Sejarah Wayang di Indonesia

 
Sejarah Wayang di Indonesia

Daftar Isi Sejarah Wayang di Indonesia

1.    Asal-usul Wayang
2.    Periode Perkembangan Wayang
3.    Wayang Budaya Indonesia Asli
4.    Wayang Sarat Dengan Falsafah
5.    Ragam Wayang di Indonesia
6.    Referensi.

1. Asal-usul Wayang

Asal-usul dan perkembangan wayang tidak tercatat secara akurat seperti catatan sejarah. Namun orang selalu ingat dan merasakan kehadiran wayang dalam kehidupan masyarakat. Wayang  akrab  dengan  masyarakat sejak dahulu hingga sekarang. karena memang wayang itu merupakan salah satu buah usaha akal budi bangsa Indonesia. Wayang tampil sebagai seni budaya tradisional, dan merupakan puncak budaya daerah.

Menelusuri asal-usul wayang secara ilmiah memang bukan hal yang mudah. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini para cendekiawan dan budayawan berusaha meneliti dan menulis tentang wayang. Ada persamaan, namun tidak sedikit yang saling silang pendapat Hazeu berbeda pendapat dengan Rassers begitu pula pandangan dari pakar Indonesia seperti KPA Kusumadilaga, Ranggawarsita, Suroto. Sri Mulyono, dan Iain-Iain

Namun semua cendikiawan tersebut jelas membahas wayang Indonesia dan menyatakan bahwa wayang itu sudah ada dan berkembang sejak zaman kuno, sekitar tahun 1500 SM. jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia.

Jadi wayang dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli Indonesia, yang dalam proses perkembangan setelah bersentuhan dengan unsur-unsur lain, terus berkembang maju sehingga menjadi wujud dan isinya seperti sekarang ini. Sudah pasti perkembangan itu tidak akan berhenti, melainkan  akan  berlanjut  di  masa- masa yang akan datang.

Wayang  yang  kita  lihat  sekarang ini berbeda dengan wayang pada masa lalu, begitu pula wayang di masa depan akan berubah sesuai zamannya. Tidak ada sesuatu seni budaya yang mandeg atau berhenti. Seni budaya akan selalu berubah dan berkembang, namun perubahan seni budaya wayang ini tidak berpengaruh terhadap jati dirinya. karena wayang telah memiliki landasan yang kokoh. Landasan  utamanya  adalah  sifat “hamot, hamong, hamemangkat” yang menyebabkannya memiliki daya tahan dan daya kembang wayang sepanjang zaman.

“Hamot” adalah keterbukaan untuk menerima pengaruh dan masukan dari dalam dan luar;

“Hamong” adalah kemampuan untuk menyaring unsur-unsur baru itu sesuai nilai-nilai wayang yang ada, untuk selanjutnya diangkat menjadi nilai-nilai yang cocok dengan wayang sebagai bekal untuk bergerak maju sesuai perkembangan masyarakat.                            

“Hamemangkat” atau memangkat sesuatu nilai menjadi nilai baru. Dan ini jelas tidak mudah harus  melalui  proses  panjang  yang dicerna dengan cermat.

Wayang dan seni pedalangan sudah membuktikan kemampuan itu, berawal dari zaman kuno, zaman Hindu, masuknya agama Islam, zaman penjajahan hingga zaman merdeka, dan pada masa pembangunan nasional dewasa ini. Kehidupan global juga merupakan tantangan dan sudah tentu wayang akan diuji ketahanannya dalam menghadapinya.

2. Periode Perkembangan Wayang

Periode perkembangan budaya wayang juga merupakan bahasan yang menarik. Bermula zaman kuno ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme. Dalam alam kepercayaan animisme dan dinamisme ini diyakini roh orang yang sudah meninggal masih tetap hidup dan semua benda itu bernyawa serta memiliki kekuatan. Roh-roh itu dapat bersemayam di kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung, dan lain-lain. Paduan dari animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya berkuasa, tetap mempunyai kuasa. Mereka terus dipuja dan dimintai pertolongan.

Orang dapat berhubungan dengan para Hyang ini untuk minta pertolongan dan perlindungan, melalui seorang medium yang disebut ‘Syaman'. Ritual pemujaan nenek moyang, Hyang dan Syaman inilah yang merupakan asal mula pertunjukan wayang, Hyang menjadi wayang, ritual kepercayaan itu menjadi jalannya pentas dan syaman menjadi dalang. Sedangkan ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek moyang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa asli yang hingga sekarang masih dipakai. Jadi, wayang itu  berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia sekitar tahun 1500 SM.

Berasal dari zaman animisme, wayang terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa sampai pada masuknya agama Hindu  di Indonesia sekitar abad keenam. Bangsa Indonesia mulai bersentuhan dengan peradaban tinggi dan berhasil membangun kerajaan- kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara, bahkan Sriwijaya yang besar dan jaya. Pada masa itu wayang pun berkembang pesat, mendapat fondasi yang kokoh sebagai suatu karya seni yang bermutu tinggi. Pertunjukan roh nenek moyang itu kemudian dikembangkan dengan cerita Ramayana dan Mahabharata. Selama abad X hingga XV,  wayang berkembang dalam rangka ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat. Pada masa ini telah mulai ditulis berbagai cerita tentang wayang.

Semasa Kerajaan Kediri, Singasari, dan Majapahit kepustakaan wayang mencapai puncaknya seperti tercatat pada prasasti  di candi-candi,  karya sastra yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu  Sedah,  Empu  Panuluh,  Empu Tantular,  dan  Iain-Iain.  Karya  sastra wayang  yang  terkenal  dari  zaman Hindu  itu  antara  lain  Bharatayuda. Arjuna Wiwaha, Sudhamala, sedangkan pergelaran  wayang  sudah  bagus, diperkaya  lagi  dengan  penciptaan peraga  wayang  terbuat  dari  kulit yang  dipahat.  diiringi  gamelan  dalam tatanan  pentas  yang  bagus  dengan cerita  Ramayana  dan  Mahabharata. Pergelaran  wayang  mencapai  mutu seni   yang   tinggi   sampai-sampai digambarkan “hananonton   ringgit manangis  asekel” (Orang yang menonton wayang menangis, terpesona dan sedih).

Menarik untuk diperhatikan cerita Ramayana dan Mahabharata yang asli berasal dari India, telah diterima dalam pergelaran wayang Indonesia sejak zaman Hindu abad IV hingga sekarang. Wayang seolah-olah identik dengan Ramayana dan Mahabharata. Namun, perlu  dimengerti  bahwa  Ramayana dan Mahabharata versi India itu sudah banyak berubah. Berubah alur ceritanya; kalau Ramayana dan Mahabharata India merupakan cerita yang berbeda satu dengan lainnya, di Indonesia menjadi satu kesatuan. Dalam pewayangan cerita itu bermula dari kisah Ramayana terus bersambung dengan Mahabharata, bahkan dilanjutkan dengan kisah zaman Kerajaan Kediri. Mahabharata asli berisi 20 parwa, sedangkan di Indonesia berubah menjadi 18 parwa.

Yang sangat menonjol perbedaannya adalah falsafah yang mendasari kedua cerita itu, lebih-lebih setelah masuknya agama Islam. Falsafah Ramayana dan Mahabharata yang Hinduisme diolah sedemikian rupa sehingga menjadi diwarnai nilai-nilai Agama  Islam. Hal ini antara lain tampak pada kedudukan dewa, garis keturunan yang patriarkhat, dan sebagainya. Wayang diperkaya lagi dengan begitu banyaknya cerita gubahan baru yang dapat disebut lakon carangan, maka Ramayana dan Mahabharata benar-benar berbeda dengan aslinya. Begitu pula, Ramayana dan Mahabharata dalam pewayangan tidak sama dengan Ramayana dan Mahabharata yang berkembang di Myanmar, Thailand, Kamboja, dan di tempat-tempat lainnya. Ramayana dan Mahabharata dari India itu sudah menjadi Indonesia karena diwarnai oleh budaya asli dan nilai-nilai budaya yang ada di Nusantara.

Di Indonesia, walaupun cerita Ramayana dan Mahabharata sama-sama berkembang dalam pewayangan. Tetapi Mahabharata digarap lebih tuntas oleh para budayawan dan pujangga kita. Berbagai lakon carangan dan sempalan. kebanyakan mengambil Mahabharata sebagai inti cerita. Masuknya agama Islam di Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan. Pembaharuan besar-besaran. tidak saja dalam bentuk dan cara pagelaran wayang, melainkan juga isi dan fungsinya.

Berangkat  dari  perubahan  nilai-nilai yang dianut, maka wayang pada zaman Kesultanan Demak dan seterusnya telah mengalami penyesuaian dengan zamannya. Bentuk wayang yang semula realistik proporsional seperti tertera dalam relief candi-candi, dimodifikasi menjadi bentuk imajinatif seperti wayang sekarang ini. Selama itu, banyak sekali tambahan dan pembaharuan dalam peralatan seperti kelir atau layar, blencong atau lampu, debog yaitu batang pohon pisang untuk menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.

Para Wali dan Pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus-menerus sesuai perkembangan zaman dan keperluan pada waktu itu, utamanya wayang digunakan  sebagai  sarana  dakwah Islam. Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang telah bergeser dari ritual agama (Hindu) menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa. Ternyata wayang yang telah diperbaharui kontekstual dengan perkembangan  agama  Islam dan  masyarakat.  menjadi  sangat efektif untuk komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada khalayak. Fungsi dan peranan ini terus berlanjut hingga dewasa ini.

Perkembangan wayang semakin meningkat pada masa setelah Demak, memasuki era kerajaan-kerajaan Jawa seperti Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Banyak sekali pujangga yang menulis tentang wayang, menciptakan wayang-wayang baru. Para seniman wayang banyak membuat kreasi yang kian memperkaya wayang. Begitu pula para dalang semakin profesional dalam menggelar pertunjukan wayang, tak henti-hentinya terus mengembangkan seni tradisional ini. Dengan upaya yang tak kunjung henti ini, membuahkan hasil yang menggembirakan dan membanggakan, wayang dan seni pedalangan  menjadi seni yang bermutu tinggi, dengan sebutan “Adiluhung”. Wayang terbukti mampu tampil sebagai tontonan yang menarik sekaligus menyampaikan pesan-pesan moral keutamaan hidup.

Dari landasan perkembangan wayang tersebut di atas, tampak bahwa memang wayang itu berasal dari pemujaan nenek moyang pada zaman kuno, dikembangkan pada zaman Hindu, kemudian diadakan pembaharuan pada zaman masuknya agama Islam dan terus mengalami perkembangan dalam zaman kerajaan-kerajaan Jawa. zaman penjajahan, zaman kemerdekaan hingga kini.

3. Wayang Budaya Indonesia Asli

Asal-usul  wayang  menjadi  jelas, asli Indonesia yang berkembang sesuai budaya masyarakat dengan wayang Indonesia memiliki ciri khas yang merupakan jati dirinya. Sangat mudah dibedakan dengan seni budaya sejenis yang berkembang dl India, China, dan negara-negara di kawasan AsiaTenggara. Tidak saja berbeda bentuk serta cara pementasannya, cerita Ramayana dan Mahabharata yang digunakan juga berbeda. Cerita terkenal ini sudah digubah sesuai nilai dan kondisi yang hidup dan berkembang di Indonesia

Keaslian wayang dapat ditelusuri dari penggunaan bahasa seperti Wayang, Kelir, Blencong, Kepyak, Dalang, Kotak, dan Iain-Iain. Kesemuanya itu bahasa Jawa. Berbeda  misalnya  dengan Cempala yaitu alat pengetuk kotak, adalah bahasa Sansekerta. Bahasa dalam wayang ini terus berkembang secara pelan namun pasti dari bahasa Jawa Kuna atau bahasa Kawi, bahasa Jawa Baru dan bukan tidak mungkin kelak wayang ini akan menggunakan bahasa Indonesia. Wayang selalu menggunakan bahasa campuran yang biasa disebut Basa Rinengga maksudnya bahasa yang telah disusun indah sesuai dengan kegunaannya. Dalam seni pedalangan, kedudukan sastra amat penting dan harus dikuasai dengan baik oleh para dalang.

Bentuk peraga wayang juga mewujudkan keasiian wayang Indonesia, karena bentuk penggambaran wayang oleh peraga wayang yang imajinatif dan indah itu merupakan proses panjang seni Kriya Wayang yang dilakukan oleh para pujangga dan seniman perajin Indonesia sejak dahulu. Begitu majunya seni kriya wayang ini. banyak yang berpendapat bahwa dalam aspek kriya dan seni rupa, wayang sudah mencapai tingkat sempurna'. Penilaian ini objektif, tidak berlebihan, bilamana dibandingkan dengan bentuk-bentuk peraga wayang atau seni boneka dari mancanegara.

4. Wayang Sarat dengan Falsafah

Kekuatan utama budaya wayang. Yang juga merupakan jati dirinya, adalah kandungan nilai falsafahnya. Wayang yang tumbuh dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil menyerap berbagai nilai-nilai keutamaan hidup dan terus dapat dilestarikan dalam berbagai pertunjukan wayang. Bertolak dari pemujaan nenek moyang, wayang yang sudah sangat religius. mendapat masukan agama Hindu, sehingga wayang semakin kuat sebagai media ritual dan pembawa pesan etika.

Memasuki pengaruh agama Islam, kokoh sudah landasan wayang sebagai tontonan yang mengandung tuntunan yaitu acuan moral budi luhur menuju terwujudnya “Akhlaqul Karimah”.Proses akulturasi kandungan isi wayang itu meneguhkan posisi wayang sebagai salah satu sumber etika dan falsafah yang secara tekun dan berlanjut disampaikan kepada masyarakat. Oleh karena itu ada pendapat, wayang itu tak ubahnya sebagai buku falsafah, yaitu falsafah nusantara yang dapat dipakai sebagai sumber etika dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat

Wayang bukan lagi sekedar tontonan bayang-bayang atau 'shadow play’, melainkan  sebagai  “Wewayangane Ngaurip” yaitu bayangan hidup manusia. Dalam  suatu  pertunjukan  wayang, dapat  dinalar  dan  dirasakan  bagaimana kehidupan manusia itu dari lahir hingga mati. Perjalanan hidup manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Dari pertunjukan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal saleh guna mendapatkan keridhoan illahi. Wayang juga dapat secara nyata menggambarkan konsepsi hidup “Sangkan Paraning Dumadi”, manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali keharibaan-Nya. Banyak ditemui seni budaya semacam wayang yang dikenal dengan 'puppet show'. namun yang seindah dan sedalam maknanya sulit menandingi wayang kulit purwa.

Itulah asal-usul wayang Indonesia, asli Indonesia yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Secara dinamis mengantisipasi perkembangan dan kemajuan zaman. Memasuki abad 21, wayang Indonesia berkembang pesat dengan prestasi yang membanggakan  seperti  pada  tahun 2003, Wayang Indonesia mendapat penghargaan dari UNESCO. Oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) wayang diproklamirkan sebagai a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity (Mahakarya Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Kemanusiaan).

Wayang dinyatakan  sebagai  World  Heritage. pada tahun 2003 dirumuskan Filsafat Wayang hasil kerjasama SENA WANGI dengan Fakultas Alsafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta yang dirintis melalui penelitian, seminar, penulisan buku dan Iain-Iain sejak tahun 2001. Sebagai llmu Pengetahuan baru, Filsafat Wayang telah diajarkan sebagai mata kuliah di Fakultas Filsafat UGM untuk filsafat  Wayang ini  terus dikembangkan. Di samping itu wayang juga sudah mengukuhkan  posisi  dan  peranannya di  ranah  global.  Berhasil  dibentuk Organisasi-organisasi Internasional yaitu tingkat ASEAN dibentuk APA (ASEAN Puppetry Association) dan di tingkat dunia telah ada UNIMA (Union Internationale de la Marrionette).

5. Ragam Wayang di Indonesia

Seiring dengan perkembangan wayang yang di mulai dari 1500 SM sampai saat ini, di Indonesia yang mana terdiri dari belasan ribu suku bangsa yang memiliki ciri khas masing-masing. Maka secara tidak langsung menglahirkan beragam jenis wayang yang disesuaikan dengan daerah dan adat masing-masing, diantaranya adalah :

  1. Wayang Arja
  2. Wayang Air
  3. Wayang Animasi
  4. Wayang Babad
  5. WayangBanjar
  6. Wayang Banyumasan
  7. Wayang Beber
  8. Wayang Benda
  9. Wayang Betawi
  10. WayangBuddha
  11. Wayang Calonarang
  12. Wayang Catur
  13. Wayang Cenk Blank
  14. Wayang Cepak Cirebon
  15. Wayang Cumplung
  16. Wayang Cupak
  17. Wayang Damen
  18. Wayang Dangkluk
  19. Wayang Do 'a
  20. Wayang Dobell 
  21. Wayang Dupara
  22. Wayang Dusun
  23. Wayang Gambuh
  24. Wayang Gantung
  25. Wayang Gedog
  26. Wayang Ajen
  27. Wayang Golek Menak Kebumen
  28. Wayang Golek Lenong Betawi
  29. Wayang Golek Menak
  30. Wayang Golek Minang
  31. Wayang Golek Pakuan
  32. Wayang Golek Purwa
  33. Wayang Golek Menak Sentolo
  34. Wayang Golek Menak
  35. Wayang Gong
  36. Wayang Gremeng
  37. Wayang Hip Hop
  38. Wayang In Symphony
  39. Wayang Jemblung
  40. Wayang Jengglong
  41. Wayang Joblar
  42. Wayang Kakufi
  43. Wayang Kampung Sebelah
  44. WayangKancil
  45. Wayang Kartun
  46. Wayang Kentrung
  47. Wayang Ketiprak
  48. WayangKipas
  49. Wayang Klithik
  50. Wayang Kulit Bekasi
  51. Wayang Kulit Cina-Jawa
  52. Wayang Kulit Cirebon
  53. Wayang Kulit Jawa Timuran
  54. Wayang Kulit Palembang
  55. Wayang Kulit Purwa Surakarta
  56. Wayang Kulit Purwa Yogyakarta
  57. Wayang Kuluk
  58. WayangLegenda
  59. Wayang Lemah
  60. Wayang Lincak
  61. Wayang Listrik
  62. Wayang Madya
  63. Wayang Motekelar
  64. Wayang Onthell
  65. Wayang Orang Priayangan
  66. Wayang Orang/Wong
  67. Wayang Pancasila
  68. Wayang Pantun
  69. Wayang Parwa
  70. Wayang Pasir
  71. Wayang Pegon
  72. Wayang Potehi
  73. Wayang Rai Wong
  74. Wayang Ramayana
  75. Wayang Republik
  76. Wayang Revolusi
  77. Wayang Rontal
  78. Wayang Sada/Lidi
  79. Wayang Sadad
  80. Wayang Sakuraga
  81. Wayang Sandosa
  82. Wayang Santri
  83. Wayang Sapu Leger
  84. Wayang Sasak
  85. Wayang Sawah
  86. Wayang Sawahlunto
  87. Wayang Sholawat
  88. Wayang Shuffle
  89. Wayang Sudhamala
  90. Wayang Suket
  91. Wayang Suluh
  92. Wayang Tablig
  93. Wayang Tantri
  94. Wayang Taspirin
  95. Wayang Taviv
  96. Wayang Tiga Zaman
  97. Wayang Timplong
  98. Wayang Topeng
  99. Wayang Ukur
  100. Wayang Wahana
  101. Wayang Wahyu
  102. Drama Wayang
  103. Kartu Wayang
  104. Relief Wayang

6. Referensi

  1. Drs. Sholikin, Dr. Suyanto,S.Kar, M.A, Sumari S.Sn, M.M, Ensiklopedia Wayang Indonesia, Bandung. PT. Sarana Panca Karya Nusa. SENA WANGI
  2. Sumari, Almanak Wayang Indonesia, Jakarta. Prenadamedia Group.
  3. Sri Mulyono, Simbiolisme dan Mistikisme Dalam Wayang, Jakarta. CV. Haji Masagung.
  4. Sri Mulyono, Wayang dan Filsafat Nusantara, Jakarta. CV. Haji Masagung.