dibantu oleh putra mahkota. Setelah Sultan Hamengku Buwono II diasingkan ke Penang, Sultan Hamengku Buwono III kemudian diangkat menggantikannya (naik tahta untuk kedua kali).

Sementara itu, posisi Surakarta waktu itu memihak kepada Sultan Hamengku Buwono II. Nah, setelah surat-surat Pakubuwono IV kepada Sultan Hamengku Buwono II diketahui oleh Inggris, maka sebagian wilayah Surakarta juga dirampas oleh Inggris sebagai hukumannya. Selain Sultan Hamengku Buwono III yang diangkat menjadi Sultan Yogyakarta, Pangeran Natakusumo pun karena turut mendukung Inggris diangkat sebagai Pakualam I dan mendapatkan wilayah berdaulat bernama Pakualaman.  Penguasaan Inggris atas tanah Jawa hanya berlangsung empat tahun, yakni sampai tahun 1816. Berakhirnya penguasaan Inggris ini diawali oleh diadakannya Kongres Wina pada awal tahun 1815. Kongres itu dihadiri oleh semua wakil negara Eropa yang terlibat dalam peperangan Napoleon, yaitu serangkaian peperangan yang terjadi selama Napoleon Bonaparte memerintah Prancis (1799-1815), termasuk Prancis.

Salah satu keputusan dalam Kongres Wina itu adalah pemulihan wilayah seperti kondisi sebelum tahun 1795. Dengan demikian, sesuai dengan keputusan itu, maka Inggris (dalam hal ini Raffles) wajib mengembalikan tanah Jawa kepada Belanda. Karena itu, pada bulan April 1815, Raffles mulai bersiap-siap meninggalkan tanah Jawa. Namun, sebelum Raffles benar-benar menyerahkan tanah Jawa kepada Belanda, terlebih dahulu ia mengembalikan semua tawanan yang diasingkan, salah satunya adalah Sultan Hamengku Buwono II.

Sultan Hamengku Buwono II kemudian dikirim kembali ke Batavia oleh Mayor W.-.P. Kree, komandan Fort Cornwallis atas perintah Raffles pada tanggal 10 April 1815.77 Setelah itu, pemerintahan kolonial kembali ke tangan Belanda lagi.

03. Periode III (17 Agustus 1826-2 Januari 1828)

Sultan Hamengku Buwono II kembali naik tahta ketika usianya sudah tua, yakni pada tahun 1826 setelah dibuang oleh Inggris pada periode II pemerintahannya. Nah, pemerintahan pada periode ini hanya berlangsung dua tahun, yakni dari 1826 sampai 1828. Karena, pada tahun 1828, Sultan Hamengku Buwono II menghembuskan napas terakhirnya.

Sebelum Sultan Hamengku Buwono II dibebaskan dari pengasingannya, di Kesultanan Yogyakarta telah terjadi beberapa kali pergantian kepemimpinan, yakni dari Sultan Hamengku Buwono III sampai  Sultan Hamengku Buwono V. Nah, di masa Sultan Hamengku Buwono V inilah, terjadi pemberontakan Diponegoro yang berhasil membuat Belanda kewalahan.

Pangeran Diponegoro adalah putra dari Sultan Hamengku Buwono III dari garwa ampeyan (selir). Nama aslinya adalah Raden Mas Ontowiryo dengan gelar Pangeran Diponegoro. Selain gelar Pangeran Diponegoro beliau juga bergelar "Sultan Abdul Hamid Herucokro Amirul Mukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi.” Karena pemimpin perang (pemberontak) yang berhasil merugikan pasukan Belanda adalah Pangeran Diponegoro, maka perang ini kemudian disebut Perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun sejak 1825-1830.” Perang ini merupakan perang terbesar dan tersengit dalam melawan Belanda, meskipun pada akhirnya kemenangan berada di pihak Belanda yang menyebabkan Pangeran Diponegoro diasingkan dan dibuang ke Makasar.

Pengangkatan Sultan Hamengku Buwono II oleh Belanda dan penurunan Sultan Hamengku Buwono V merupakan salah satu strategi Belanda untuk melawan pemberontakan Diponegoro. Sebab, pada waktu itu, Belanda dibuat kewalahan dan menderita kerugian yang cukup besar. Nah, dengan mengangkat kembali Sultan HB II, diharapkan mampu meredam pemberontakan tersebut. Namun, harapan itu ternyata tidak menjadi kenyataan, karena Sultan Hamengku Buwono II tidak mau membantu Belanda dan beliau keburu wafat. Setelah itu, Sultan Hamengku Buwono V kemudian diangkat kembali sebagai pengganti beliau.

4 Karya Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono II

  1.  Serat Surya Raja  adalah karya sastra yang digubah oleh Sultan Hamengku Buwono II. Dalam bahasa Indonesia, serat ini disebut juga Buku Matahari Raja-raja. Serat ini menggambarkan tentang bagaimana seandainya dua buah kerajaan bersatu kembali di bawah kepemimpinan seorang raja yang arif. Dua kerajaan yang dimaksud adalah dua pecahan Mataram Islam; Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Karya yang hebat ini nantinya menjadi salah satu tanda kebesaran (pusaka) kerajaan yang keramat dari Kesultanan Yogyakarta.Bahkan, sampai kini, Serat Surya Raja masih sering dibacakan dalam acara-acara macapat di daerah Yogyakarta. .
     
  2. Situs Gembirowati Peninggalan lain dari Sultan Hamengku Buwono II adalah berupa situs Gembirowati. Situs Gembirowati ini mirip dengan reruntuhan candi yang terletak di dusun Watugajah, Desa Girijati, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Situs tersebut bukanlah reruntuhan candi, melainkan sebuah pesanggrahan. Situs Gembirowati ini sebenarnya tidak dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono II, tetapi sudah ada sebelumnya. Namun, karena situs ini digunakan oleh Sultan Hamengku Buwono II sebagai pesanggrahan selama memerintah, Situs ini memiliki luas 13.200 meter persegi dan terletak pada ketinggian 138 mdpl. Memiliki struktur bangunan berteras dan berbahan batu putih. Mengenai asal usul situs Gembirowati ini, ada dua legenda yang berkembang di masyarakat, yaitu:
    Pertama, legenda yang menyebutkan bahwa situs Gembirowati merupakan tempat tinggal Jogobiro yang mempunyai saudara bernama Bambang Sumantri. Jogobiro memiliki fisik menyerupai raksasa, sedangkan Bambang Sumantri fisiknya seperti kesatria yang gagah perkasa. Karena Jogobiro iri terhadap keadaan fisik saudaranya, maka terjadilah peperangan di tempat tersebut.

    Kedua, legenda yang menyebutkan situs ini berasal dari cerita perkawinan sedarah antara Dewi Citrowati dengan kakak kandungnya yang sempat terpisah sejak kecil. Sang kakak yang bernama Sri Dipo Kusumo adalah seorang pertapa yang terpesona saat melihat kecantikan Dewi Citrowati. Tetapi, hubungan perkawinan sedarah itu kemudian diketahui oleh orang tua mereka, sehingga mereka diasingkan di daerah pesisir selatan Pulau Jawa. Karena itu, Dewi Citrowati kemudian mendirikan pesanggrahan di Gembirowati. Adapun anak dari hasil perkawinan sedarah tersebut setelah dewasa mendirikan istana dan menjadi penguasa di Bukit Boko, Demikianlah dua legenda tentang asal usul dari situs Gembirowati ini.

5 Referensi

  1. Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  2. Sabdacarakatama, Ki. 2008. Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Narasi.
  3. Abimanyu, Soetjipto. 2015. Kisah Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta: Saufa.
  4. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  5. Marihandono, Djoko, dan Harto Juwono. 2008. Sultan Hamengku Buwono II Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Banjar Aji
  6. Soekanto, Dr.. 1952. Sekitar Jogjakarta. Djakarta: Mahabarata