Nasihat Tertulis KH. Maimoen Zubair untuk Para Santri

 
Nasihat Tertulis KH. Maimoen Zubair untuk Para Santri
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Siapa yang tak mengenal KH. Maimoen Zubair, sosok kiyai kharismatik yang selalu menginspirasi. Sebagai Ulama Nusantara, beliau tak pernah kehilangan identitasnya. Meski menguasai banyak ilmu dan disegani oleh para ulama dunia, beliau tetap menjadi Indonesia dan selalu menanamkan cinta tanah air. Bahkan, konon lagu Syubbanul Wathon yang populer belakang ini, diriwayatkan oleh beliau dari Mbah Wahab Chasbullah.

Sosok yang sangat istiqomah dalam mengabdi untuk kemaslahatan umat ini, pesonanya tak pernah luntur, meski telah meninggal dunia tahun 2019 yang lalu. Beliau wafat di tanah suci saat hendak melaksanakan manasik haji. Dan jenazah beliau akhirnya disemayamkan di pemakaman Ma’la.

Dikabarkan saat ini banyak peziarah berdatangan di makam Mbah Moen, khususnya masyarakat Indonesia. Biasanya mereka melakukan ziarah kubur di pemakaman beliau usai menunaikan ibadah haji maupun umrah. Walhasil, pemakaman Ma’la kini ramai pengunjung yang datang untuk melakukan ziarah kubur.

Membicarakan sosok kiyai kharismatik asal Sarang, Rembang, ini tak akan pernah ada habisnya. Menceritakan kebaikan dan warisan-warisan keilmuannya akan semakin menambah kecintaan kita kepada beliau. Apalagi kalau kita membuka cuplikan-cuplikan nasihat yang tersebar di berbagai platform media sosial, terkadang kita menemukan nasihat yang secara tidak langsung relate dengan kehidupan yang dihadapi.

Ketika memandang wajah teduh Mbah Moen, seakan-akan kita akan merasa bahwa beliau selalu hidup dan memberikan nasihat dengan penuh kelembutan. Pancaran kelembutan itu semakin bertambah saat kita menemukan petuah, nasihat maupun wejangan yang sangat indah.

Dalam sebuah kesempatan, ditemukan nasihat Mbah Moen yang pernah ditulis dan diriwayatkan oleh sejumlah santrinya. Beliau menulis nasihat ini untuk para santrinya. Di dalam tulisan tersebut beliau mengatakan:

يَنْبَغِي لِلطَّالِبِ سِيْمَا فِي آخِرِ الزَّمَانِ أَنْ يَتَعَلَّمَ وَيَتَلَمَّذَ عِنْدَ عَالِمٍ يَتَّصِلُ نَسَبُهُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ يَدْرُسَ كِتَابًا مِنْ مُؤَلَّفَاتِ الْعَالِمِ الَّذِيْ هُوَ مِنْ ذُرِّيَّةِ الرَّسُوْلِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَذَلِكَ الْعَالِمُ يُسَمَّى فِي الْاِصْطِلَاحِ بِعِتْرَةِ الرَّسُوْلِ.

“Seyogyanya bagi seorang pelajar, apalagi di zaman akhir, agar belajar di bawah naungan ahli ilmu yang sanadnya sampai pada Rasulullah SAW, atau mempelajari karya-karya orang alim yang masih ada hubungan darah dengan Rasulullah SAW,”

لِأَنَّ فِي آخِرِ الزَّمَانِ يَتَزَلْزَلُ إِيْمَانُ شَخْصٍ كَقِطْعَةٍ مِنْ قِطَعِ اللَّيْلِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا وَلَا يَنْجُوْ إِيْمَانٌ إِلَّا إِيْمَانُ مَنْ أَحْيَاهُ الله بِالْعِلْمِ، وَالْعِلْمُ مَآلُهُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، اَلَّذِيْ بَابُهُ الْأَعْظَمُ سَيِّدُنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ كَرَّمَ الله وَجْهَهُ، وَهُوَ صَحَابِيٌّ

“Karena di zaman akhir, iman seseorang kerap kali tidak stabil, ibarat malam cepat berlalu. Kerapkali seorang laki-laki berstatus mukmin di pagi hari, dan berstatus kafir di sore hari, begitu juga sebaliknya. Dan tidaklah iman seorang hamba akan selamat kecuali jika Allah hidupkan kembali dengan ilmu. Dan ilmu Agama hanya bersumber dari Rasulullah, berpintukan Sayyid Ali Bin Abi Thalib selaku sahabat Nabi.”

لَكِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الصَّحَبَةِ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ أَوْ مِنْ ذُرِّيَّةِ الرَّسُوْلِ، لَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْ الْأَجَانِبِ مِثْلَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ. وَالصَّحَبَةُ هُمُ الْعَالِمُوْنَ، وَالْعَالِمُ مِثْلُ النَّجْمِ، وَالصَّحَبَةُ هُمُ الْأَنْجُمُ الزُّهُرِ كَمَا قَالَ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ، أَصْحَابِي كَالنُّجُوْمِ بِأّيِّهِمْ اِقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ

“Hanya saja, tidak sedikit para sahabat Nabi yang bukan Ahlul Bait atau kerabat Nabi, namun melalui jalur nasab berbeda, seperti Abu Bakar, Umar dan Usman. Para sahabat adalah ahlul ilmi seluruhnya, dan orang alim itu ibarat bintang gemintang, sementara para sahabat Nabi itu semua adalah bintang-bintang, seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW: Sahabat-Sahabatku bagaikan bintang-bintang, siapapun yang kalian ikuti, dari dia itu kalian akan mendapatkan petunjuk.”

وَفِيْ حَقِّ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِنَّ مَثَلَ أَهْلِ بَيْتِيْ فِيْكُمْ مَثَلُ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجَا وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا هَلَكَ، رَوَاهُ الْحَاكِمُ

“Dan Rasulullah bersabda seputar keistimewaan garis keturunanya: ‘Sesungguhnya perumpamaan keluargaku di antara kalian, bagaikan perahu Nabi Nuh AS. Barang siapa yang menaikinya beruntunglah dia, dan barang siapa yang membelakanginya hancurlah’.” (HR. Hakam).”

وَقَالَ الدِّيْبَعِيُّ: وَسَفِيْنٌ لِلنَّجَاةِ إِذَا * خِفْتَ مِنْ طَوْفَانَ كُلَّ أَذَى   فَانْجُ فِيْهَا لَا تَكُوْنُ كَذَا * وَاعْتَصِمْ بِاللهِ وَاسْتَعِنْ

“Imam Ad-Diba’i berkata: ‘Dan perahu (Ahlul Bait) untuk keberuntungan saat kau khawatir akan setiap musibah. Maka Keberuntungan akan didapati (bagi yang menaikinya) musibah tidak akan menerkamnya. Mintalah perlindungan dan pertolongan kepada Allah.”

مَنْ هُمْ تِلْكَ السَّفِيْنَةُ قَالَ: أَهْلُ بَيْتِ الْمُصْطَفَى الطُّهُرِ * هُمْ أَمَانُ الْأَرْضِ فَادَّكِرِ    شُبِّهُوْا بِالْأَنْجُمِ الزُّهُرِ * مِثْلَ مَا قَدْ جَاءَ فِي السُّنَنِ

“Siapakah perahu itu, Imam Ad-Diba’i berkata: ‘Mereka adalah Ahlul Bait yang suci, mereka adalah tonggak keamanan bumi. Mereka diumpakan bintang-bintang dan bunga, seperti yang telah disebutkan di dalam banya Hadis Nabi.”

وَنَحْنُ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأَيَّامِ إِيْمَانُنَا كَثِيْرًا مَا يَتَزَلْزَلُ بِسَبَبِ مَوْجٍ مِنَ الْأَمْوَاجِ الَّتِيْ كُنَّا نَرَاهَا وَنَشْهَدَهَا حَوْلَنَا

“Dan saat ini, kami melihat iman-iman kami kerapkali tidak stabil, sebab deraian ombak-ombak yang kami lihat dan saksikan di sekitar.”

فَيَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَرْكَبَ تِلْكَ السَّفِيْنَةَ الَّتِيْ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ لِنَسْلَمَ مِنْ مَوْجٍ مِنَ الْأَمْوَاجِ حَتَّى نَلْقَى رَبَّنَا وَهُوَ يَقْبَلُ إِيْمَانَنَا

“Maka seyogyanya bagi kita menaiki perahu yang sedang berlayar di lautan, agar kita selamat dari deraian ombak-ombak, hingga kita dapat bersua dengan Tuhan (dengan membawa iman yang sempurna) dan Tuhan menerima keimanan kita.”

وَذَلِكَ الرَّكْبُ بِالتَّعَلُّمِ وَالتَّلَمُّذِ مِنْ عِنْدِ الْحَبِيْبِ أَوِ السَّيِّدِ أَوْ بِتَدْرِيْسِ كِتَابٍ مِنَ مُؤَلَّفَاتِ عِتْرَةِ رَسُوْلِ اللهِ

“Dan tunggangan itu dengan cara belajar dan berguru kepada Habib atau Sayyid atau dengan cara belajar karya ulama dari garis keturunan Rasulullah.”

لَكِنَّ الْجَرْيَ فِي الْبَحْرِ لَا بُدَّ لَهُ مِنْ مَعْرِفَةِ جِهَةٍ لِكَيْلَا يَضِلَّ، وَذَلِكَ بِمَعْرِفَةِ النَّجْمِ، وَالنَّجْمُ هُوَ الْعَالِمُ

“Akan tetapi, berlayar di lautan haruslah mengetahui arah agar tidak tersesat, dan hal itu hanya dapat diketahui dengan cara mengetahui bintang, yakni orang-orang alim.”

فَيَنْبَغِي حِيْنَئِذٍ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْعِلْمِ الظَّاهِرِ الَّذِيْ مُعْظَمُهُ مِنَ الْعَالِمِ الَّذِيْ لَيْسَ مِنْ عِتْرَةِ الرَّسُوْلِ، وَبَيْنَ الْعِلْمِ الْبَاطِنِ الَّذِيْ مُعْظَمُهُ مِنْ ذُرِّيَّةِ الرَّسُوْلِ

“Oleh karena itu, seyogyanya bagi seorang pelajar menghimpun ilmu dhohir yang notabene pembesarnya adalah orang alim yang bukan dari jalur Dzurriyah Nabi, dan ilmu bathin yang notaben pembesarnya adalah orang alim dari Dzurriyah Nabi.”

وَلِذَلِكَ يَقْرَأُ شَيْخُنَا فِي الْمَرَّةِ الْقَادِمَةِ كِتَابَ رِسَالَةُ الْمُعَاوَنَةِ لِلسَّيِّدِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَلْوِي اَلْحَدَّادِ

“Oleh sebab itu, Syaikhuna Maimoen pada kesempatan lalu membaca Kitab Risalatul Mua’wanah karya Sayyid Abdullah Bin Alwi Al-Haddad.”

وَبَعْدَ أَنْ يُصَلِّيَ الصُّبْحَ يَقْرَأُ هُوَ مُؤَلِّفَ الْإِمَامِ غَزَالِي إِحْيَاءُ عُلُوْمِ الدِّيْنِ، لِكَيْ يَجْمَعَ بَيْنَ السَّفِيْنَةِ وَالنَّجْمِ حَتَّى يَجِدَ دُرًّا يَاقُوْتًا اَلَّذِيْ هُوَ الْحَقِيْقَةُ

“Dan dilanjutkan dengan membaca karya Imam Al-Ghazali “Ihya’ ulumuddin” setelah Shalat Subuh, agar beliau dapat menghimpun antara perahu dan bintang, sehingga memperoleh mutiara yaqut yang tidak lain adalah hakikat cinta kepada Allah itu.”

وَذَلِكَ الدُّرُّ يَكُوْنُ أَسْفَلَ الْبَحْرِ الْعَمِيْقِ. وَاللهُ يُوَفِّقُنَا لِمَا هُوَ رِضَاهُ، أَسْتَعْذِرُ مِنْكُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمْ فِي كِتَابَتِي هَذِهِ كَثِيْرَ الْخَطَأِ أَوِ الزَّلَّةِ. شُكْرًا

“Dan mutiara itu terdapat di dalam lautan yang sangat dalam. Semoga Allah selalu menuntun kita pada jalan yang diridhoi-Nya. Saya minta maaf, kalau kalian menemukan banyak kesalahan atau kekhilafan dari tulisanku ini. Terimakasih.”⁠⁠

Tulisan ini banyak tersebar dan diyakini merupakan nasihat tertulis KH. Maimoen Zubair yang banyak diriwayatkan oleh para santrinya. Wallahu ‘Alam bis Showab. []


Editor: Hakim